BAB
1
PENDAHULUAN
1.1.
Latar Belakang Masalah
Pemerintahan di era Presiden
Soeharto yang cenderung otoriter menimbulkan rasa tidak puas kepada masyarakat
Indonesia. Sistem sentralistik yang dianut saat itu, menjadikan pemerintah menjadi pihak penyelenggara negara
yang kebal dari pengawasan, khususnya dari masyarakat. Pemerintahan yang top down membuat kreatifitas dan inovasi
masyarakat menjadi mati karena kebebasan berpendapat dan mengkritik pemerintah
sangat dibatasi. Padahal di satu sisi, kebebasan berpendapat dan mengkritik merupakan
sebuah hal yang sangat penting agar evaluasi dan akuntabilitas pemerintah dalam
menjalankan fungsi pembangunan dapat dipertanggungjawabkan untuk memenuhi
kebutuhan masyarakat.
Secara garis besar,
masyarakat menginginkan adanya reformasi dalam sistem pemerintahan di
Indonesia. Masyarakat menginginkan adanya keterbukaan dalam berpendapat dan
penghapusan terhadap sistem sentralistik yang dianggap mematikan pembangunan
dan menghambat pemerataan kesejahteraan. Akhirnya dibentuklah undang-undang
tentang otonomi daerah yang menandai dimulainya sistem desentralisasi di
Indonesia. Desentralisasi dianggap dapat menjawab masalah-masalah pembangunan
seperti tidak transparannya penggunaan keuangan, serta memaksimalkan persebaran
pembangunan berdasarkan kebutuhan masyarakat. Fungsi pengawasan masyarakat yang
belum berkembang saat pemerintahan Soeharto diharapkan dapat muncul dan memberi
andil dalam pembangunan negara.
Namun demikian, pemerintahan
dan pembangunan yang terdesentralisasi tidak akan berjalan dengan efektif tanpa
adanya partisipasi masyarakatnya. Partisipasi masyarakat sangat penting
peranannya dalam proses pembangunan di wilayahnya sendiri. Partisipasi
masyarakat bisa berbentuk partisipasi dalam pembangunan infrastruktur atau maintenance-nya; partisipasi dalam
proses politik; melakukan pengawasan saat pemerintah merumuskan dan
melaksanakan kebijakan publik. Penyertaan peran masyarakat dalam sistem
pemerintahan akan menimbulkan sinergisitas yang sempurna untuk menciptakan good governance yang menginginkan adanya
kerjasama dan partisipasi sempurna dari 3 aktor utama di negara, yaitu
pemerintah atau government, pihak
swasta atau privat, dan masyarakat
atau civil society. Sinergitas ketiga
elemen ini sangat penting agar terjadi proses pembuatan kebijakan publik yang
berkeadilan dan pembangunan nasional yang merata.
Pelibatan masyarakat sebagai shareholder dan stakeholder dalam proses perumusan kebijakan, pelaksanaan, dan
evaluasinya adalah hal mutlak yang harus terjadi agar good governance dapat benar-benar ditegakkan. Jika dalam
pelakasanaannya pemerintah tidak menerapkan nilai dasar good governance yaitu melibatkan partisipasi masyarakat dalam
proses kenegaraan, maka yang akan terjadi adalah proses pembangunan yang tidak
berkeadilan dan akan menumbuhkan konflik.
Salah satu dampak dari pemerintah
tidak menumbuhkan partisipasi masyarakat dalam membuat, memutuskan, dan
melaksanakan kebijakan publik ialah banyak terjadinya konflik-konflik sosial.
