Selasa, 27 Februari 2018

LEMBAR PERSETUJUAN PROPOSAL/USULAN PENELITIAN ANALISIS IMPLEMENTASI KEBIJAKAN PERLINDUNGAN ANAK JALANAN DI KOTA MAKASSAR



LEMBAR PERSETUJUAN
Proposal / Usulan  Penelitian
Judul:
ANALISIS IMPLEMENTASI KEBIJAKAN PERLINDUNGAN ANAK JALANAN
DI KOTA MAKASSAR

Disusun dan diajukan oleh:
SADDAM MUSMA
Nomor Pokok P0804216007

Telah Disetujui Oleh :
             Pembimbing I,                                                               Pembimbing II,


Prof. Dr. Andi Gau Kadir, M.A                                                  Dr. H. Andi Samsu Alam, M.Si
NIP. 19500117 198003 1 002                                         NIP. 19641231 198903 1 027

                                                     Mengetahui :

Ketua Program Studi Administrasi                         Ketua Konsentrasi Pemerintahan Daerah
Pembangunan Pasca Sarjana S-2                              Pasca Sarjana S-2
Universitas Hasanuddin                                              Universitas Hasanuddin


Dr. Muhammad Yunus, M.A                                    Dr. H. Andi Samsu Alam, M.Si
NIP. 19591030 198703 1 002                                     NIP. 19641231 198903 1 027          

