Minggu, 27 November 2016

Warisan Masa Lalu Historis Kelembagaan



Warisan  Masa Lalu
Historis Kelembagaan

            Pendekatan dominan lainnya pada kelembagaan dalam ilmu politik telah digambarkan sebagai “historis  kelembagaan”. Meskipun mereka menyatakan meminjam istilah tersebut dari Theda Skocpol, Steinmo, Thelen dan Longstreth (1992) adalah utama dalam membuat pernyataan terpadu dari pendekatan dan dalam mendukung aplikasi lebih luas historis kelembagaan dalam disiplin ilmu. Dasarnya,  dan seakan-akan mudah, ide tersebut adalah pilihan kebijakan dibuat ketika lembaga sedang dibentuk atau ketika kebijakan dimulai,  akan berlanjut dan sebagian besar menentukan pengaruh terhadap kebijakan jauh ke masa depan (Skocpol, 1992; King, 1995).  Satu cara menggambarkan argumen ini adalah “pola ketergantungan” (Krasner, 1984), ketika program pemerintah atau organisasi memulai pola dimana ada kecenderungan kurang terhadap pilihan kebijakan untuk berlangsung lama. Pola tersebut bisa dirubah, tetapi memerlukan tekanan politik yang baik untuk menghasilkan perubahan tersebut.
            Historis kelembagaan  adalah sebenarnya versi pertama dari kelembagaan baru  untuk muncul dalam disiplin ilmu politik. Salah satu dari pernyataan penelitian terawal adalah Peter Hall (1986) analisis perkembangan  kebijakan ekonomi di Perancis dan Inggris.
            Historis kelembagaan dalam pandangan ini menyatakan aliran evolusi, daripada  secara penuh mengikuti pola awal. Ketergantungan pola dalam pandangan ini adalah bukan status dari lembaga dan  kebijakan mereka. Namun,  pola yang harus diikuti. Akan ada perubahan dan evolusi, tetapi tingkat kemungkinan dari perkembangan tersebut telah dihambat oleh periode perkembangan dari lembaga.
Apa yang dimaksud lembaga?
            Pertanyaan  paling dasar dalam mempertimbangkan analisis kelembagaan adalah apa yang merupakan lembaga dalam setiap pendekatan. Dalam beberapa cara untuk pertanyaan dasar ini diberikan oleh  historis kelembagaan  lebih  tidak jelas dalam sebagian besar pendekatan. Thelen dan Steinmo (1992, pp-2-4) menetapkan lembaga dengan cara – cara contoh, bertingkat dari struktur pemerintah formal (legislatur) hingga lembaga legal (hukum pemilihan) hingga lembaga sosial lebih tidak berbentuk (kelas sosial) dan nampak menerima  pemisahan struktur  ini sebagai komponen dari aparat lembaga yang akan mereka gunakan untuk menjelaskan fenomena politik.
            Penekanan dari  historis kelembagaan adalah lebih pada  adanya lembaga setelah mereka terbentuk dalam fakta dari  penciptaan awal mereka. Pada beberapa tingkatan penekanan  perwujudan ide dalam struktur yang mendukung lembaga bisa dianggap sebagai definisi dari formasi kelembagaan.  Bisa dinyatakan bahwa ketika ide menjadi diterima dan diwujudkan kedalam bentuk struktural, maka lembaga telah terikat untuk diciptakan.
            Apa yang menjadi pertanyaan paling penting  dari formasi dalam lembaga historis adalah  penetapan kapan penciptaan tersebut terjadi. Pilihan dari  tanggal relevan  untuk memperhitungkan perkembangan masa depan akan menjadi krusial untuk membuat kasus tersebut pola awal yang akan nampak dan membentuk kebijakan  berikutnya dalam bidang kebijakan.
            Pertanyaan dari apa yang menetapkan peristiwa, atau perubahan apa yang  meningkat dan perubahan apa yang fundamental, adalah salah satu yang familiar dalam ilmu politik (Hayes, 1992).
            Perubahan Kelembagaan
            Salah satu bidang dimana  historis kelembagaan bisa diharapkan untuk mempunyai waktu sulit menangani pertanyaan dari perubahan kelembagaan. Seluruh kerangka kerja analitis nampak berpremis pada efek yang bertahan dari lembaga dan pilihan kebijakan dibuat pada awal dari struktur.
            Historis kelembagaan telah mengancam perubahan melalui konsep pemberian keseimbangan (Krasner, 1984). Sebagaimana frase ini nyatakan, ada harapan dalam pendekatan bahwa sebagian eksistensi  sebuah  lembaga akan eksis dalam keadaan seimbang, berfungsi dalam hubungannya dengan keputusan yang dibuat dalam memulainya atau mungkin  apa yang dibuat dari poin  awal sebelumnya.
            Jika kita ingat bahwa kekuatan dari ide  publik oleh (Reich, 1990)  adalah bagian utama dari historis kelembagaan, maka perubahan kelembagaan pada beberapa tingkatan menjadi pertanyaan dari bagaimana untuk merubah ide.
            Paul Pierson (1996) telah menyatakan bahwa evolusi harus menjadi proses penting perubahan dalam   analisis historis kelembagaan. Pendekatan pada perubahan dibahas semuanya tergantung  dalam menciptakan  pemisahan khusus dari kebijakan masa lalu, sedangkan Pierson bahwa perubahan lebih bertahap juga memungkinkan.  Dalam pandangan dia sebagian besar desain kelembagaan mengandung setidaknya elemen yang  belum terjawab atau tidak berfungsi yang menghasilkan  kebutuhan bertahap untuk  perubahan.
            Historis kelembagaan adalah bukan sumber penjelasan yang baik untuk perubahan dalam organisasi dan lembaga. Kita bisa menyatakan bahwa perubahan adalah tidak secara total anti pada pendekatannya, tetapi tentu saja bukan pada elemen utamanya. Untuk mengungkap penjelasan untuk perubahan tersebut dimana kita terdorong untuk bergerak keluar dari pendekatan itu sendiri unbtuk mengenali dinamika lainnya (pembelajaran atau  perubahan lingkungan) yang bisa menghasilkan tekanan politik sesuai untuk menghasilkan perubahan.
            Reaksi individual dan lembaga
            Tidak seperti  pendekatan lainnya pada kelembagaan dari ahli historis kelembagaan adalah tidak  secara khusus menyangkut bagaimana individual ini berhubungan dengan lembaga dimana mereka berfungsi.  Nampak ada asumsi implisit dari pendekatan bahwa ketika individual  memilih untuk berpartisipasi dalam lembaga mereka akan menerima hambatan diberikan oleh lembaga tersebut, tetapi hubungan tersebut tidak dieksplor secara langsung oleh para ilmuwan yang bekerja secara biasa.
            Lembaga  yang baik
            Apa yang merupakan lembaga baik dalam model kehidupan politik.  Satu cara untuk memikirkan tentang kualitas dari lembaga dalam  ahli historis kelembagaan adalah  mampu beradaptasi. Kriteria ini  namak menjadi kontradiksi langsung dari premis dasar model tersebut, namun tidak  masuk akal.  Secara khusus, karya dari para ilmuwan seperti Pierson (1996) menyatakan bawha  pilihan awal adalah tidak berfungsi maka   lembaga yang berhasil harus berubah.   
            Pernyataan normatif lain yang bisa digunakan dari historis kelembagaan versi pendekatan    adalah  lembaga yang baik bisa menafsirkan  basis ide mereka kedalam tindakan.
            Batasan penjelasan
            Salah satu dari aspek paling menarik  pendekatan ahli historis kelembagaan adalah tujuan eksplisit mereka adalah  menangani  permintaan dari analisis perbandingan politik. Para ilmuwan ini mepertimbangkan pendekatan yang mampu menjelaskan perbedaan  lintas sistem politik. Hall (1986), sebagai contoh, cukup jelas dalam argumen dia tentang efek historis yang berbeda, dan  lembaga yang berbeda dalam  kebijakan ekonomi dan hasil ekonomi  dari Perancis dan Inggris.
            Historis kelembagaan bukan hanya versi dari  kelembagaan normatif, memberikan penerimaan  dari “logika kesesuaian” dalam membentuk perilaku. Konsentrasi pada ide dan  arah dimana ide membentuk perilaku, mungkin lebih sedikit daripada yang dikatakan ada logika kesesuaian dalam bidang kebijakan dan dalam  lembaga pemerintah  tertentu. Akan tetapi, semua ilmuwan ini menyatakan bahwa ada logika  yang mempunyai durasi sama sepanjang waktu adalah tidak jelas  bahwa ada benar – benar pendekatan khusus  pada lembaga. Historis kelembagaan  mungkin bisa  digolongkan komponen dari pendekatan normatif March dan Olsen, walaupun kepentingannya berkembang baik dalam sejarah dan dampak dari lembaga sepanjang waktu. Memberikan penekanan bahwa March dan Olsen menempatkan pada sejarah, sekali lagi    itu bisa menjadi lebih masuk akal daripada hanya mempertimbangkan varian ini bagian dari  kelembagaan normatif. 
            Pada akhirnya, tidak selalu jelas bagaimana   pernyataan diri versi dari  historis kelembagaan berbeda dari  pendekatan kelembagaan historis. Gunakan, sebagai contoh analisis Ellen Immergut tentang kebijakan kesehatan (1992a, 1992b) menggunakan konsep poin veto untuk menetapkan hubungan penting yang muncul dari struktur kelembagaan.
            Pertanyaan paling sulit tentang  historis kelembagaan adalah apakah penjelasan bisa dipalsukan, standar Popperian (Popper, 1959) menguji teori ilmiah yang sesuai. Sebagaimana teori  pilihan rasional selalu  mengembangkan penjelasan yang menunjukan bahwa aktor yang bertindak secara rasional, begitupula  ahli  historis kelembagaan bisa selalu menghasilkan penjelasan yang menunjukan dampak dari keputusan sebelumnya dan  kecenderungan   kebangkitannya.