Salah satu contohnya adalah penertiban pedagang kaki lima di wilayah sekitaran
mesjid almarkas jalan sunu kecamatan Bontoala pada bulan oktober 2016. Dalam
penertiban pedagang kaki lima tersebut tidak berjalan sesuai dengan apa yang
kita harapkan yakni masyarakat patuh dan sadar akan kebijakan pemerintah
tersebut, namun terjadi gesekan dan konflik antara pedagang dengan pihak
pemerintah kota makassar, Disinyalir perlawanan ini terjadi karena masyarakat
yang menempati lokasi tersebut sudah beranak cucu dan lama tinggal di tempat
itu selain itu masyarakat juga menduga bahwa tidak adanya pemberitahuan
sebelumnya yang dilayangkan pemerintah kota makassar sebelum mengadakan
penertiban tersebut
Dalam usaha penertiban ini
pemerintah kota makassar memberikan prioritas kepada pedagang yang membongkar
lapak atau tempat dagangannya secara sukarela akan diberikan kesempatan untuk
menempati kios yang telah disiapkan pemerintah di sekitaran lapangan karebosi
sehingga pemerintah Kota makassar mengharap tidak hanya memberikan penataan
atau penertiban kepada pedagang kaki lima akan tetapi sudah memberikan solusi
kepada pedagang dan menyiapkan tempat kios baru bagi mereka yang taat terhadap
peraturan dan kebijakan yang berlaku di Kota makassar. Yang menjadi potensi
terjadinya kesalah pahaman dalam penertiban tersebut dapat dipicu karena
kurangnya koordinasi pemerintah dalam hal ini lurah, camat dan perangkat lpm
untuk mengkoordinasikan kebijakan pemerintah dan arah kebijakan adanya
penertiban tersebut oleh karena itu Tidak adanya sinergisitas yang seharusnya
dilakukan dalam sebuah good governance dalam pemutusan kebijakan penertiban ini
adalah pemicu terjadinya konflik yang tidak seharusnya terjadi.
Oleh karena itu, dalam
makalah ini, penulis bermaksud untuk mengkaji lebih jauh bagaimana sebenarnya
proses pelibatan masyarakat dalam rencana penertiban Pedagang Kaki Lima (PK5)
yang ada di sekitaran mesjid al markas jalan sunu Kelurahan Timungan Lompoa
Kecamatan Bontoala Kota Makassar serta mekanisme pengawasannya dalam
pelaksanaan rencana tersebut. Dengan demikian, penulis juga berharap makalah
ini bisa semakin menguatkan pernyataan bahwa
good governance perlu dibentuk
sebaik-baiknya untuk mencegah terjadinya konflik kepentingan yang berbeda satu
sama lain antara masyarakat, pemerintah, dan sektor swasta, salah satunya
seperti yang digambarkan pada kasus Penertiban
Pedagang Kaki Lima.
1.2. Rumusan Masalah
Makalah ini memiliki rumusan masalah sebagai berikut:
1.
Apa
penyebab terjadi penolakan yang dilakukan pedagang atas rencana penertiban Pedagang kaki
lima di jalan sunu?
2.
Bagaimana
bentuk partisipasi dan pengawasan masyarakat dalam rencana penertiban
Pedagang Kaki Lima di jalan sunu?
3. Bagaimana
bentuk ideal partisipasi dan pengawasan masyarakat dalam setiap proses
pembangunan?
1.3. Tujuan Penulisan
Berdasarkan rumusan masalah yang
ada, maka adapun tujuan
penulisan makalah ini yaitu
1. Mengetahui penyebab terjadi penolakan
yang dilakukan pedagang atas rencana penertiban
dan penataan Pedagang Kaki lima jalan
sunu.
2. Mengetahui bentuk partisipasi dan pengawasan masyarakat
dalam rencana penertiban dan penataan Pedagang Kaki lima jalan
sunu
3. Mengkaji lebih jauh bagaimana bentuk ideal partisipasi
dan pengawasan setiap proses pembangunan.
1.4. Metode penulisan
Makalah ini ditulis
dengan menggunakan studi literatur dari beberapa bahan bacaan yang berasal dari
buku-buku penunjang dan website-website
yang memiliki korelasi terhadap tema makalah ini.
BAB
II
KERANGKA
TEORI
2.1 Partisipasi masyarakat
Istilah
partisipasi berasal dari bahasa asing yang artinya mengikutsertakan pihak lain.
Beberapa definisi lain mengenai partisipasi adalah :
·
Santoso
Sastropoetro mendefinisikan partisipasi sebagai keterlibatan spontan
dengan kesadaran disertai tanggung-jawab tehadap kepentingan kelompok untuk
mencapai tujuan bersama.
· Alastraire White mendefinisikan
partisipasi sebagai keterlibatan komuniti setempat secara aktif dalam
pengambilan keputusan atau pelaksananaannya terhadap proyek-proyek pembangunan.
· Allport mengemukakan bahwa
seseorang yang berpartisipasi sebenarnya mengalami keterlibatan dirinya/egonya
yang sifatnya lebih daripada keterlibatan dalam pekerjaan atau tugas saja.
Dengan keterlibatan dirinya juga berarti keterlibatan pikiran dan perasaannya.
· Keith Davis mengemukakan definisi
partisipasi sebagai
“Mental
and emotional involvement of a person in a group situation which encourages him
to contribute to group goals and share responsibility in them”.