Senin, 26 Februari 2018

PROPOSAL ANALISIS IMPLEMENTASI KEBIJAKAN PERLINDUNGAN ANAK JALANAN DI KOTA MAKASSAR





BAB I
PENDAHULUAN

1. Latar Belakang
Anak merupakan amanah sekaligus karunia Tuhan Yang Maha Esa yang lahir untuk dilindungi. Bahkan anak dianggap sebagai harta kekayaan yang paling berharga dibandingkan dengan harta benda yang lainnya. Karenanya, anak sebagai amanah Tuhan harus senantiasa dijaga dan dilindungi karena dalam diri anak melekat harkat, martabat, dan hakhak sebagai manusia yang diakui negara serta harus dijunjung tinggi. 
                       Anak merupakan aset bangsa sebagai bagian dari generasi muda, anak berperan sangat strategis sebagai succesor suatu bangsa. Dalam konteks ini, anak adalah penerus cita-cita perjuangan bangsa. Peran strategis ini telah disadari oleh masyarakat internasional untuk melahirkan sebuah konvensi hak-hak anak yang intinya menekankan posisi anak sebagai makhluk manusia yang harus mendapatkan perlindungan atas hak-hak yang dimilikinya.
Pasal 1 ayat (2) Undang-Undang Nomor 23 Tahun 2002 menentukan bahwa perlindungan anak adalah segala kegiatan untuk menjamin dan melindungi anak dan hak-haknya agar dapat hidup, tumbuh, dan berkembang, dan berpartisipasi, secara optimal sesuai dengan harkat dan martabat kemanusiaan, serta mendapat perlindungan dari kekerasan dan diskriminasi. Perlindungan anak dapat juga diartikan sebagai segala upaya yang bertujuan mencegah, rehabilitasi, dan memberdayakan anak yang mengalami tindak perlakuan salah (child abused), eksploitasi, dan penelantaran, agar dapat menjamin kelangsungan hidup dan tumbuh kembang anak secara wajar baik fisik, mental, dan sosialnya.
Orang tua, keluarga, dan masyarakat bertanggung jawab menjaga dan memelihara hak asasi anak sesuai dengan kewajiban yang telah dibebankan oleh hukum. Demikian halnya dalam rangka penyelenggaraan perlindungan anak, negara sebagai organisasi kekuasaan yang diwakili oleh pemerintah juga mempunyai tanggung jawab menyediakan fasilitas dan aksesibilitas bagi anak, terutama dalam menjamin pertumbuhan dan perkembangan anak secara optimal dan terarah.
           Negara sebagai tempat berlindung bagi warganya harus menjamin dan memberikan regulasi jaminan perlindungan bagi anak. Kepedulian terhadap persoalan anak mulai tercatat semenjak tahun 1920-an, seusai Perang Dunia I dimana dalam perang tersebut pihak yang paling banyak menjadi korban adalah perempuan dan anak dimana pada masa itu perempuan dan anak-anak harus berlari, bersembunyi terancam dan tertekan baik secara fisik maupun psikis ketika perang. Akibat dari perang tersebut muncullah keprihatinan terhadap nasib anak melalui berbagai macam aksi yang mendesak dunia memperhatikan anak secara serius.
Salah satu topik yang sering diperbincangkan dan penting untuk dilindungi adalah mengenai hak-hak anak, terutama anak jalanan. Kementerian Sosial Republik Indonesia menyatakan bahwa anak jalanan merupakan anak yang berumur di bawah 18 tahun yang menghabiskan sebagian atau seluruh waktunya di jalanan dengan melakukan serangkaian kegiatan guna memperoleh uang demi mempertahankan kehidupannya sehari-hari.  Anak jalanan juga mempunyai hak-hak seperti anak yang lain yang harus dipenuhi dan dilindungi oleh negara serta memerlukan perhatian khusus oleh semua elemen masyarakat. 
Fenomena anak jalanan merupakan gambaran nyata bahwa pemenuhan terhadap hak-hak anak masih jauh dari harapan. Kondisi anak jalanan yang harus bekerja di jalan secara tidak langsung menghilangkan hak-hak yang seharusnya diperoleh anak. Anak jalanan justru harus berada di jalanan ketika seharusnya bersekolah, mendapat pendidikan, bermain dengan teman-teman seusianya dan melakukan hal-hal lain yang dapat menunjang pertumbuhannya sebagai manusia.
Anak jalanan termasuk dalam kategori anak terlantar atau anak tidak mampu yang selayaknya mendapat pengasuhan dari negara. Sebagian besar anak jalanan memang merupakan korban dari penelantaran orang tuanya. Langkah awal yang harus disadari semua pihak dalam menghadapi anak jalanan bahwa anak jalanan
bagaimanapun kondisinya merupakan anak yang haknya dilindungi oleh hukum dan negara.
Negara Indonesia menjunjung tinggi nilai-nilai kebangsaan dan kemanusiaan dengan memiliki banyak peraturan yang secara tegas memberikan upaya perlindungan bagi anak khususnya anak jalanan. Berdasarkan Pasal 34 Undang-Undang Dasar Negara Republik Indonesia (UUD NRI) 1945 disebutkan bahwa “Fakir miskin dan anak terlantar dipelihara oleh negara”, Artinya pemerintah mempunyai tanggungjawab terhadap pemeliharaan dan pembinaan anak-anak terlantar, termasuk anak jalanan. Kemudian perlindungan spesifik hak anak sebagai bagian dari Hak Asasi Manusia masuk dalam Pasal 28 B ayat (2) bahwa “ setiap anak berhak atas kelangsungan hidup, tumbuh dan berkembang serta memperoleh perlindungan dari kekerasan dan diskriminasi.
Undang-Undang Nomor 39 Tahun 1999 tentang Hak Asasi Manusia telah mencantumkan tentang hak anak serta pelaksanaan kewajiban dan tanggung jawab orang tua, keluarga, masyarakat, pemerintah, dan negara dalam hal memberikan perlindungan hukum terhadap anak. Meskipun demikian, dipandang masih sangat diperlukan suatu undang-undang yang secara khusus mengatur mengenai perlindungan anak sebagai landasan yuridis bagi pelaksanaan kewajiban dan tanggung jawab tersebut. 
Sebagai negara dan bangsa yang sadar akan masa depan, maka keputusan Pemerintah Indonesia meratifikasi Konvensi Hak-Hak Anak . Bukan untuk menambah jumlah instrumen internasional menyangkut hak asasi manusia yang diratifikasi, melainkan suatu kesadaran, dalam rangka mengupayakan pemenuhan hak dan perlindungan anak secara memadai.  Dengan mengikatkan diri dalam Konvensi Hak-Hak Anak, Indonesia turut serta bersama bangsa-bangsa di dunia mengatur, melindungi, dan mewujudkan hak-hak anak. Selain itu, Pada 22 Oktober 2002, Pemerintah Indonesia kembali melakukan langkah strategis, maju, dan bersejarah, yaitu dengan mengesahkan Undang-Undang Nomor 23 Tahun 2002 tentang Perlindungan Anak yang populer dengan sebutan Undang-Undang Perlindungan Anak. Lahirnya Undang-Undang Perlindungan Anak menandai sejarah baru perlindungan anak di Indonesia, karena UndangUndang tersebut mengatur banyak hal yang tidak pernah diatur Undang-undang sebelumnya. Undang-Undang sebelumnya tidak mengatur secara jelas hak-hak anak dan kurang memadai dalam memberikan perlindungan anak. Undang-Undang Perlindungan Anak ini secara tidak langsung mengakomodir prinsip-prinsip hak anak sebagaimana diatur dalam konvensi hak anak.