Dalam banyak cara  ahli  histori kelembagaan, ketika mempertimbangkan dengan teliti, paling mengejutkan dari sekolah teori kelembagaan dalam ilmu politik. Kesan awal diciptakan adalah penjelasan statis dan konservatif dari kebijakan dan dengan asumsi yang berlakuk dari struktur lembaga yang  sangat stabil. Setelah membaca lebih lanjut dalam literatur ini, bagaimanapun, dinamika jelas penyesuaian bisa dibedakan  dan pendekatan nampak menawarkan cakupan lebih besar atas penjelasan yang bisa diharapkan. Selain itu, ahli historis kelembagaan memberikan kesempatan melihat  lembaga lintas waktu ketika banyak pendekatan lebih terikat pad waktu dan bahkan pada ruang.
Akan tetapi, ada juga beberapa masalah besar dengan penjelasan ahli historis kelembagaan dalam kebijakan dan kehidupan politik.  Kesulitan paling mendasar adalah cara menafsirkan teori kelembagaan memebrikan sedikit atau tidak ada kapasitas untuk memperkirakan perubahan. Sebagaimana asumsi dari model ini adalah hampir  pasti tidak statis sebagaimana kritik akan membuat kita percaya. Pendekatan ini masih nampak, akan tetapi, ketidakmampuan melakukan hal lain daripada  perubahan paska pilihan dalam keseimbangan yang mengkarakterisasikan prediksi dari pendekatan ini.  Kekurangan ini belum fatal, menyatakan bahwa model bisa dipertimbangkan sebagai deskriptif daripada  penjelasan atau perkiraan, tetapi ini tentu saja membatasi seluruh  kegunaan ilmiah dari  laporan teori kelembagaan.
Selain itu, versi kelembagaan ini mempunyai beberapa kesulitan dalam membedakan dirinya sendiri dari pendekatan lainnya.  Historis kelembagaan ini menyatakan  dominasi  keputusan dibuat awal dalam eksistensi dari program atau organisasi. Dengan berusaha untuk menyelesaikan kritik menjadi  terlalu statis, akan tetapi,  pendukung dari pendekatan historis telah menyandarkan pada  penjelasan ide – ide yang membuat mereka nampak seperti  ahli lembaga normatif atau  seperti  teori kognitif dalam   sosiologis kelembagaan.
Kurangnya perbedaan jelas, dalam beberapa cara, adalah kelebihan dari historis kelembagaan. Jika sama dengan pendekatan lainnya maka pendekatan historis bisa diintegrasikan, jika tidak semuanya, versi lain dari kelembagaan baru dan mungkin  menciptakan sesuatu dari integrasi teori kelembagaan  untuk ilmu politik.  Nampaknya ada sesuatu yang bisa dipertimbangkan menjadi  kelembagaan baru. Historis kelembagaan adalah bagian utama dari  pemikiran utama tentang kehidupan politik. Disamping sentralitasnya, pendekatan tidak mempunyai masalah tertentu yang membatasi kapasitasnya sendiri untuk menjelaskan dan untuk  memperkirakan.  