Menurut
Davis, partisipasi adalah keterlibatan mental dan emosional orang-orang di
dalam situasi kelompok yang mendorong mereka untuk memberikan kontribusi kepada
tujuan kelompok atau berbagai tanggung jawab pencapaian tujuan tersebut.
Di
dalamnya terdapat tiga buah gagasan yang penting artinya bagi para manajer atau
pemimpin yang hendak menerapkan seni partisipasi dan kebanyakan dari mereka
sependapat dengan tiga buah gagasan tersebut.
Dari beberapa definisi yang ada dapat
disimpulkan bahwa partisipasi memiliki tiga gagasan penting, yakni
keterlibatan, kontribusi, dan tanggung jawab.
1. Keterlibatan mental dan emosional/inisiatif.
Keterlibatan ini bersifat psikologis daripada fisik.
Seseorang dalam berpartisipasi lebih terlibat egonya daripada terlibat tugas.
2. Motivasi
kontribusi
Unsur
kedua adalah kesediaan menyalurkan sumber inisiatif dan kreatifitasnya untuk
mencapai tujuan kelompok.
3. Tanggung
jawab
Partisipasi mendorong
orang-orang untuk menerima tanggung jawab dalam aktivitas kelompok. Ini juga
merupakan proses sosial yang melaluinya orang-orang menjadi terlibat sendiri
dalam organisasi dan ingin mewujudkan keberhasilannya. Pada saat orang-orang
ingin menerima tanggung jawab aktivitas kelompok, orang-orang tersebut melihat
adanya peluang untuk melakukan hal-hal yang diinginkan, yaitu merasa
bertanggung jawab menyelesaikan pekerjaannya. Gagasan tentang upaya menimbulkan
kerja tim dalam kelompok ini merupakan langkah utama mengembangkan kelompok
untuk menjadi unit kerja yang berhasil. Jika orang ingin melakukan sesuatu,
orang tersebut akan menemukan cara melakukannya.
Menurut
Keith Davis, partisipasi
memiliki beberapa bentuk dan jenis, antara lain :
1. Bentuk Partisipasi
·
Konsultasi,
biasanya dalam bentuk jasa.
·
Sumbangan
spontan berupa uang dan barang.
·
Mendirikan
proyek yang sifatnya berdikari dan donornya berasal dari sumbangan individu
atau instansi yang berada di luar lingkungan tertentu.
·
Sumbangan
dalam bentuk kerja, yang biasanya dilakukan oleh tenaga ahli setempat.
·
Aksi massa.
·
Mengadakan
pembangunan di kalangan keluarga desa sendiri.
·
Membangun
proyek komuniti yang bersifat otonom.
2.
Jenis-jenis partisipasi
·
Pikiran (psychological participation).
·
Tenaga (physical participation).
·
Pikiran
dan tenaga (psychological dan physical participation).
·
Keahlian ( participation with skill).
·
Barang (material participation).
·
Uang (money participation).
Selain Keith Davis, Hamijoyo juga mengemukakan beberapa bentuk dari partisipasi, antara
lain:
1. Partisipasi buah pikiran
Partisipasi
ini diwujudkan dengan memberikan pengalaman dan pengetahuan guna mengembangkan
kegiatan yang diikutinya. Sumbangan pemikiran yang diarahkan pada penataan cara
pelayanan dari lembaga/badan yang ada, sehingga mampu berfungsi sosial secara
aktif dalam penentuan kebutuhan anggota masyarakat.
2. Partisipasi tenaga
Partisipasi
jenis ini diberikan dalam bentuk tenaga untuk pelaksanaan usaha-usaha yang
dapat menunjang keberhasilan dari suatu kegiatan.
3. Partisipasi keterampilan
Jenis
keterampilan ini adalah memberikan dorongan melalui keterampilan yang
dimilikinya pada anggota masyarakat lain yang membutuhkannya. Kegiatan ini
biasanya diadakan dalam bentuk latihan bagi anggota masyarakat. Partisipasi ini
umumnya bersifat membina masyarakat agar dapat memiliki kemampuan memenuhi
kebutuhannya.
4. Partisipasi
uang (materi)
Partisipasi ini adalah untuk
memperlancar usaha-usaha bagi pencapaian kebutuhan masyarakat yang memerlukan
bantuan.
5. Partisipasi
harta benda
Diberikan dalam bentuk
menyumbangkan harta benda, biasanya berupa perkakas, alat-alat kerja bagi yang
dijangkau oleh badan pelayanan tersebut.