Dalam Pasal 59 disebutkan bahwa “Pemerintah dan lembaga negara lainnya berkewajiban dan bertanggung jawab untuk memberikan perlindungan khusus kepada anak dalam situasi darurat, anak yang berhadapan dengan hukum, anak dari kelompok minoritas dan terisolasi, anak tereksploitasi secara ekonomi dan/atau seksual, anak yang diperdagangkan, anak yang menjadi korban penyalahgunaan narkotika, alkohol, psikotropika, dan zat adiktif lainnya (NAPZA), anak korban penculikan, penjualan dan perdagangan, anak korban kekerasan baik fisik dan/atau mental, anak yang menyandang cacat, dan anak korban perlakuan salah dan penelantaran”.
Salah satu poin yang disebutkan dalam Pasal 59 bahwa pemerintah dan lembaga negara lainnya berkewajiban dalam memberikan perlindungan khusus terhadap anak yang berhadapan dengan hukum. Perlindungan terhadap anak dilakukan baik anak yang berkonflik dengan hukum maupun anak korban tindak pidana.
Bentuk perlindungan khusus bagi anak yang berkonflik hukum  yang dimaksud dalam Pasal 59 Undang-undang Nomor 23 tahun 2002 tentang Perlindungan Anak diatur dalam Pasal 64 Undang-Undang Nomor 23 tahun 2002 yang menyatakann bahwa perlindungan khusus bagi anak dilaksanakan melalui : a) perlakuan atas anak secara manusiawi sesuai dengan martabat dan hak-hak anak; b) penyediaan petugas pendamping khusus anak sejak dini; c) penyediaan sarana dan prasarana khusus; d) penjatuhan sanksi yang tepat untuk kepentingan yang terbaik bagi anak; e) pemantauan dan pencatatan terus menerus terhadap perkembangan anak yang berhadapan dengan hukum; f) pemberian jaminan untuk mempertahankan hubungan dengan orang tua atau keluarga; dan g) perlindungan dari pemberitaan identitas melalui media massa dan untuk menghindari labelisasi. 
Kementerian sosial memperkirakan setidaknya terdapat sekitar 50.000 anak yang tinggal dan mencari nafkah di jalan di kota-kota besar di Indonesia pada tahun 1999. Namun mereka sendiri memperkirakan bahwa anak jalanan berjumlah jauh di atas 50.000 anak. Banyak pihak yang juga menyakini bahwa jumlah anak jalanan yang sesungguhnya di atas data yang disebutkan kementerian sosial. Berbagai perkiraan mengenai jumlah anak jalanan yang ada berkisar antara 50.000-170.000 anak. Tahun 2010, jumlah anak jalanan di Indonesia mencapai 200.000 anak dan pada tahun 2012 meningkat menjadi 230.000 anak. Lalu pada Tahun 2016, Kemensos mengungkapkan jumlah anak jalanan sudah mencapai 4,1 juta (jawa pos, 2017). Ini berarti jumlah anak jalanan semakin meningkat dari tahun ke tahun.
Mengenai anak terlantar banyak hal yang sebenarnya dapat diatasi seperti adanya panti-panti yang khusus menangani masalah anak terlantar tetapi karena kurangnya tenaga pelaksana dan minimnya dana yang diperoleh untuk mendukung pelaksanaan kegiatan tersebut maka kelihatannya panti-panti tadi tidak berfungsi dengan baik. Tetapi sekarang semakin banyak yayasan - yayasan serta lembaga swadaya masyarakat yang peduli terhadap anak melakukan berbagai kegiatan seperti belajar bersama dengan menggunakan fasilitas yang tersedia seperti perpustakaan keliling yang bertujuan untuk menjadikan anak-anak terlantar menjadi orang yang berguna dan lebih baik lagi.
Pemerintah dalam hal ini telah mengeluarkan kebijakan tentang bagaimana mengurangi jumlah pengemis dan geladangan. Pemerintah pusat bekerja sama dengan pemerintah daerah telah lama mengeluarkan beberapa kebijakan yang dituangkan dalam peraturan peraturan daerah , khusus di Kota Makassar diatur dalam undang-undang no 2 tahun 2008 Tentang Pembinaan Anak Jalanan, Gelandangan, Pengemis dan Pengamen Di Kota Makassar. Pemerintah daerah dalam peraturan daerah tersebut sendiri telah mencanagkan beberapa program pembinaan dan pengalokasian anak Anak jalanan. Namun apa yang terjadi saat ini, masih banyak masyarakat miskin tersebut yang seharusnya mendapat perhatian pemerintah hingga saat ini banyak kita temukan di jalan-jalan ibu kota Makassar. Fenomena ini muncul seiring dengan perkembangan budaya yang bergeser semakin jauh menyimpang.  
Pergeseran nilai dan sikap  anak–anak dan remaja telah terjadi dan seakan – akan sulit dibendung.  Hal ini disebabkan karena derasnya arus informasi yang cepat tanpa batas dan juga masalah lingkungan keluarga dan masyarakat yang komitmennya sudah mengalami penurunan terhadap penerapan nilai dan norma. Sebagai contoh jumlah anak jalanan semakin meningkat dari tahun ke tahun, banyak hal yang menjadi faktor pendorong ataupun penarik bagi seorang untuk terjun dan bergabung menjadi gelandangan, salah satunya adalah masalah kemiskinan. Belum lagi masalah masyarakat yag tergolong msikin dan mencari nafkah di jalanan.
Fenomena merebaknya masyarakat miskin sebenarnya telah lama menjadi masalah tersendiri bagi pemerintah maupun masyarakat para pengguna jalanan. Hampir di setiap jalan kita selalu melihat dan menyaksikan anak jalanan, gelandangan, dan pengamen yang memberikan citra buruk, selalu merusak keindahan Kota Makassar dan sebagainya. Perkembangan permasalahan Kesejahteraan Sosial di Kota Makassar cenderung meningkat ditandai dengan munculnya berbagai fenomena sosial yang spesifik baik bersumber dari dalam masyarakat maupun akibat pengaruh globalisasi, industrialisasi dan derasnya arus informasi dan urbanisasi, sementara masalah sosial menjadi konvensional masih berlanjut termasuk keberadaan anak jalanan, serta adanya pelaku eksploitasi, merupakan beban bagi Pemerintah Kota Makassar.
 Permasalahan tersebut merupakan kenyataan sosial kemasyarakatan yang disebabkan oleh berbagai faktor seperti kemiskinan, kebodohan, urbanisasi, ketiadaan lapangan pekerjaan, sulitnya mendapatkan pelayanan pendidikan, kesehatan dan sebagainya.
Dari konsep demokrasi jelas bahwa peran pemerintah dan masyarakat sangatlah dibutuhkan dan harus dibarengi dengan semua potensi yang dimiliki. Namun dengan fenomena Kemiskinan dan semakin banyaknya masyarakat miskin yang menafkahi dirinya di jalanan yang kemudian diterlantarkan  membuat konsep ini tidak akan berjalan ideal. Jelas masalah ini bukan lah sebauh masalah yang harus dikesampingan. Peraturan yang telah dibuat untuk mengatur permasalahan fonemona kemiskinan perlu dikaji ulang.