TEORI PILIHAN RASIONAL DAN TEORI KELEMBAGAAN



TEORI PILIHAN RASIONAL DAN TEORI KELEMBAGAAN
            Tumbuhnya dominasi teori pilihan rasional dalam ilmu politik adalah pertimbangan utama  yang memotivasi March dan Olsen untuk mendukung versi normatif mereka dalam kelembagaan baru. Menyatakan bahwa teori pilihan rasional tergantung pada kekuatan analitis kekuatan terhadap penggunaan pemaksimalan keputusan individual, akan nampak bahwa usaha untuk menghubungkan teori tersebut pada kelembagaan dan hambatan pengaruh dari lembaga akan  menjadi berlawanan dan tidak sesuai. Disamping basis individualistis mendukung   pendekatan analitis, ahli kelembagaan pilihan rasional telah benar – benar memahami bahwa sebagian besar kehidupan politik terjadi dalam lembaga (Lihat Tsebelis, 1990), dan mampu memberikan penjelasan komprehensif dari  teori politik mereka harus arahkan dalam sifat dan peran dari lembaga politik.
RASIONALISASI  KELEMBAGAAN
            Kontradiksi yang ada dalam kelembagaan pilihan rasional diselesaikan dalam praktek, jika bukan alasan  lain dimana individual menyadari bahwa aturan kelembagaan juga membatasi para pesaing mereka dalam permainan apapun dalam memaksimalkan para pesaing yang  percaya untuk dilibatkan (Weingast, 1996).
            Kapasitas untuk menghasilkan rasionalitas kolektif dari tindakan pilihan rasional yang mungkin tanpa adanya aturan kelembagaan, menghasilkan ketidakrasionalan kolektif adalah ciri utama dari pandangan pilihan rasional dalam lembaga.
            Dalam pendekatan rasionalisasi kelembagaan, kelembagaan dikonseptualisasikan sebagian besar sebagai kumpulan dari masukan positif dan motivasi aturan negatif untuk individual, dengan maksimalisasi kemampuan individual memberikan dinamika untuk perilaku dalam model ini. 
KERAGAMAN PILIHAN RASIONAL KELEMBAGAAN
A.    Sekumpulan asumsi umum. Variasi berbeda dari versi pilihan rasional kelembagaan semuanya berasumsi bahwa individual adalah aktor utama dalam proses politik dan bahwa individual tersebut bertindak rasional untuk memaksimalkan kegunaan personal. Dalam istilah  yang digunakan oleh Scott (1995a), sebagian besar analisis pilihan rasional  cenderung menjadi regulatif daripada normatif atau kognitif. .
B.       Sekumpulan Masalah Umum.  Pendekatan pilihan rasional semuanya mempertimbangkan cara – cara menghambat variabilitas dari perilaku manusia dan dalam menyelesaikan masalah klasik yang muncul dalam bentuk politik dan lainnya dari pengambilan keputusan kolektif (Bates, 1988). Masalah lainnya   adalah pandangan pilihan rasional dalam lembaga adalah koordinasi dan kendali dari birokrasi publik. Tugas utama dari desain kelembagaan karena itu menjadi untuk mengembangkan konfigurasi lembaga yang akan menjamin pemenuhan dari para anggotanya dengan keinginan dari atasan mereka (Horn, 1995).
C.     Tabula Rasa. Pilihan pandangan rasional berasumsi bahwa lembaga dibentuk pada tabula rasa. Hasil dari proses desain ditentukan oleh sifat dari insentif dan hambatan yang sedang dibangun dalam lembaga. Asumsi yang menyatakan bahwa sejarah masa lalu dari lembaga atau organisasi adalah sedikit pertimbangan dan kumpulan baru dari insentif bisa menghasilkan perubahan perilaku lebih mudah.
LEMBAGA  SEBAGAI ATURAN
Versi  dari  pendekatan pilihan rasional mengkonseptualisasikan  lembaga sebagai kumpulan dari aturan dengan para anggota dari organisasi atau  lembaga – menyepakati aturan tersebut dalam pertukaran manfaat  sebagaimana mereka mampu memperoleh keanggotaan mereka dalam struktur tersebut.
ATURAN  KEPUTUSAN
Pandangan alternatif dari peran  teori pilihan rasional dalam analisis kelembagaan  juga tergantung pada aturan, tetapi aturan ini dikonseptualisasikan sebagai pemenuhan secara signifikan, tujuan berbeda. James Buchanan dan Gordon Tullock, ne Calculus  of Consent (1962). Dua ilmuwan ini memberikan  interpretasi pilihan publik dan memberikan dasar, dari   lembaga politik. Mereka mempertimbangkan penulisan konstitusi sebagai pertanyaan dari desain kelembagaan (lihat juga Sartori, 1997) dan sebagai proses yang akan dilakukan dengan baik jika para pembentuk mempertimbangkan aturan keputusan apa yang ada dalam dokumen mereka pada pilihan dari kumpulan keputusan mereka.
INDIVIDUAL DALAM ORGANISASI
Pandangan dari aktor rasional  yang berusaha untuk menggunakan kelembagaan untuk memenuhi tujuan individualnya. Sebagai contoh, William Niskanen (1971, 1994) telah menyatakan bahwa para pemimpin dari organisasi birokratis dalam pemerintahan menggunakan posisi mereka untuk memaksimalkan kegunaan personal, biasanya  melalui instrumen seperti anggaran yang lebih besar dan alokasi lebih besar dari personel.
MODEL AGEN UTAMA
Interaksi diantara lembaga  dan antara individual dan lembaga, bisa dipertimbangkan dari pandangan model agen utama.  Pandangan ini bisa diaplikasikan dalam organisasi sebagaimana melayani sebagai cara memahami interaksi diantara grup lembaga dalam sektor publik. Sebagai contoh, dalam organisasi publik pemimpin dari organisasi tersebut (apakah perdana menteri  atau administratur) bisa bekerja sebagai agen  untuk para pegawainya. 
PERMAINAN TEORITIS VERSI LEMBAGA
Masalah dari pemenuhan bisa juga dikonseptualisasikan  sebagai sekumpulan permainan diperankan antara aktor (biasanya para legislatur) berusaha untuk memastikan  pemenuhan pekerjaan dari aktor lainnya (biasanya birokrat), sedangkan aktor  birokrat tersebut secara umum mencari kebebasan lebih besar untuk tindakan.
Konsepsi teoritis permainan dari teori  kelembagaan  ada kesamaan dengan model agen utama. Keduanya dipusatkan pada pemecahan masalah, berasumsi bahwa para  legislatur berusaha mengenali cara untuk mencegah penyimpangan dari para birokrat. Perbedaan  antara dua versi dari  pilihan rasional kelembagaan nampak pada bagaimana proses pemenuhan dikonseptualisasikan. Pada teori versi permainan, masalah lebih bilateral dengan dua aktor yang berusaha untuk mengkomitmenkan pada pemenuhan lainnya dengan istilah dari penawaran  yang sama-sama dipahami.
PERTANYAAN TENTANG TEORI KELEMBAGAN
Apa  yang dimaksud kelembagaan?
                (Kiser dan Ostrom, 1982, p 1.79). bahwa lembaga adalah: aturan digunakan oleh individual untuk menentukan siapa dan apa yang dimasukan dalam situasi keputusan, bagaimana informasi disusun, tindakan apa yang bisa dilakukan dan  dalam susunan apa dan bagaimana  tindakan individual akan menjadi dikumpulkan kedalam tindakan kolektif ……semuanya eksis dalam bahasa bersama oleh sebagian komunitas individual daripada bagian fisik dari sebagian lingkungan eksternal.
Formasi Kelembagaan.
            Setelah kita mengetahui apa yang dimaksud lembaga, kita kemudian  harus menanyakan bagaimana  lembaga bisa terbentuk. Lembaga tidak terbentuk secara otomatis karena mereka diperlukan, tetapi harus diciptakan (lihat Sugden, 1986).
Logika dari pembentukan kelembagaan dan struktur aturan yang dipilih adalah untuk menyesuaikan dan membentuk situasi keputusan tertentu. Sebagai contoh, bagaimana bisa sistem aturan didesain dengan tujuan untuk memaksimalkan kendali efektif organisasi  legislatif terhadap birokrasi dan bagaimana bisa dibuat untuk menolak masa jabatan dari periode legislatif tertentu. 
Perubahan  Kelembagaan
            Ada pernyataan lain dari perbedaan analitis fundamental antara teori variansi dan proses (kelembagaan) teori dari lembaga (Mohr, 1982). Perubahan kelembagaan adalah secara eksogen (dari faktor eksternal atau luar) pada model dimana tujuannya adalah untuk menjelaskan hasil dan karena itu secara umum diabaikan, kecuali masalah modeling yang baru yang telah terjadi. Perubahan terjadi ketika lembaga yang ada  telah gagal untuk memenuhi kebutuhan  pembentukannya. Definisi dari kegagalan adalah  tidak berharga tetapi mungkin berhubungan dengan definisi dari “lembaga yang baik.  Apa yang paling penting  adalah perubahan proses didasari, bahkan jika melibatkan tanpa keahlian dengan lembaga yang ada, daripada proses berkelanjutan diasumsikan dalam sebagian teori lain dalam lelembagaan.
            Reaksi individual dan kelembagaan
            Bagaimana individual dan lembaga berinteraksi? Interaksi adalah bidireksional.  Di satu sisi, lembaga dinyatakan membentuk perilaku dari individual, tujuan utama dari eksistensi atas pendekatan ini nampak untuk didemonstrasikan: bagaimana struktur diluar individual membentuk  perilaku   individual dalam lembaga.  Di sisi lain, individual juga diasumsikan membentuk perilaku dari lembaga dan dengan definisi individual  harus menjadi kasus dari aktivitas kelembagaan.
            Satu lagi dari argumen umum tentang individual dan lembaga dalam teori kelembagaan adalah tujuan dari struktur adalah   untuk membentuk pilihan individual. Pembentukan ini bisa diselesaikan melalui aturan, melalui  pembuatan kontrak atau melalui pembentukan bayaran ditawarkan dalam analitis (atau permainan (yang memungkinkan dilakukan).  Grafstein 1992 dari hubungan ini adalah  manusia mendesain dan menciptakan lembaga, tetapi kemudian mereka dibatasi oleh lembaga.  
Desain Kelembagaan
             Satu dimensi penting dari formasi kelembagaan dalam pilihan rasional adalah desain disadari dari lembaga. Tujuan utama dari memahami lembaga dalam pendekatan ini adalah mampu memanipulasi hasil dalam susunan desain.
Pendekatan pilihan rasional pada lembaga ini  atau pendekatan  ekonomi lebih umum juga mengingatkan  kita bahwa menciptakan lembaga adalah bukan aktivitas yang tanpa biaya.  Kreasi dari lembaga memerlukan investasi waktu dan bakat dan bisa memerlukan  sumber lain yang lebih nyata jika usaha desain diharapkan berhasil (lihat Hetcher, 1990).
Lembaga yang Baik.
            Lembaga yang baik adalah lembaga yang bisa menyelesaikan tugas dengan baik dan efisien, biasanya dengan mempertahankan komitmen pada norma yang berpengaruh lainnya seperti demokrasi. Memberikan hubungan antara diagnosis dan resep kegagalan dalam struktur lain, tidak mengejutkan bahwa lembaga yang baik  bisa mempunyai arti berbeda, untuk versi berbeda dari analisis pilihan rasional. (Self, 1995) dalam konteks kelembagaan, efisien mengarah pada kapasitas dari organisasi politik untuk memetakan sekumpulan pilihan diungkapkan oleh publik kedalam keputusan kebijakan dalam cara yang menghasilkan keputusan   yang tidak dapat diterima.   Dalam  lembaga politik efisien akan menghasilkan keputusan yang tidak mengancam seluruh legitimasi dari sistem politik.
Karakterisasi  sederhana dari  teori pilihan rasional tidak akan melihat tempat manapun untuk lembaga dalam pendekatan. Bahkan kritik pandangan dari pendekatan.   Bahkan kritik cerdas dari pendekatan, seperti March dan Olsen, bagaimanapun mengenali bahwa ada tempat baik struktur formal dan informal sebagaimana cara menyalurkan tindakan rasional individual. Lebih lanjut, bahkan kritik terkasar  harus mengakui bahwa campuran dari pandangan  pilihan rasional dan   tampilan lembaga umum tentang kehidupan politik bisa mensuplai sejumlah wawasan penting kedalam politik. Secara khusus, lebih dari pandangan lainnya dalam kelembagaan pendekatan ini cenderung untuk memberikan koneksi analitis jelas antara individual dan lembaga mereka melalui kapasitas lembaga untuk membentuk pilihan individual  dan untuk memanipulasi insentif yang ada bagi para anggota dari organisasi.
Pendekatan tersebut, bukan tanpa masalah. Yang paling mengintimidasi dari ini adalah kesulitan dalam merubah prediksi yang berasal dari mode penyelidikan. Sangat sulit untuk menemukan situasi lain dimana individual bisa dikatakan tidak bertindak rasional dalam konteks dari sebagian kemungkinan insentif atau lainnya. Disamping formalisasi yang nampak, prediksi analisis pilihan rasional adalah jarang sangat spesifik dimana mereka menjadi subjek pada tes-tes jelas. Lebih lanjut, sebagian sarjana bekerja dalam teknik ini nampak lebih tertarik dalam analisis logis daripada dalam aplikasi hasil dari analisis tersebut bahwa ada sedikit konfrontasi langsung dari teori dan buktinya.
Selain dari analisis masalah dasar, ada beberapa isu lain yang membatasi kegunaan dari pendekatan rasional. Salah satu isu tersebut adalah ada kadang – kadang hubungan kecil antara  lembaga digambarkan dalam teori dan lembaga  dimana para anggota dari struktur tersebut familiar. Kebutuhan untuk menciptakan abstraksi dan penyederhanaan dengan tujuan untuk memfasilitasi  konstruksi dari model meniadakan banyak rincian yang menetapkan  kehidupan dalam lembaga. Selain itu, model sebagian tidak mampu menghasilkan tipe prediksi dari hasil kebijakan yang akan diperlukan jika model ini lebih daripada representasi menarik dari realita kompleks yang berarti untuk digambarkan.