Terdapat beberapa pakar yang
mendefinisikan partisipasi masyarakat. Beberapa definisi tersebut adalah
sebagai berikut:
·
Canter
mendefinisikan partispasi masyarakat sebagai proses komunikasi dua arah yang
berlangsung terus-menerus untuk meningkatkan pengertian masyarakat secara penuh
atas suatu proses kegiatan, dimana masalah-masalah dan kebutuhan lingkungan
sedang dianalisis oleh badan yang berwenang.
·
Goulet
mendefinisikan partisipasi masyarakat sebagai suatu cara melakukan interaksi
antara dua kelompok, yaitu kelompok yang selama ini tidak diikutsertakan dalam
pengambilan keputusan (non-elite) dan kelompok yang selama ini melakukan
pengambilan keputusan (elite).
·
Wingert
merinci partisipasi atau peran serta masyarakat menjadi beberapa paham sebagai
berikut:
a. Partisipasi masyarakat sebagai suatu kebijakan
Penganut paham ini berpendapat bahwa partisipasi
masyarakat merupakan suatu kebijakan yang tepat dan baik untuk dilaksanakan.
Paham ini dilandasi oleh suatu pemahaman bahwa masyarakat yang potensial
dikorbankan dan terkorbankan oleh suatu proyek pembangunan memiliki hak untuk
dikonsultasikan.
b. Partisipasi masyarakat sebagai strategi
Penganut paham ini mengendalikan bahwa partisipasi
masyarakat merupakan strategi untuk mendapatkan dukungan masyarakat. Pendapat
ini didasarkan kepada suatu paham bahwa bila masyarakat merasa memilki akses
terhadap pengambilan keputusan dan kepedulian masyarakat kepada tiap tingkatan
pengambilan keputusan didomentasikan dengan baik, maka keputusan tersebut akan
memilki kredibilitas.
c. Partisipasi masyarakat sebagai alat komunikasi
Partisipasi masyarakat didayagunakan sebagai alat
untuk mendapatkan masukan berupa informasi dalam proses pengambilan keputusan.
Persepsi ini dilandasi oleh suatu pemikiran bahwa pemerintah dirancang untuk
melayani masyarakat, sehingga pandangan dan preferensi dari masyarakat tersebut
adalah masukan yang bernilai guna mewujudkan keputusan yang responsive.
d. Partispasi masyarakat sebagai alat penyelesaian sengketa
Partisipasi masyarakat didayagunakan sebagai suatu cara
untuk mengurangi konflik melalui usaha pencapaian konsensus dari pendapat yang
ada. Asumsi yang melandasi paham ini adalah bertukar pikiran dan pandangan
dapat meningkatkan pengertian dan toleransi serta mengurangi rasa
ketidakpercayaan dan kerancuan.
e. Partisipasi masyarakat sebagai terapi
Menurut paham ini, peran masyarakat dilakukan untuk
mengatasi masalah-masalah psikologis masyarakat seperti halnya
ketidakberdayaan, tidak percaya diri, dan perasaan bahwa diri mereka bukan
komponen penting di dalam masyarakat.
Perlunya
partisipasi masyarakat juga diungkapkan oleh Koeshadi Hardjasoemantri, bahwa
selain untuk memberikan informasi yang berharga kepada para pengambil
keputusan, partisipasi masyrakat akan mereduksi kemungkinan kesediaan
masyarakat untuk menerima keputusan. Selanjutnya, partisipasi masyarakat akan
membantu perlindungan hukum.
2.2 Teori Good Governance
Tata
kelola kepemerintahan yang baik (good
governance) merupakan suatu konsep yang akhir-akhir ini dipergunakan secara
reguler dalam ilmu politik dan administrasi publik. Konsep ini lahir sejalan
dengan konsep-konsep dan terminologi demokrasi, masyarakat sipil, partisipasi
rakyat, hak asasi manusia, dan pembangunan masyarakat secara berkelanjutan.
Pada akhir dasawarsa yang lalu, konsep good
governance ini lebih dekat dipergunakan dalam reformasi sektor publik. Di
dalam disiplin atau profesi manajemen publik konsep ini dipandang sebagai suatu
aspek dalam paradigma baru ilmu administrasi publik. Paradigma baru ini
menekankan pada peranan manajer publik agar memberikan pelayanan yang
berkualitas kepada masyarakat, mendorong meningkatkan otonomi manajerial
terutama mengurangi campur tangan kontrol yang dilakukan oleh pemerintah pusat,
transparansi, akuntabilitas publik, dan menciptakan pengelolaan manajerial yang
bersih bebas dari korupsi (Thoha, 2004: 78).