1.2. Rumusan Masalah

Berdasarkan latar belakang masalah diatas maka penulis dapat mengemukakan rumusan masalah data penelitian ini sebagai berikut:
1.     Bagaimanakah implementasi program perlindungan bagi anak jalanan di Kota Makassar?
2.     Faktor-faktor apa yang mempengaruhi efektifitas program perlindungan bagi anak jalanan di Kota Makassar?

1.3. Tujuan penelitian

1.     Untuk menganalisis implementasi program perlindungan bagi anak jalanan di Kota Makassar.
2.     Untuk menganalisis faktor-faktor yang berpengaruh pada efektifitas program perlindungan bagi anak jalanan di Kota Makassar.

1.4. Manfaat  Penulisan

1.  Diharapkan dapat dijadikan rujukan pertimbangan Pemerintah daerah kota makassar dalam hal pembuatan kebijakan perlindungan anak jalanan di kota makassar
2.  Diharapkan dapat menambah ilmu pengetahuan pembaca mengenai bagaimana kondisi anak jalanan di Indonesia khususnya daerah metropolitan seperti kota Makassar
3.  Diharapkan dapat menambah ilmu pengetahuan pembaca mengenai faktor-faktor yang berpengaruh terhadap efektivitas perlindungan anak.





BAB II
TINJAUAN PUSTAKA

           Bagian ini akan diuaraikan konsep-konsep yang disesuaikan berdasarkan topik, judul, fokus penulisan. Konsep-konsep ini menjadi landasan atau kerangka berpikir dalam perumusan pelaksanaan studi, kajian, dan peneliatian yang akan dilaksanakan.
2.2.  Implementasi kebijakan
2.2.1. Konsep Implementasi
Pengertian implementasi seperti yang dikemukakan oleh Pranata Wastra dan kawan-kawan (1991;256) adalah
“Aktivitas atau usaha-usaha yang dilakukan untuk semua rencana dari kebijksanaan yang telah dirumuskan dan ditetapkan, dan dilengkapi segala kebutuhan alat-alat yang diperlukan, siapa yang melaksanakan, dimana tempat pelaksanaannya, kapan waktu pelaksanaannya, kapan waktu mulai dan  berakhirnya dan bagaimana cara yang harus dilaksanakan”.

Sementara Budi Winarno (2002), yang mengatakan bahwa implementasi kebijakan dibatasi sebagai menjangkau tindakan-tindakan yang dilakukan oleh individu-individu pemerintah dan individu-individu swasta (kelompok-kelompok) yang diarahkan untuk mencapai tujuan-tujuan yang telah ditetapkan dalam keputusan-keputusan kebijaksanaan sebelumnya.
Adapun makna implementasi menurut Daniel A. Mazmanian dan Paul Sabatier (1979) sebagaiamana dikutip dalam buku Solihin Abdul Wahab (2008: 65), mengatakan bahwa, yaitu,
“Implementasi adalah memahami apa yang senyatanya terjadi sesudah suatu program dinyatakan berlaku atau dirumuskan merupakan fokus perhatian implementasi kebijaksanaan yakni kejadian-kejadian dan kegiatan-kegiatan yang timbul sesudah disahkannya pedoman-pedoman kebijaksanaan Negara yang mencakup baik usaha-usaha untuk mengadministrasikannya maupun untuk menimbulkan akibat/dampak nyata pada masyarakat atau kejadian-kejadian.

Dari pandangan kedua ahli diatas dapat dikatakan bahwa suatu proses implementasi kebijaksanaan itu sesungguhnya tidak hanya menyangkut perilaku badan-badan adminstratif yang bertanggung jawab untuk melaksanakan suatu program yang telah ditetapkan serta menimbulkan ketaatan pada diri kelompok sasaran, melainkan pula menyangkut jaringan kekuatan-kekuatan poltik, ekonomi, dan social yang secara langsung maupun tidak langsung dapat mempengaruhi segala pihak yang terlibat, sekalipun dalam hal ini dampak yang diharapkan ataupun yang tidak diharapakan.
Van Meter dan Van Horn (Budi Winarno, 2002;102) membatasi implementasi kebijakan sebagai tindakan-tindakan yang dilakukan individu-individu (kelompok-kelompok) pemerintah maupun swasta yang diarahkan untuk mencapai tujuan-tujuan yang telah ditetapkan dalam keputusan-keputusan sebelumnya.
Micahel Howlet dan M. Ramesh (1995;11) dalam buku Subarsono (2006;13), bahwa:
“implementasi kebijakan adalah proses untuk melakukan kebijakan supaya mencapai hasil.”