Rabu, 23 November 2016

peran partisipasi dan pengawasan masyarakat dalam rencana pelaksanaan pembangunan



BAB 1
PENDAHULUAN


1.1. Latar Belakang Masalah
Pemerintahan di era Presiden Soeharto yang cenderung otoriter menimbulkan rasa tidak puas kepada masyarakat Indonesia. Sistem sentralistik yang dianut saat itu, menjadikan  pemerintah menjadi pihak penyelenggara negara yang kebal dari pengawasan, khususnya dari masyarakat. Pemerintahan yang top down membuat kreatifitas dan inovasi masyarakat menjadi mati karena kebebasan berpendapat dan mengkritik pemerintah sangat dibatasi. Padahal di satu sisi, kebebasan berpendapat dan mengkritik merupakan sebuah hal yang sangat penting agar evaluasi dan akuntabilitas pemerintah dalam menjalankan fungsi pembangunan dapat dipertanggungjawabkan untuk memenuhi kebutuhan masyarakat.
Secara garis besar, masyarakat menginginkan adanya reformasi dalam sistem pemerintahan di Indonesia. Masyarakat menginginkan adanya keterbukaan dalam berpendapat dan penghapusan terhadap sistem sentralistik yang dianggap mematikan pembangunan dan menghambat pemerataan kesejahteraan. Akhirnya dibentuklah undang-undang tentang otonomi daerah yang menandai dimulainya sistem desentralisasi di Indonesia. Desentralisasi dianggap dapat menjawab masalah-masalah pembangunan seperti tidak transparannya penggunaan keuangan, serta memaksimalkan persebaran pembangunan berdasarkan kebutuhan masyarakat. Fungsi pengawasan masyarakat yang belum berkembang saat pemerintahan Soeharto diharapkan dapat muncul dan memberi andil dalam pembangunan negara.
Namun demikian, pemerintahan dan pembangunan yang terdesentralisasi tidak akan berjalan dengan efektif tanpa adanya partisipasi masyarakatnya. Partisipasi masyarakat sangat penting peranannya dalam proses pembangunan di wilayahnya sendiri. Partisipasi masyarakat bisa berbentuk partisipasi dalam pembangunan infrastruktur atau maintenance-nya; partisipasi dalam proses politik; melakukan pengawasan saat pemerintah merumuskan dan melaksanakan kebijakan publik. Penyertaan peran masyarakat dalam sistem pemerintahan akan menimbulkan sinergisitas yang sempurna untuk menciptakan good governance yang menginginkan adanya kerjasama dan partisipasi sempurna dari 3 aktor utama di negara, yaitu pemerintah atau government, pihak swasta atau privat, dan masyarakat atau civil society. Sinergitas ketiga elemen ini sangat penting agar terjadi proses pembuatan kebijakan publik yang berkeadilan dan pembangunan nasional yang merata.
 Pelibatan masyarakat sebagai shareholder dan stakeholder dalam proses perumusan kebijakan, pelaksanaan, dan evaluasinya adalah hal mutlak yang harus terjadi agar good governance dapat benar-benar ditegakkan. Jika dalam pelakasanaannya pemerintah tidak menerapkan nilai dasar good governance yaitu melibatkan partisipasi masyarakat dalam proses kenegaraan, maka yang akan terjadi adalah proses pembangunan yang tidak berkeadilan dan akan menumbuhkan konflik.
Salah satu dampak dari pemerintah tidak menumbuhkan partisipasi masyarakat dalam membuat, memutuskan, dan melaksanakan kebijakan publik ialah banyak terjadinya konflik-konflik sosial. Salah satu contohnya adalah penertiban pedagang kaki lima di wilayah sekitaran mesjid almarkas jalan sunu kecamatan Bontoala pada bulan oktober 2016. Dalam penertiban pedagang kaki lima tersebut tidak berjalan sesuai dengan apa yang kita harapkan yakni masyarakat patuh dan sadar akan kebijakan pemerintah tersebut, namun terjadi gesekan dan konflik antara pedagang dengan pihak pemerintah kota makassar, Disinyalir perlawanan ini terjadi karena masyarakat yang menempati lokasi tersebut sudah beranak cucu dan lama tinggal di tempat itu selain itu masyarakat juga menduga bahwa tidak adanya pemberitahuan sebelumnya yang dilayangkan pemerintah kota makassar sebelum mengadakan penertiban tersebut
Dalam usaha penertiban ini pemerintah kota makassar memberikan prioritas kepada pedagang yang membongkar lapak atau tempat dagangannya secara sukarela akan diberikan kesempatan untuk menempati kios yang telah disiapkan pemerintah di sekitaran lapangan karebosi sehingga pemerintah Kota makassar mengharap tidak hanya memberikan penataan atau penertiban kepada pedagang kaki lima akan tetapi sudah memberikan solusi kepada pedagang dan menyiapkan tempat kios baru bagi mereka yang taat terhadap peraturan dan kebijakan yang berlaku di Kota makassar. Yang menjadi potensi terjadinya kesalah pahaman dalam penertiban tersebut dapat dipicu karena kurangnya koordinasi pemerintah dalam hal ini lurah, camat dan perangkat lpm untuk mengkoordinasikan kebijakan pemerintah dan arah kebijakan adanya penertiban tersebut oleh karena itu Tidak adanya sinergisitas yang seharusnya dilakukan dalam sebuah good governance  dalam pemutusan kebijakan penertiban ini adalah pemicu terjadinya konflik yang tidak seharusnya terjadi.
Oleh karena itu, dalam makalah ini, penulis bermaksud untuk mengkaji lebih jauh bagaimana sebenarnya proses pelibatan masyarakat dalam rencana penertiban Pedagang Kaki Lima (PK5) yang ada di sekitaran mesjid al markas jalan sunu Kelurahan Timungan Lompoa Kecamatan Bontoala Kota Makassar serta mekanisme pengawasannya dalam pelaksanaan rencana tersebut. Dengan demikian, penulis juga berharap makalah ini bisa semakin menguatkan pernyataan bahwa  good governance perlu dibentuk sebaik-baiknya untuk mencegah terjadinya konflik kepentingan yang berbeda satu sama lain antara masyarakat, pemerintah, dan sektor swasta, salah satunya seperti  yang digambarkan pada kasus Penertiban Pedagang Kaki Lima.