Sejumlah perspektif muncul dari paradigma baru ini dan
mendorong ramainya diskusi dan perdebatan di arena politik dan akademisi. Di antara perspektif yang berkaitan dengan struktur
pemerintahan yang timbul antara lain (Thoha, 2004: 78):
- Hubungan
antara pemerintah dengan pasar.
- Hubungan
antara pemerintah dengan rakyatnya.
- Hubungan
antara pemerintah dengan organisasi vo¬luntary dan sektor privat.
- Hubungan
antara pejabat-pejabat yang dipilih (politisi) dan pejabat-pejabat yang
diangkat (pejabat birokrat).
- Hubungan
antara lembaga pemerintahan daerah dengan penduduk perkotaan dan pedesaan.
- Hubungan
antara legislatif dan eksekutif.
- Hubungan
pemerintah nasional dengan lembaga-lembaga internasional.
Dalam menganalisis perspektif ini banyak para praktisi
dan teoretisi dalam bidang administrasi publik merumuskan berbagai prosedur dan
proses yang bisa dipergunakan untuk mencapai dan mengidentifikasikan
prinsip-prinsip dan asumsi-asumsi dari tata kepemerintahan yang baik. Sementara
itu negara donor dan lembaga-lembaga multilateral telah mengambil peran yang
mengemuka (a leading role) dalam
merumuskan good governance. Salah satunya ialah United Nations Development
Programme (UNDP).
UNDP merumuskan istilah governance sebagai suatu exercise
dari kewenangan politik, ekonomi, dan administrasi untuk menata, mengatur dan
mengelola masalah-masalah sosialnya (UNDP, 1997) Istilah governance menunjukkan suatu proses di mana rakyat bisa mengatur
ekonominya, institusi dan sumber-sumber sosial dan politiknya tidak hanya
dipergunakan untuk pembangunan, tetapi juga untuk menciptakan kohesi,
integrasi, dan untuk kesejahteraan rakyatnya. Dengan demikian jelas sekali,
kemampuan suatu negara mencapai tujuan-tujuan pembangunan itu sangat tergantung
pada kualitas tata kelola intahannya di mana pemerintah melakukan interaksi
dengan organisasi-organisasi komersial dan civil
society.
Karim (2003: 45) menyatakan ada 5 prinsip good governance, yaitu transparansi,
kesetaraan, daya tanggap, akuntabilitas, dan pengawasan.
Kunci utama memahami good
governance, menurut Masyarakat Transparansi Indonesia (MTI), adalah
pemahaman atas prinsip-prinsip yang mendasarinya. Bertolak dari prinsip-prinsip
ini didapat tolok ukur kinerja suatu pemerintah. Prinsip-prinsip tersebut
meliputi:
a. Partisipasi masyarakat: semua warga masyarakat mempunyai
suara dalam pengambilan keputusan, baik secara langsung maupun melalui
lembagalembaga perwakilan yang sah yang mewakili kepentingan mereka.
Partisipasi menyeluruh tersebut dibangun berdasarkan kebebasan berkumpul dan
mengungkapkan pendapat, serta kepastian untuk berpartisipasi secara
konstruktif.
b. Tegaknya supremasi hukum: kerangka hukum harus adil dan
diberlakukan tanpa pandang bulu, termasuk didalamnya hukum-hukum yang
menyangkut hak asasi manusia.
c. Transparasi: transparansi dibangun atas dasar informasi
yang bebas. Seluruh proses pemerintah, lembaga-lembaga, dan informasi perlu
dapat diakses oleh pihak-pihak yang berkepentingan, dan informasi yang tersedia
harus memadai agar dapat dimengerti dan dipantau.
d. Peduli dan stakeholder:
lembaga-lembaga dan seluruh proses pemerintah harus berusaha melayani semua
pihak yang berkepentingan.
e. Berorientas pada konsensus: tata kelola pemerintahan yang
baik menjembatani kepentingan-kepentingan yang berbeda demi terbangunnya suatu
konsensus menyeluruh dalam hal apa yang terbaik bagi kelompok-kelompok
masyarakat, dan bila mungkin, konsensus dalam hal kebijakan-kebijakan dan
prosedur-prosedur.
f. Kesetaraan: semua warga masyarakat mempunyai kesempatan
memperbaiki atau mempertahankan kesejahteraan mereka.
g. Efektifitas dan efisiensi: proses-proses pemerintahan dan
lembaga-lembaga membuahkan hasil sesuai kebutuhan warga masyarakat dan dengan
menggunakan sumber-sumber daya yang ada seoptimal mungkin.