Dari defenisi diatas dapat diketahui bahwa implementasi kebijakan terdiri dari tujuan atau sasaran kebijakan, aktivitas, atau kegiatan pencapaian tujuan, dari hasil kegiatan. Sehingga dapat disimpulkan bahwa implementasi merupakan suatu proses yang dinamis, dimana pelaksana kebijakan melakukan suatu aktivitas atau kegiatan, sehingga pada akhirnya akan mendapatkan suatu hasil yang sesuai dengan tujuan atau sasaran kebijakan itu sendiri. Keberhasilan suatu implementasi kebijakan dapat diukur atau dilihat dari proses dan pencapaian tujuan hasil akhir (output), yaitu : tercapai atau tidaknya tujuan-tujuan yang ingin diraih.
Van Meter dan Van Horn (Budi Winarno, 2002;102) membatasi implementasi kebijakan sebagai tindakan-tindakan yang dilakukan individu-individu (kelompok-kelompok) pemerintah maupun swasta yang diarahkan untuk mencapai tujuan-tujuan yang telah ditetapkan dalam keputusan-keputusan sebelumnya.
Dari defenisi diatas dapat diketahui bahwa implementasi kebijakan terdiri dari tujuan atau sasaran kebijakan, aktivitas, atau kegiatan pencapaian tujuan, dari hasil kegiatan. Sehingga dapat disimpulkan bahwa implementasi merupakan suatu proses yang dinamis, dimana pelaksana kebijakan melakukan suatu aktivitas atau kegiatan, sehingga pada akhirnya akan mendapatkan suatu hasil yang sesuai dengan tujuan atau sasaran kebijakan itu sendiri. Keberhasilan suatu implementasi kebijakan dapat diukur atau dilihat dari proses dan pencapaian tujuan hasil akhir (output), yaitu : tercapai atau tidaknya tujuan-tujuan yang ingin diraih.
2.2.2. Teori-Teori Implementasi
Secara sederhana implementasi bisa diartikan pelaksanaan atau penerapan.Majone dan Wildavsky (dalam Nurdin dan Usman, 2002), mengemukakan implementasi sebagai evaluasi. Browne dan Wildavsky (dalam Nurdin dan Usman, 2004:70) mengemukakan bahwa ”implementasi adalah perluasan aktivitas yang saling menyesuaikan”. Pengertian implementasi sebagai aktivitas yang saling menyesuaikan juga dikemukakan oleh Mclaughin (dalam Nurdin dan Usman, 2004). Adapun Schubert (dalam Nurdin dan Usman, 2002:70) mengemukakan bahwa ”implementasi adalah sistem rekayasa.”
Subarsono (2008;89), mengemukakan beberapa teori dari beberapa ahli mengenai implementasi kebijakan, yaitu:
a.      Teori George C. Edward
dalam pandangan Edward III, implementasi kebijakan dipengaruhi oleh empat variable, yaitu :
a).     Komunikasi, yaitu keberhasilan implementasi kebijakan mensyaratkan agar implementor mengetahui apa yang harus dilakukan, dimana yang menjadi tujuan dan sasaran kebijakan harus ditransmisikan kepada kelompok sasaran (target group), sehingga akan mengurangi distorsi imlpementasi.
b).     Sumberdaya, dimana meskipun isi kebijakan telah dikomunikasikan secara jelas dan konsisten, tetapi apabila implementor kekurangan sumberdaya untuk melaksanakan, maka implementasi tidak akan berjalan efektif. Sumber daya tersebut dapat berwujud sumber daya manusia, misalnya kompetensi implementor dan sumber daya financial.
c).      Disposisi, adalah watak dan karakteristik yang dimiliki oleh implementor. Apabila implementor memiliki disposisi yang baik, maka implementor tersebut dapat menjalankan kebijakan dengan baik seperti apa yang diinginkan oleh pembuat kebijakan. Edward III (1980;98) menyatakan bahwa sikap dari pelaksana kadangkala menyebabkan masalah apabila sikap atau cara pandangnya berbeda dengan pembuat kebijakan. Oleh karena itu, untuk mengantisipasi dapat mempertimbangkan atau memperhatikan aspek penempatan pegawai (pelaksana) dan insentif
d).     Struktur Birokrasi, merupakan susunan komponen (unit-unit) kerja dalam organisasi yang menunjukkan adanya pembagian kerja serta adanya kejelasan bagaimana fungsi-fungsi atau kegiatan yang berbeda-beda diintegrasikan atau dikoordinasikan, selain itu struktur organisasi juga menunjukkan spesialisasi pekerjaan, saluran perintah dan penyampaian laporan (Edward III, 1980;125) Struktur organisasi yang terlalu panjang akan cenderung melemahkan pengawasan dan menimbulkan red-tape, yakni prosedur birokrasi yang rumit dan kompleks, yang menjadikan aktivitas organisasi tidak fleksibel. Aspek dari stuktur organisasi adalah Standard Operating Procedure (SOP) dan fragmentasi.