1.2.      Rumusan Masalah
            Makalah ini memiliki rumusan masalah sebagai berikut:
1.            Apa penyebab terjadi penolakan yang dilakukan pedagang atas rencana penertiban Pedagang kaki lima di jalan sunu?
2.            Bagaimana bentuk partisipasi dan pengawasan masyarakat dalam rencana penertiban Pedagang Kaki Lima di jalan sunu?
3.         Bagaimana bentuk ideal partisipasi dan pengawasan masyarakat dalam setiap proses pembangunan?

1.3.      Tujuan Penulisan
            Berdasarkan rumusan masalah yang ada, maka adapun tujuan penulisan makalah ini yaitu
1.    Mengetahui penyebab terjadi penolakan yang dilakukan pedagang atas rencana             penertiban dan penataan  Pedagang Kaki lima jalan sunu.
2.    Mengetahui bentuk partisipasi dan pengawasan masyarakat dalam rencana penertiban dan penataan  Pedagang Kaki lima jalan sunu
3.    Mengkaji lebih jauh bagaimana bentuk ideal partisipasi dan pengawasan setiap proses pembangunan.

1.4.      Metode penulisan
            Makalah ini ditulis dengan menggunakan studi literatur dari beberapa bahan bacaan yang berasal dari buku-buku penunjang dan website-website yang memiliki korelasi terhadap tema makalah ini.