h. Akuntabilitas: para pengambil keputusan di pemerintah,
sektor swasta, dan organisasi masyarakat bertanggungjawab, baik kepada
masyarakat maupun kepada lembaga-lembaga yang berkepentingan.
i. Visi strategis: para pemimpin dan masyarakat memiliki
perspektif yang luas dan jauh ke depan atas tata pemerintahan yang baik dan
pembangunan manusia, serta kepekaan akan apa saja yang dibutuhkan untuk
mewujudkan perkembangan tersebut. Selain itu mereka juga harus memiliki
pemahaman atas kompleksitas kesejarahan, budaya, dan sosial yang menjadi dasar
bagi perspektif tersebut.
2.3 Teori Administrasi Pembangunan
Administrasi pembangunan mencangkup dua
pengertian, yaitu administrasi dan pembangunan. Administrasi adalah keseluruhan
proses pelaksanaan keputusan – keputusan yang telah diambil dan diselenggarakan
oleh dua atau lebih untuk mencapai tujuan yang telah ditentukan sebelumnya,
sedangkan pembangunan didefinisikan sebagai rangkaian usaha mewujudkan
pertumbuhan dan perubahan secara terencana dan sadar yang ditempuh oleh suatu
negara bangsa menuju modernitas dalam rangka pembinaan bangsa (nation-building).
Ada beberapa pengertian administrasi pembangunan menurut para ahli.
Hiram
S. Phillips mendefinisikan administrasi pembangunan sebagai rather than the
traditional term of public administration to indicate the need for a dynamic
process designed particularly to meet requirements of social and economic
changes. Pernyataan ini diartikan sebagai lebih baik dari pada masa
tradisional administrasi publik untuk menunjukkan kebutuhan untuk suatu proses
dinamis yang didesain secara khusus untuk mendapatkan syarat perubahan sosial
dan ekonomi.
Paul
Meadows mendefinisikan administrasi pembangunan sebagai development
administration can be regarded as the public management of economic and social
change in term of deliberate public policy. The development administrator is
concerned with guiding change. Pernyataan ini diartikan sebagai
administrasi pembangunan dapat dipandang sebagai manajemen publik perubahan
ekonomi dan sosial yang disengaja dalam masa kebijakan publik. Administrator
pembangunan dapat memfokuskan pada perubahan terarah.
2.4 Teori Pengawasan
Menurut Stoner dan
Wankel “Pengawasan berarti para manajer berusaha untuk meyakinkan bahwa
organisasi bergerak dalam arah atau jalur tujuan. Apabila salah satu bagian
dalam organisasi menuju arah yang salah, para manajer berusaha untuk mencari
sebabnya dan kemudian mengarahkan kembali ke jalur tujuan yang benar “.
Sementara itu menurut McFarland (dalam Handayaningrat, 1994:143). “Control is
the process by which an executive gets the performance of his subordinates to
correspondas closely as possible to chosen plans, orders, objectives, or
policies “. (Pengawasan ialah suatu proses dimana pimpinan
ingin mengetahui apakah hasil pelaksanaan pekerjaan yang dilakukan oleh
bawahannya sesuai dengan rencana, perintah, tujuan, atau kebijaksanaan
yang telah ditentukan ).
Selanjutnya Smith menyatakan bahwa:“Controlling“
sering diterjemahkan pula dengan pengendalian, termasuk di dalamnya pengertian
rencana-rencana dan norma-norma yang mendasarkan pada maksud dan tujuan
manajerial, dimana norma-norma ini dapat berupa kuota, target maupun pedoman
pengukuran hasil kerja nyata terhadap yang ditetapkan.
Pengawasan merupakan kegiatankegiatan dimana suatu
sistem terselenggarakan dalam kerangka norma-norma yang ditetapkan atau dalam
keadaan keseimbangan bahwa pengawasan memberikan gambaran mengenai hal-hal yang
dapat diterima, dipercaya atau mungkin dipaksakan, dan batas pengawasan (control
limit) merupakan tingkat nilai atas atau bawah suatu sistem dapat menerima
sebagai batas toleransi dan tetap memberikan hasil yang cukup memuaskan.
Dalam manajemen, pengawasan (controlling)
merupakan suatu kegiatan untuk mencocokkan apakah kegiatan operasional (actuating)
di lapangan sesuai dengan rencana (planning) yang telah ditetapkan dalam
mencapai tujuan (goal) dari organisasi. Dengandemikian yang menjadi
obyek dari kegiatan pengawasan adalah mengenai kesalahan, penyimpangan, cacat
dan hal-hal yang bersifat negatif seperti adanya kecurangan,pelanggaran dan
korupsi.