a.     Teori Donald S.Van Meter dan Carl E. Van Horn
Meter dan Horn (subarsono;2006;99) mengemukakan bahwa terdapat lima variabel yang mempengaruhi kinerja implementasi, yakni;
a).     Standar dan sasaran kebijakan, di mana standar dan sasaran kebijakan harus jelas dan terukur sehingga dapat direalisir.apabila standar dan sasaran kebijakan kabur,
b).     Sumberdaya, dimana implementasi kebijakan perlu dukungan sumberdaya, baik sumber daya manusia maupun sumber daya non manusia.
c).      Hubungan antar organisasi, yaitu dalam benyak program, implementor sebuah program perlu dukungan dan koordinasi dengan instansi lain, sehingga diperlukan koordinasi dan kerja sama antar instansi bagi keberhasilan suatu program.
d).     Karakteristik agen pelaksana yaitu mencakup stuktur birokrasi, norma-norma dan pola-pola hubungan yang terjadi dalam birokrasi yang semuanya itu akan mempengaruhi implementasi suatu program.
e).     Kondisi sosial, politik, dan ekonomi. Variable ini mencakup sumberdaya ekonomi lingkungan yang dapat mendukung keberhasilan implementasi kebijakan, sejauh mana kelompok-kelompok kepentingan memberikan dukungan bagi implementasi kebijakan, karakteristik para partisipan, yakni mendukung atau menolak, bagaimana sifat opini public yang ada di lingkungan, serta apakah elite politik mendukung implementasi kebijakan.
e).     Disposisi implementor yang mencakup tiga hal yang penting, yaitu respon implementor terhadap kebijakan, yang akan mempengaruhi kemauannya untuk melaksanakan kebijakan, kognisi yaitu pemahaman terhadap kebijakan, intensitas disposisi implementor, yaitu preferensi nilai yang dimiliki oleh implementor.
2.3. Anak jalanan
2.3.1. Pengertian Anak
Berdasarkan Kamus Besar Bahasa Indonesia (KBBI), anak adalah keturunan kedua. Dalam konsideran Undang-Undang Nomor 23 Tahun 2002 tentang Perlindungan Anak,dikatakan bahwa anak adalah amanah dan karunia Tuhan Yang Maha Esa yang dalam dirinya melekat harkat dan martabat sebagai manusia seutuhnya. Lebih lanjut dikatakan bahwa anak adalah tunas, potensi, dan generasi muda penerus cita-cita perjuangan bangsa, memiliki peran strategis dan mempunyai ciri dan sifat khusus yang menjamin kelangsungan eksistensi bangsa dan negara pada masa depan. Oleh karena itu, agar setiap anak kelak mampu memikul tanggung jawab tersebut maka ia perlu mendapat kesempatan yang seluas-luasnya untuk tumbuh dan berkembang secara optimal baik fisik, mental maupun sosial, dan berakhlak mulia, perlu dilakukan upaya perlindungan serta mewujudkan kesejahteraan anak dengan memberikan jaminan terhadap pemenuhan hak-haknya serta adanya perlakuan tanpa diskriminasi.
Anak dalam pemaknaan yang umum mendapat perhatian tidak saja dalam bidang ilmu pengetahuan (the body of knowledge), tetapi dapat dipandang dari sisi pandang sentralistis kehidupan. Seperti agama, hukum, dan sosiologis yang menjadikan pengertian anak semakin rasional dan aktual dalam lingkungan sosial. 
Anak diletakkan dalam advokasi dan hukum perlindungan anak menjadi objek dan subjek yang utama dari proses legitimasi, generalisasi dalam sistematika dari sistem hukum positif yang mangatur tentang anak
  Definisi anak sebagaimana diungkapkan diatas, dapat memberikan pemahaman komprehensif. Namun, untuk menentukan batas usia dalam hal definisi anak, maka terdapat berbagai macam batasan usia anak mengingat beragamnya definisi batasan usia anak dalam beberapa undang-undang, misalnya:
a)     Undang-Undang Nomor 1 tahun 1974 tentang Perkawinan, mensyaratkan usia perkawinan 16 tahun bagi perempuan dan 19
tahun bagi laki-laki.
b)     Undang-Undang Nomor 4 Tahun 1979 tentang Kesejahteraan Anak mendefinisikan anak berusia 21 tahun dan belum pernah kawin.
c)      Undang-Undang Nomor 3 Tahun 1997 tentang Pengadilan Anak mendefinisikan anak adalah orang yang dalam perkara anak nakal telah berusia 8 (delapan) tahun, tetapi belum mencapai 18 tahun dan belum pernah kawin.  Namun dalam perkembangannya Mahkamah Konstitusi melalui Keputusannya Nomor 1/PUU-VIII/2010 (LNRI Tahun 2012 No. 153) menyatakan frase 8 tahun dalam Pasal 1 angka 1, Pasal 4 ayat (1) dan Pasal 5 ayat (1) UU No. 3 Tahun 1997 bertentangan dengan UUD 1945 serta menilai untuk melindungi hak konstitusional anak, perlu menetapkan batas umur bagi anak yaitu batas minimal usia anak yang bisa dimintai pertanggungjawaban hukum adalah 12 (dua belas) tahun karena secara relatif sudah memiliki kecerdasan, emosional, mental dan intelektual yang stabil.