BAB II
KERANGKA TEORI


2.1       Partisipasi  masyarakat
            Istilah partisipasi berasal dari bahasa asing yang artinya mengikutsertakan pihak lain. Beberapa definisi lain mengenai partisipasi adalah :
·   Santoso Sastropoetro mendefinisikan partisipasi sebagai keterlibatan spontan dengan kesadaran disertai tanggung-jawab tehadap kepentingan kelompok untuk mencapai tujuan bersama.
·   Alastraire White mendefinisikan partisipasi sebagai keterlibatan komuniti setempat secara aktif dalam pengambilan keputusan atau pelaksananaannya terhadap proyek-proyek pembangunan.
·   Allport mengemukakan bahwa seseorang yang berpartisipasi sebenarnya mengalami keterlibatan dirinya/egonya yang sifatnya lebih daripada keterlibatan dalam pekerjaan atau tugas saja. Dengan keterlibatan dirinya juga berarti keterlibatan pikiran dan perasaannya.
·   Keith Davis mengemukakan definisi partisipasi  sebagai
“Mental and emotional involvement of a person in a group situation which encourages him to contribute to group goals and share responsibility in them”.
Menurut Davis, partisipasi adalah keterlibatan mental dan emosional orang-orang di dalam situasi kelompok yang mendorong mereka untuk memberikan kontribusi kepada tujuan kelompok atau berbagai tanggung jawab pencapaian tujuan tersebut.
Di dalamnya terdapat tiga buah gagasan yang penting artinya bagi para manajer atau pemimpin yang hendak menerapkan seni partisipasi dan kebanyakan dari mereka sependapat dengan tiga buah gagasan tersebut.
Dari beberapa definisi yang ada dapat disimpulkan bahwa partisipasi memiliki tiga gagasan penting, yakni keterlibatan, kontribusi, dan tanggung jawab.
1.    Keterlibatan mental dan emosional/inisiatif.
Keterlibatan ini bersifat psikologis daripada fisik. Seseorang dalam berpartisipasi lebih terlibat egonya daripada terlibat tugas.[1]
2.    Motivasi kontribusi
Unsur kedua adalah kesediaan menyalurkan sumber inisiatif dan kreatifitasnya untuk mencapai tujuan kelompok.
3.    Tanggung jawab
Partisipasi mendorong orang-orang untuk menerima tanggung jawab dalam aktivitas kelompok. Ini juga merupakan proses sosial yang melaluinya orang-orang menjadi terlibat sendiri dalam organisasi dan ingin mewujudkan keberhasilannya. Pada saat orang-orang ingin menerima tanggung jawab aktivitas kelompok, orang-orang tersebut melihat adanya peluang untuk melakukan hal-hal yang diinginkan, yaitu merasa bertanggung jawab menyelesaikan pekerjaannya. Gagasan tentang upaya menimbulkan kerja tim dalam kelompok ini merupakan langkah utama mengembangkan kelompok untuk menjadi unit kerja yang berhasil. Jika orang ingin melakukan sesuatu, orang tersebut akan menemukan cara melakukannya.[2]
Menurut Keith Davis, partisipasi memiliki beberapa bentuk dan jenis, antara lain :
1.    Bentuk Partisipasi
·         Konsultasi, biasanya dalam bentuk jasa.
·         Sumbangan spontan berupa uang dan barang.
·         Mendirikan proyek yang sifatnya berdikari dan donornya berasal dari sumbangan individu atau instansi yang berada di luar lingkungan tertentu.
·         Sumbangan dalam bentuk kerja, yang biasanya dilakukan oleh tenaga ahli setempat.
·         Aksi massa.
·         Mengadakan pembangunan di kalangan keluarga desa sendiri.
·         Membangun proyek komuniti yang bersifat otonom.
2.    Jenis-jenis partisipasi
·         Pikiran (psychological participation).
·         Tenaga (physical participation).
·         Pikiran dan tenaga (psychological dan physical participation).
·         Keahlian ( participation with skill).
·         Barang (material participation).
·         Uang (money participation).
Selain Keith Davis, Hamijoyo juga mengemukakan beberapa bentuk dari partisipasi, antara lain:
1.   Partisipasi buah pikiran
Partisipasi ini diwujudkan dengan memberikan pengalaman dan pengetahuan guna mengembangkan kegiatan yang diikutinya. Sumbangan pemikiran yang diarahkan pada penataan cara pelayanan dari lembaga/badan yang ada, sehingga mampu berfungsi sosial secara aktif dalam penentuan kebutuhan anggota masyarakat.
2.   Partisipasi tenaga
Partisipasi jenis ini diberikan dalam bentuk tenaga untuk pelaksanaan usaha-usaha yang dapat menunjang keberhasilan dari suatu kegiatan.
3.   Partisipasi keterampilan
Jenis keterampilan ini adalah memberikan dorongan melalui keterampilan yang dimilikinya pada anggota masyarakat lain yang membutuhkannya. Kegiatan ini biasanya diadakan dalam bentuk latihan bagi anggota masyarakat. Partisipasi ini umumnya bersifat membina masyarakat agar dapat memiliki kemampuan memenuhi kebutuhannya.
4.    Partisipasi uang (materi)
Partisipasi ini adalah untuk memperlancar usaha-usaha bagi pencapaian kebutuhan masyarakat yang memerlukan bantuan.
5.    Partisipasi harta benda
Diberikan dalam bentuk menyumbangkan harta benda, biasanya berupa perkakas, alat-alat kerja bagi yang dijangkau oleh badan pelayanan tersebut.
            Terdapat beberapa pakar yang mendefinisikan partisipasi masyarakat. Beberapa definisi tersebut adalah sebagai berikut:
·         Canter mendefinisikan partispasi masyarakat sebagai proses komunikasi dua arah yang berlangsung terus-menerus untuk meningkatkan pengertian masyarakat secara penuh atas suatu proses kegiatan, dimana masalah-masalah dan kebutuhan lingkungan sedang dianalisis oleh badan yang berwenang.[3]
·         Goulet mendefinisikan partisipasi masyarakat sebagai suatu cara melakukan interaksi antara dua kelompok, yaitu kelompok yang selama ini tidak diikutsertakan dalam pengambilan keputusan (non-elite) dan kelompok yang selama ini melakukan pengambilan keputusan (elite).[4]
·         Wingert merinci partisipasi atau peran serta masyarakat menjadi beberapa paham sebagai berikut:
a.    Partisipasi masyarakat sebagai suatu kebijakan
Penganut paham ini berpendapat bahwa partisipasi masyarakat merupakan suatu kebijakan yang tepat dan baik untuk dilaksanakan. Paham ini dilandasi oleh suatu pemahaman bahwa masyarakat yang potensial dikorbankan dan terkorbankan oleh suatu proyek pembangunan memiliki hak untuk dikonsultasikan.
b.    Partisipasi masyarakat sebagai strategi
Penganut paham ini mengendalikan bahwa partisipasi masyarakat merupakan strategi untuk mendapatkan dukungan masyarakat. Pendapat ini didasarkan kepada suatu paham bahwa bila masyarakat merasa memilki akses terhadap pengambilan keputusan dan kepedulian masyarakat kepada tiap tingkatan pengambilan keputusan didomentasikan dengan baik, maka keputusan tersebut akan memilki kredibilitas.
c.    Partisipasi masyarakat sebagai alat komunikasi
Partisipasi masyarakat didayagunakan sebagai alat untuk mendapatkan masukan berupa informasi dalam proses pengambilan keputusan. Persepsi ini dilandasi oleh suatu pemikiran bahwa pemerintah dirancang untuk melayani masyarakat, sehingga pandangan dan preferensi dari masyarakat tersebut adalah masukan yang bernilai guna mewujudkan keputusan yang responsive.
d.    Partispasi masyarakat sebagai alat penyelesaian sengketa
Partisipasi masyarakat didayagunakan sebagai suatu cara untuk mengurangi konflik melalui usaha pencapaian konsensus dari pendapat yang ada. Asumsi yang melandasi paham ini adalah bertukar pikiran dan pandangan dapat meningkatkan pengertian dan toleransi serta mengurangi rasa ketidakpercayaan dan kerancuan.
e.    Partisipasi masyarakat sebagai terapi
Menurut paham ini, peran masyarakat dilakukan untuk mengatasi masalah-masalah psikologis masyarakat seperti halnya ketidakberdayaan, tidak percaya diri, dan perasaan bahwa diri mereka bukan komponen penting di dalam masyarakat.
            Perlunya partisipasi masyarakat juga diungkapkan oleh Koeshadi Hardjasoemantri, bahwa selain untuk memberikan informasi yang berharga kepada para pengambil keputusan, partisipasi masyrakat akan mereduksi kemungkinan kesediaan masyarakat untuk menerima keputusan. Selanjutnya, partisipasi masyarakat akan membantu perlindungan hukum.
2.2       Teori Good Governance
Tata kelola kepemerintahan yang baik (good governance) merupakan suatu konsep yang akhir-akhir ini dipergunakan secara reguler dalam ilmu politik dan administrasi publik. Konsep ini lahir sejalan dengan konsep-konsep dan terminologi demokrasi, masyarakat sipil, partisipasi rakyat, hak asasi manusia, dan pembangunan masyarakat secara berkelanjutan. Pada akhir dasawarsa yang lalu, konsep good governance ini lebih dekat dipergunakan dalam reformasi sektor publik. Di dalam disiplin atau profesi manajemen publik konsep ini dipandang sebagai suatu aspek dalam paradigma baru ilmu administrasi publik. Paradigma baru ini menekankan pada peranan manajer publik agar memberikan pelayanan yang berkualitas kepada masyarakat, mendorong meningkatkan otonomi manajerial terutama mengurangi campur tangan kontrol yang dilakukan oleh pemerintah pusat, transparansi, akuntabilitas publik, dan menciptakan pengelolaan manajerial yang bersih bebas dari korupsi (Thoha, 2004: 78).
Sejumlah perspektif muncul dari paradigma baru ini dan mendorong ramainya diskusi dan perdebatan di arena politik dan akademisi. Di antara perspektif yang berkaitan dengan struktur pemerintahan yang timbul antara lain (Thoha, 2004: 78):
  1. Hubungan antara pemerintah dengan pasar.
  2. Hubungan antara pemerintah dengan rakyatnya.
  3. Hubungan antara pemerintah dengan organisasi vo¬luntary dan sektor privat.
  4. Hubungan antara pejabat-pejabat yang dipilih (politisi) dan pejabat-pejabat yang diangkat (pejabat birokrat).
  5. Hubungan antara lembaga pemerintahan daerah dengan penduduk perkotaan dan pedesaan.
  6. Hubungan antara legislatif dan eksekutif.
  7. Hubungan pemerintah nasional dengan lembaga-lembaga internasional.