BAB
III
ANALISIS
MASALAH
3.1 Studi Kasus: Penertiban Pedagang Kaki Lima Di Jalan Sunu Kecamatan
Bontoala Kota Makassar
Penertiban
Pedagang kaki lima yang ada disekitar jalan sunu kecamatan Bontoala Kota
Makassar merupakan prioritas utama bagi pemerintah kota makassar penertiban ini
merupakan pertama kali dilakukan oleh pedagang yang telah berjualan di tempat
tersebut selama puluhan tahun, wali kota makassar yang turun langsung dan
menyaksikan pembongkaran lapak oleh para pedagang tersebut menyampaikan akan
memprioritaskan mereka direkolasi ke tempat baru yang disiapkan pemerintah kota
makassar, satu kesyukuran adanya kesadaran dari masyarakat khususnya pedagang
kaki lima yang bersangkutan mau membongkar sendiri tempat mereka dengan
sukarela tanpa adanya perlawanan atau bentrokan, dan yang ini akan dijadikan
utama dan prioritas menempati tempat yang telah disiapkan oleh pemerintah yaitu
tepatnya di Sekitaran Lapangan Karebosi.
Penertiban
pedagang kaki lima di sekitaran jalan sunu karena memang betul betul menjadi
kendala dan pelanggaran bagi setiap pengguna jalan maupun fasilitas umum
lainnya, selain mengganggu pengguna lainnya pedagang kaki lima juga kerap tidak
tertib dalam hal pengelolaan persampahan dan kepedulian terhadap lingkungan
seperti halnya bagi mereka yang menjajakan makanan cepat saji, mereka
meninggalkan sampah dan kotoran di tempat umum sehingga mencemarkan hal yang
tidak baik bagi pengguna fasilitas umum lainnya, selain itu juga menimbulkan
kemacetan kendaraan di sekitaran jalan sunu dan sekitaran mesjid al-markas, berdasarkan
data dari dinas sosial dan pemerintah kota makassar bahwa pedagang kaki lima
yang akan direkolasi dari 7600 pk5 makassar yang rencananya akan dilakukan
penataan setelah 47 PK5 ini telah mencapai kata sepakat dengan pemerintah kota
makassar.
Dalam
pelaksanaan penertiban Pedagang kaki lima ini belum berjalan maksimal karena
selain ada pedagang yang sadar dan sukarela untuk membongkar sendiri
bangunannya ada juga pedagang yang enggan membongkar lapak dagangannya karena
belum ada dan belum jelas akan kemana mereka, kios yang dijanjikan pemerintah
kota di sekitar lapangan karebosi belum selesai pembangunan, hal ini menjadi
perhatian bagi pemerintah kota makassar khususnya pemerintah kecamatan
bontoala.
Untuk
menyikapi membandelnya pedagang kaki lima yang tidak mau membongkar sendiri
lapaknya, pemerintah akan mengambil sikap tegas yakni dengan melakukan
pembongkaran secara paksa, karena pemerintah sudah memberikan peringatan dan
memberikan solusi, dan perlu kita ketahui bahwa tanah yang ditempati para pedagang
tersebut merupakan tanah pemerintah kota makassar yang diperuntukkan sebagai
bahu jalan dan sarana fasilitas umum.
3.2 Analisis Kasus
Penertiban pedagang kaki lima di
jalan sunu salah satu contoh bagaimana dibutuhkannya peran pemerintah dalam
menganulir setiap kebutuhan dan kepentingan masyarakat sehingga tidak terjadi
ketersinggungan antara masyarakat yang dikenakan peraturan dan kebijakan,
walaupun pada dasarnya kebijakan itu untuk kepentingan dan kenyamanan kita
bersama, bukan hanya kepentingan pemerintah semata, satu istilah yang mengubah
pemikiran masyarakat banyak yakni penggusuran ke penertiban dan penataan
sehingga tidak berkesan memaksa dan anarkis sehingga pedagang tergerak hatinya
untuk peduli lingkungan dan pemanfaatan fasilitas umum.
Salah satu yang penting dalam penertiban
yakni bagaimna menjalin koordinasi antara pedagang kaki lima yang ada di jalan
sunu dengan pemerintah setempat khususnya lurah dan camat, sehingga pedagang
tidak lagi kaget dengan adanya kebijakan yang akan dilakukan tersebut, hal itu
juga dilakukan tiada lain untuk menghindari gesekan gesekan terhadap masyarakat
yang tidak menerima dengan adanya penertiban tersebut dan menghindari kegiatan kegiatan yang anarki
sehingga membahayakan kedua belah pihak.