d)     Undang-Undang Nomor 39 Tahun 1999 tentang Hak Asasi Manusia menyebutkan bahwa anak adalah seseorang yang belum berusia 18 tahun dan belum pernah kawin.
e)     Undang-Undang Nomor 13 Tahun 2003 tentang Ketenagakerjaan membolehkan usia bekerja 15 tahun.
f)       Undang-Undang Nomor 20 Tahun 2003 tentang Sistem Pendidikan Nasional memberlakukan wajib belajar 9 Tahun, yang dikonotasikan menjadi anak berusia 7 sampai 15 tahun.
g)     Undang-Undang Nomor 23 Tahun 2002 tentang Perlindungan Anak mendefenisikan Anak sebagai seseorang yang belum berusia 18 (delapan belas) tahun, termasuk anak yang masih dalam kandungan.
Sementara itu, mengacu pada konvensi PBB tentang Hak-hak Anak (convention on the right of the child), maka definisi anak: “anak adalah setiap manusia di bawah umur 18 tahun, kecuali menurut undang-undang yang berlaku pada anak, kedewasaan dicapai lebih awal”. Untuk itu, Undang-Undang Nomor 23 Tahun 2002 tentang Perlindungan Anak mendefinisikan anak sebagai seseorang yang belum berusia 18 tahun, termasuk anak yang masih dalam kandungan.
Hadi Supeno mengungkapkan bahwa semestinya setelah  UndangUndang Perlindungan Anak yang dalam strata hukum diketegorikan sebagai lex specialist, semua ketentuan lainnya tentang definisi anak harus disesuaikan, termasuk kebijakan yang dilahirkan serta berkaitan dengan pemenuhan hak anak.
2.3.2. Pengertian Anak Jalanan
Manakala menyebut anak jalanan, perhatian akan tertuju pada sosok-sosok kumuh, dekil, liar, nakal dan selalu hadir di perempatan jalan, tumpukan sampah, pusat-pusat hiburan, keramaian atau terminal-terminal. Sosok anak jalanan hingga kini merupakan manusia yang menempati kedudukan sangat hina di mata masyarakat umum. Penampilannya yang jorok, ekonomi keluarganya yang miskin, lingkungan pemukimannya di daerah-daerah kumu atau bahkan sama sekali tidak mempunyai tempat tinggal tetap, perangainya yang liar dan sering melakukan kejahatan dan kekhasan lain anak jalanan, menyebabkan pandangan masyarakat terhadapnya sangat rendah.
Menurut Kementerian Sosial, anak jalanan adalah anak yang menghabiskan sebagian waktunya untuk mencari nafkah atau berkeliaran di jalanan atau tempat-tempat umum lainnya.
Berdasarkan Peraturan Daerah Kota Makassar Nomor 2 Tahun 2008 Tentang Pembinaan Anak Jalanan, Gelandangan, Pengemis, dan Pengamen di Kota Makassar mendefinisikan Anak Jalanan selanjutnya disebut Anjal adalah anak yang beraktifitas di jalanan antara 4 – 8 jam perhari;
Anak jalanan atau sering disingkat anjal menjadi sebuah istilah umum yang mengacu pada anak-anak yang mempunyai kegiatan ekonomi di jalanan, namun masih memiliki hubungan dengan keluarganya. Sampai saat ini belum ada pengertian anak jalanan yang dapat dijadikan acuan bagi semua pihak.
2.3.3. Pengelompokan Anak Jalanan
Menurut penelitian Kementerian Sosial dan UNDP (United Nations Development Programme) di Jakarta dan Surabaya, anak jalanan dikelompokkan dalam empat kategori:
1. Anak jalanan yang hidup dijalanan, dengan kriteria:
a.   Putus hubungan atau lama tidak bertemu dengan orang tuanya ;
b.   Berada di jalanan selama 8-10 jam untuk “bekerja” (mengamen, mengemis, memulung) dan sisanya menggelandang/ tidur;
c.   Tidak lagi sekolah;
d.   Rata-rata berusia di bawah 14 tahun.
2. Anak jalanan yang bekerja di jalanan, dengan kriteria:
a.  Berhubungan tidak teratur dengan orang tuanya;
b.  Berada di jalanan selama 8-16 jam;
c.   Mengontrak kamar sendiri, bersama teman, ikut orang tua/ saudara, umumnya di daerah kumuh;
d.  Tidak lagi sekolah;
e.  Pekerjaan : penjual koran, pengasong, pencuci bus, pemulung, penyemir sepatu, dll.
f.    Rata-rata berusia di bawah 16 tahun.
3. Anak yang rentan menjadi anak jalanan, dengan kriteria:
a.  Bertemu teratur setiap hari/ tinggal dan tidur dengan keluarganya;
b.  Bekerja di jalanan selama 4-5 jam;
c.   Masih bersekolah;
d.  Pekerjaan: penjual koran, penyemir, pengamen, dll.
e.  Usia rata-rata di bawah 14 tahun.