Dalam menganalisis perspektif ini banyak para praktisi dan teoretisi dalam bidang administrasi publik merumuskan berbagai prosedur dan proses yang bisa dipergunakan untuk mencapai dan mengidentifikasikan prinsip-prinsip dan asumsi-asumsi dari tata kepemerintahan yang baik. Sementara itu negara donor dan lembaga-lembaga multilateral telah mengambil peran yang mengemuka (a leading role) dalam merumuskan good governance. Salah satunya ialah United Nations Development Programme (UNDP).
UNDP merumuskan istilah governance sebagai suatu exercise dari kewenangan politik, ekonomi, dan administrasi untuk menata, mengatur dan mengelola masalah-masalah sosialnya (UNDP, 1997) Istilah governance menunjukkan suatu proses di mana rakyat bisa mengatur ekonominya, institusi dan sumber-sumber sosial dan politiknya tidak hanya dipergunakan untuk pembangunan, tetapi juga untuk menciptakan kohesi, integrasi, dan untuk kesejahteraan rakyatnya. Dengan demikian jelas sekali, kemampuan suatu negara mencapai tujuan-tujuan pembangunan itu sangat tergantung pada kualitas tata kelola intahannya di mana pemerintah melakukan interaksi dengan organisasi-organisasi komersial dan civil society.
Karim (2003: 45) menyatakan ada 5 prinsip good governance, yaitu transparansi, kesetaraan, daya tanggap, akuntabilitas, dan pengawasan.
Kunci utama memahami good governance, menurut Masyarakat Transparansi Indonesia (MTI), adalah pemahaman atas prinsip-prinsip yang mendasarinya. Bertolak dari prinsip-prinsip ini didapat tolok ukur kinerja suatu pemerintah. Prinsip-prinsip tersebut meliputi:
a.    Partisipasi masyarakat: semua warga masyarakat mempunyai suara dalam pengambilan keputusan, baik secara langsung maupun melalui lembagalembaga perwakilan yang sah yang mewakili kepentingan mereka. Partisipasi menyeluruh tersebut dibangun berdasarkan kebebasan berkumpul dan mengungkapkan pendapat, serta kepastian untuk berpartisipasi secara konstruktif.
b.    Tegaknya supremasi hukum: kerangka hukum harus adil dan diberlakukan tanpa pandang bulu, termasuk didalamnya hukum-hukum yang menyangkut hak asasi manusia.
c.    Transparasi: transparansi dibangun atas dasar informasi yang bebas. Seluruh proses pemerintah, lembaga-lembaga, dan informasi perlu dapat diakses oleh pihak-pihak yang berkepentingan, dan informasi yang tersedia harus memadai agar dapat dimengerti dan dipantau.
d.    Peduli dan stakeholder: lembaga-lembaga dan seluruh proses pemerintah harus berusaha melayani semua pihak yang berkepentingan.
e.    Berorientas pada konsensus: tata kelola pemerintahan yang baik menjembatani kepentingan-kepentingan yang berbeda demi terbangunnya suatu konsensus menyeluruh dalam hal apa yang terbaik bagi kelompok-kelompok masyarakat, dan bila mungkin, konsensus dalam hal kebijakan-kebijakan dan prosedur-prosedur.
f.     Kesetaraan: semua warga masyarakat mempunyai kesempatan memperbaiki atau mempertahankan kesejahteraan mereka.
g.    Efektifitas dan efisiensi: proses-proses pemerintahan dan lembaga-lembaga membuahkan hasil sesuai kebutuhan warga masyarakat dan dengan menggunakan sumber-sumber daya yang ada seoptimal mungkin.
h.    Akuntabilitas: para pengambil keputusan di pemerintah, sektor swasta, dan organisasi masyarakat bertanggungjawab, baik kepada masyarakat maupun kepada lembaga-lembaga yang berkepentingan.
i.      Visi strategis: para pemimpin dan masyarakat memiliki perspektif yang luas dan jauh ke depan atas tata pemerintahan yang baik dan pembangunan manusia, serta kepekaan akan apa saja yang dibutuhkan untuk mewujudkan perkembangan tersebut. Selain itu mereka juga harus memiliki pemahaman atas kompleksitas kesejarahan, budaya, dan sosial yang menjadi dasar bagi perspektif tersebut.
2.3       Teori Administrasi Pembangunan
Administrasi pembangunan mencangkup dua pengertian, yaitu administrasi dan pembangunan. Administrasi adalah keseluruhan proses pelaksanaan keputusan – keputusan yang telah diambil dan diselenggarakan oleh dua atau lebih untuk mencapai tujuan yang telah ditentukan sebelumnya, sedangkan pembangunan didefinisikan sebagai rangkaian usaha mewujudkan pertumbuhan dan perubahan secara terencana dan sadar yang ditempuh oleh suatu negara bangsa menuju modernitas dalam rangka pembinaan bangsa (nation-building). Ada beberapa pengertian administrasi pembangunan menurut para ahli.
Hiram S. Phillips mendefinisikan administrasi pembangunan sebagai rather than the traditional term of public administration to indicate the need for a dynamic process designed particularly to meet requirements of social and economic changes. Pernyataan ini diartikan sebagai lebih baik dari pada masa tradisional administrasi publik untuk menunjukkan kebutuhan untuk suatu proses dinamis yang didesain secara khusus untuk mendapatkan syarat perubahan sosial dan ekonomi.
Paul Meadows mendefinisikan administrasi pembangunan sebagai development administration can be regarded as the public management of economic and social change in term of deliberate public policy. The development administrator is concerned with guiding change. Pernyataan ini diartikan sebagai administrasi pembangunan dapat dipandang sebagai manajemen publik perubahan ekonomi dan sosial yang disengaja dalam masa kebijakan publik. Administrator pembangunan dapat memfokuskan pada perubahan terarah.
2.4        Teori Pengawasan
            Menurut Stoner dan Wankel “Pengawasan berarti para manajer berusaha untuk meyakinkan bahwa organisasi bergerak dalam arah atau jalur tujuan. Apabila salah satu bagian dalam organisasi menuju arah yang salah, para manajer berusaha untuk mencari sebabnya dan kemudian mengarahkan kembali ke jalur tujuan yang benar “.
Sementara itu menurut McFarland (dalam Handayaningrat, 1994:143). “Control is the process by which an executive gets the performance of his subordinates to correspondas closely as possible to chosen plans, orders, objectives, or policies “. (Pengawasan ialah suatu proses dimana pimpinan ingin mengetahui apakah hasil pelaksanaan pekerjaan yang dilakukan oleh bawahannya sesuai dengan rencana, perintah, tujuan, atau kebijaksanaan yang telah ditentukan ).
Selanjutnya Smith menyatakan bahwa:“Controlling“ sering diterjemahkan pula dengan pengendalian, termasuk di dalamnya pengertian rencana-rencana dan norma-norma yang mendasarkan pada maksud dan tujuan manajerial, dimana norma-norma ini dapat berupa kuota, target maupun pedoman pengukuran hasil kerja nyata terhadap yang ditetapkan.
Pengawasan merupakan kegiatankegiatan dimana suatu sistem terselenggarakan dalam kerangka norma-norma yang ditetapkan atau dalam keadaan keseimbangan bahwa pengawasan memberikan gambaran mengenai hal-hal yang dapat diterima, dipercaya atau mungkin dipaksakan, dan batas pengawasan (control limit) merupakan tingkat nilai atas atau bawah suatu sistem dapat menerima sebagai batas toleransi dan tetap memberikan hasil yang cukup memuaskan.
Dalam manajemen, pengawasan (controlling) merupakan suatu kegiatan untuk mencocokkan apakah kegiatan operasional (actuating) di lapangan sesuai dengan rencana (planning) yang telah ditetapkan dalam mencapai tujuan (goal) dari organisasi. Dengandemikian yang menjadi obyek dari kegiatan pengawasan adalah mengenai kesalahan, penyimpangan, cacat dan hal-hal yang bersifat negatif seperti adanya kecurangan,pelanggaran dan korupsi.         