Dalam pembuatan sebuah kebijakan publik, seharusnya
masyarakat memiliki peran sebagai stakeholder
yang memiliki hak penuh atas proses pembuatan kebijakan tersebut. Hal ini
dikarenakan kebijakan publik tersebut akan memiliki keterkaitan dalam keberlangsungan
masyarakat. Pada kasus ini, dapat dilihat bahwa perumusan kebijakan untuk menertibkan
bangunan liar di sekitar jalan sunu dan sekitar mesjid al-markas sekaligus merenovasi
tempat tersebut tidak disertai dengan pelibatan partisipasi masyarakat ataupun
melakukan konsultasi publik.
Musyawarah Perencanaan Pembangunan atau yang biasa
dikenal dengan Musrenbang pun tampak tidak disebut-sebut dalam tahap pembuatan
kebijakan penertiban dan rencana renovasi tempat tersebut. Padahal seharusnya,
musrenbang sebagai sarana penyatuan kesepakatan antara masyarakat dan
pemerintah, setidaknya memiliki relevansi untuk menerapkan bagan di bawah ini
dalam setiap rencana pembangunan dan penertiban termasuk rencana renovasi lahan
sekitar mesjid al-markas dan jalan sunu.
Berdasarkan
bagan di atas, dapat dilihat bahwa dalam sebuah sistem strategis dari
pembangunan, peran partisipasi masyarakat haruslah seimbang dengan peran
pemerintah dan swasta. Artinya, dalam perencanaan pembangunan, masyarakat
dipandang sebagai subjek, bukan objek pembangunan. Sama halnya dengan
pemerintah melibatkan pihak swasta.
Pemaparan
tersebut mencerminkan sebuah konsep tata kelola pemerintahan yang baik (good governance), dimana pemerintah
tidak lagi menjadi aktor tunggal dalam segala hal yang berkaitan dengan penyelenggaraan
kegiatan negara, akan tetapi ada aktor-aktor lain yang memiliki peran yang sama
dengan pemerintah, yaitu swasta dan masyarakat.
BAB IV
PENUTUP
4.1. Kesimpulan
Menanggapi masalah penertiban pedagang kaki lima yang
berada di jalan sunu dan sekitaran mesjid al-markaz menurut penulis bahwa dalam
penegakan aturan atau pelaksanaan suatu aturan memang terkadang menghadapi
kendala karena ada beberapa sebab diantaranya masalah masyarakat atau pedagang
yang ngotot tidak mau direlokasi karena dengan alasan sudah tinggal puluhan
tahun dan alasan yang sangat mendasar yakni belum jelasnya akan kemana mereka
setelah direlokasi walaupun dari pihak pemerintah kota makassar menjanjikan
akan mengalihkan ke sekitar lapangan karebosi akan tetapi sampai sekarang masih
tahap pembangunan dan tempatnya belum siap.
Masyarakat harusnya lebih peka terhadap
prosedur yang telah dikeluarkan oleh pemerintah kota makassar mengenai masalah
penertiban karena tanah atau lahan yang mereka tempati untuk menggelar dagangan
mereka merupakan lahan pemerintah kota makassar dan pedagang tidak mempunyai
hak kepemilikan yang sah, didalam penertiban terjadi gesekan antara satpol pp
dengan pedagang kaki lima yang membangkang dan tidak mau pindah Namun, lebih
dari itu semua, penyebab utama dari bentrok ini adalah partisipasi masyarakat yang sangat minim terhadap pembuatan kebijakan
ini. Konsekuensi logis dari hal tersebut adalah aksi massa yang anarkis
berbentuk kerusuhan yang dilakukan oleh pedagang dan direspon dengan negatif
oleh Satpol.
4.2. Rekomendasi
Menurut penulis, untuk menciptakan good governance dalam setiap proses
pengambilan kebijakan pembangunan, seperti dalam rencana penataan ulang taman
sekitar mesjid al-markaz dan penertiban pedagang kaki lima PK5 harus melibatkan
partisipasi masyarakat, karena masyarakat bukanlah objek dalam pembangunan.
Selain itu, antara pemerintah, swasta, dan masyarakat harus ada komunikasi yang
sinergis sehingga tidak terjadi kesalah pahaman antara masing-masing pihak.
Daftar Pustaka