BAB III
ANALISIS MASALAH

3.1  Studi Kasus: Penertiban Pedagang Kaki Lima Di Jalan Sunu Kecamatan Bontoala Kota Makassar
Penertiban Pedagang kaki lima yang ada disekitar jalan sunu kecamatan Bontoala Kota Makassar merupakan prioritas utama bagi pemerintah kota makassar penertiban ini merupakan pertama kali dilakukan oleh pedagang yang telah berjualan di tempat tersebut selama puluhan tahun, wali kota makassar yang turun langsung dan menyaksikan pembongkaran lapak oleh para pedagang tersebut menyampaikan akan memprioritaskan mereka direkolasi ke tempat baru yang disiapkan pemerintah kota makassar, satu kesyukuran adanya kesadaran dari masyarakat khususnya pedagang kaki lima yang bersangkutan mau membongkar sendiri tempat mereka dengan sukarela tanpa adanya perlawanan atau bentrokan, dan yang ini akan dijadikan utama dan prioritas menempati tempat yang telah disiapkan oleh pemerintah yaitu tepatnya di Sekitaran Lapangan Karebosi.
Penertiban pedagang kaki lima di sekitaran jalan sunu karena memang betul betul menjadi kendala dan pelanggaran bagi setiap pengguna jalan maupun fasilitas umum lainnya, selain mengganggu pengguna lainnya pedagang kaki lima juga kerap tidak tertib dalam hal pengelolaan persampahan dan kepedulian terhadap lingkungan seperti halnya bagi mereka yang menjajakan makanan cepat saji, mereka meninggalkan sampah dan kotoran di tempat umum sehingga mencemarkan hal yang tidak baik bagi pengguna fasilitas umum lainnya, selain itu juga menimbulkan kemacetan kendaraan di sekitaran jalan sunu dan sekitaran mesjid al-markas, berdasarkan data dari dinas sosial dan pemerintah kota makassar bahwa pedagang kaki lima yang akan direkolasi dari 7600 pk5 makassar yang rencananya akan dilakukan penataan setelah 47 PK5 ini telah mencapai kata sepakat dengan pemerintah kota makassar.
Dalam pelaksanaan penertiban Pedagang kaki lima ini belum berjalan maksimal karena selain ada pedagang yang sadar dan sukarela untuk membongkar sendiri bangunannya ada juga pedagang yang enggan membongkar lapak dagangannya karena belum ada dan belum jelas akan kemana mereka, kios yang dijanjikan pemerintah kota di sekitar lapangan karebosi belum selesai pembangunan, hal ini menjadi perhatian bagi pemerintah kota makassar khususnya pemerintah kecamatan bontoala.
Untuk menyikapi membandelnya pedagang kaki lima yang tidak mau membongkar sendiri lapaknya, pemerintah akan mengambil sikap tegas yakni dengan melakukan pembongkaran secara paksa, karena pemerintah sudah memberikan peringatan dan memberikan solusi, dan perlu kita ketahui bahwa tanah yang ditempati para pedagang tersebut merupakan tanah pemerintah kota makassar yang diperuntukkan sebagai bahu jalan dan sarana fasilitas umum.

3.2       Analisis Kasus
            Penertiban pedagang kaki lima di jalan sunu salah satu contoh bagaimana dibutuhkannya peran pemerintah dalam menganulir setiap kebutuhan dan kepentingan masyarakat sehingga tidak terjadi ketersinggungan antara masyarakat yang dikenakan peraturan dan kebijakan, walaupun pada dasarnya kebijakan itu untuk kepentingan dan kenyamanan kita bersama, bukan hanya kepentingan pemerintah semata, satu istilah yang mengubah pemikiran masyarakat banyak yakni penggusuran ke penertiban dan penataan sehingga tidak berkesan memaksa dan anarkis sehingga pedagang tergerak hatinya untuk peduli lingkungan dan pemanfaatan fasilitas umum.
Salah satu yang penting dalam penertiban yakni bagaimna menjalin koordinasi antara pedagang kaki lima yang ada di jalan sunu dengan pemerintah setempat khususnya lurah dan camat, sehingga pedagang tidak lagi kaget dengan adanya kebijakan yang akan dilakukan tersebut, hal itu juga dilakukan tiada lain untuk menghindari gesekan gesekan terhadap masyarakat yang tidak menerima dengan adanya penertiban tersebut  dan menghindari kegiatan kegiatan yang anarki sehingga membahayakan kedua belah pihak.
            Dalam pembuatan sebuah kebijakan publik, seharusnya masyarakat memiliki peran sebagai stakeholder yang memiliki hak penuh atas proses pembuatan kebijakan tersebut. Hal ini dikarenakan kebijakan publik tersebut akan memiliki keterkaitan dalam keberlangsungan masyarakat. Pada kasus ini, dapat dilihat bahwa perumusan kebijakan untuk menertibkan bangunan liar di sekitar jalan sunu dan sekitar mesjid al-markas sekaligus merenovasi tempat tersebut tidak disertai dengan pelibatan partisipasi masyarakat ataupun melakukan konsultasi publik.
            Musyawarah Perencanaan Pembangunan atau yang biasa dikenal dengan Musrenbang pun tampak tidak disebut-sebut dalam tahap pembuatan kebijakan penertiban dan rencana renovasi tempat tersebut. Padahal seharusnya, musrenbang sebagai sarana penyatuan kesepakatan antara masyarakat dan pemerintah, setidaknya memiliki relevansi untuk menerapkan bagan di bawah ini dalam setiap rencana pembangunan dan penertiban termasuk rencana renovasi lahan sekitar mesjid al-markas dan jalan sunu.
           
Berdasarkan bagan di atas, dapat dilihat bahwa dalam sebuah sistem strategis dari pembangunan, peran partisipasi masyarakat haruslah seimbang dengan peran pemerintah dan swasta. Artinya, dalam perencanaan pembangunan, masyarakat dipandang sebagai subjek, bukan objek pembangunan. Sama halnya dengan pemerintah melibatkan pihak swasta.
              Pemaparan tersebut mencerminkan sebuah konsep tata kelola pemerintahan yang baik (good governance), dimana pemerintah tidak lagi menjadi aktor tunggal dalam segala hal yang berkaitan dengan penyelenggaraan kegiatan negara, akan tetapi ada aktor-aktor lain yang memiliki peran yang sama dengan pemerintah, yaitu swasta dan masyarakat.



BAB IV
PENUTUP


4.1.      Kesimpulan
            Menanggapi masalah penertiban pedagang kaki lima yang berada di jalan sunu dan sekitaran mesjid al-markaz menurut penulis bahwa dalam penegakan aturan atau pelaksanaan suatu aturan memang terkadang menghadapi kendala karena ada beberapa sebab diantaranya masalah masyarakat atau pedagang yang ngotot tidak mau direlokasi karena dengan alasan sudah tinggal puluhan tahun dan alasan yang sangat mendasar yakni belum jelasnya akan kemana mereka setelah direlokasi walaupun dari pihak pemerintah kota makassar menjanjikan akan mengalihkan ke sekitar lapangan karebosi akan tetapi sampai sekarang masih tahap pembangunan dan tempatnya belum siap.
Masyarakat harusnya lebih peka terhadap prosedur yang telah dikeluarkan oleh pemerintah kota makassar mengenai masalah penertiban karena tanah atau lahan yang mereka tempati untuk menggelar dagangan mereka merupakan lahan pemerintah kota makassar dan pedagang tidak mempunyai hak kepemilikan yang sah, didalam penertiban terjadi gesekan antara satpol pp dengan pedagang kaki lima yang membangkang dan tidak mau pindah Namun, lebih dari itu semua, penyebab utama dari bentrok ini adalah partisipasi masyarakat  yang sangat minim terhadap pembuatan kebijakan ini. Konsekuensi logis dari hal tersebut adalah aksi massa yang anarkis berbentuk kerusuhan yang dilakukan oleh pedagang dan direspon dengan negatif oleh Satpol.




4.2.      Rekomendasi
            Menurut penulis, untuk menciptakan good governance dalam setiap proses pengambilan kebijakan pembangunan, seperti dalam rencana penataan ulang taman sekitar mesjid al-markaz dan penertiban pedagang kaki lima PK5 harus melibatkan partisipasi masyarakat, karena masyarakat bukanlah objek dalam pembangunan. Selain itu, antara pemerintah, swasta, dan masyarakat harus ada komunikasi yang sinergis sehingga tidak terjadi kesalah pahaman antara masing-masing pihak.






















Daftar Pustaka
Davis, Keith., dan John W. Newstrom. 1995. Perilaku Dalam Organisasi. Edisi Ketujuh. Terjemahan. Jakarta : Erlangga.
Dr. Awaloedin Djamin, “Masalah Organisasi dalam Administrasi Pembangunan”, Prisma No. 4, Agustus 1974, hal. 14.
Jurusan Ekonomi Manajemen, Fakultas Ekonomi – Universitas Kristen Petra. ”Jurnal Manajemen & Kewirausahaan” http://puslit.petra.ac.id/journals/management/. Vol. 2, No. 1, Maret 2000.