4. Anak jalanan berusia di atas 16 tahun, dengan kriteria:
a.  Tidak lagi berhubungan/ berhubungan teratur dengan orang tuanya;
b.  Berada di jalanan selama 8-24 jam;
c.   Tidur di jalan atau di rumah orang tua;
d.  Sudah tamat SD atau SLTP, namun tidak bersekolah lagi.


2.4. Perlindungan hukum
2.4.1. Defenisi Perlindungan Hukum Terhadap Anak
                        Perlindungan hukum terhadap hak-hak anak adalah hak yang timbul pada anak (anak jalanan) untuk mendapatkan perlindungan(protection rights) yang hakiki dalam setiap kehidupannya dari negara. Dengan demikian hak tersebut menimbulkan suatu kewajiban yang harus dipenuhi oleh Negara melalui perangkatnya yang bernama hukum agar terciptanya tata kehidupan berbangsa, bernegara, dan bermasyarakat yang dapat melindungi hak-hak asasi dari anak.
Sesuai dengan yang dirumuskan Kementerian Sosial Indonesia dalam petunjuk Teknis Pelaksanaan Penyantunan dan pengentasan Anak Melalui Panti Asuhan, maka fungsi dari perlindungan hukum adalah untuk menghindari anak dari keterlambatan, perlakuan kejam, dan eksploitasi oleh orang tua. Fungsi ini juga diserahkan kepada keluarga dalam meningkatkan kemampuan keluarga dari kemungkinan perpisahan.
                        Hal diatas harus dibedakan dengan istilah perlindungan anak karena hal ini tidak menunjukkan dengan apa perlindungan itu akan ditegakkan. Sebagaimana pengertian perlindungan anak itu sendiri yang tersebut di bawah ini:
1)      Perlindungan anak adalah segala daya dan upaya yang dilakukan secara sadar oleh setiap orang maupun lembaga pemerintahan dan swasta yang bertujuan mengusahakan pengamanan, pengadaan, dan pemenuhan kesejahteraan fisik, mental, dan sosial anak dan remaja yang sosial anak dan remaja yang sesuai dengan kepentingan dan hak asasinya.
2)      Perlindungan anak adalah segala daya upaya bersama yang dilakukan secara sadar oleh perorangan, keluarga, masyarakat, badan-badan pemerintah dan swasta untuk pengamanan, pengadaan, dan pemenuhan kesejahteraan rohaniah dan jasmaniah anak berusia 0-21 tahun , tidak dan belum pernah menikah, sesuai dengan hak asasi dan kepentingannya agar dapat mengembangkan dirinya seoptimal mungkin.
                        Perlindungan hak-hak anak pada hakikatnya menyangkut langsung pengaturan dalam peraturan perundang-undangan, kebijaksanaan, usaha dari kegiatan yang menjamin terwujudnya perlindungan hak-hak anak, pertama-tama didasarkan atas pertimbangan bahwa anak-anak merupakan golongan yang rawan, disamping karena adanya golongan anak-anak yang mengalami hambatan dalam pertumbuhan dan perkembangannya, baik rohani, jasmani maupun sosial.
2.4.2. Tanggungjawab Perlindungan Anak
                        Perlindungan anak diusahakan oleh setiap orang baik orang tua, keluarga, masyarakat, pemerintah, maupun negara. Pasal 20 UndangUndang Nomor 23 Tahun 2002 menentukan bahwa negara, pemerintah, masyarakat, dan orang tua berkewajiban dan bertanggung jawab terhadap penyelenggaraan perlindungan anak.
                        Jadi yang mengusahakan perlindungan anak adalah setiap anggota masyarakat sesuai dengan kemampuannya dengan berbagai macam usaha dalam situasi dan kondisi tertentu. Setiap warga negara ikut bertanggungjawab terhadap dilaksanakannya perlindungan anak demi kesejahteraan anak. Kebahagiaan anak merupakan kebahagiaan bersama, kebahagiaan yang dilindungi adalah kebahagiaan yang melindungi. Tidak ada keresahan pada anak karena perlindungan anak dilaksanakan dengan baik.
Kesejahteraan anak mempunyai pengaruh positif terhadap orang tua, keluarga, masyarakat, pemerintah, dan negara. Perlindungan anak bermanfaat bagi anak dan orangtua, keluarga, masyarakat, pemerintah, dan negara. Koordinasi kerjasama kegiatan perlindungan anak perlu dilakukan dalam rangka mencegah ketidakseimbangan kegiatan perlindungan anak perlu dilakukan dalam rangka mencegah ketidakseimbangan kegiatan perlindungan anak secara keseluruhan.
Kewajiban dan tanggungjawab negara dan pemerintah dalam usaha perlindungan anak diatur dalam Undang-Undang Nomor 23 Tahun 2002 yaitu:
a.            Menghormati dan menjamin hak asasi setiap anak tanpa membedakan suku, agama, ras, golongan, jenis kelamin, etnik, budaya, dan bahasa, status hukum anak, urutan kelahiran anak dan kondisi fisik dan/atau mental (Pasal 21);
b.            Memberikan dukungan sarana dan prasarana dalam penyelenggaraan perlindungan anak (Pasal 22);
c.            Menjamin perlindungan, pemeliharaan, dan kesejahteraan anak dengan memperhatikan hak dan kewajiban orangtua, wali atau orang lain yang secara umum bertanggungjawab terhadap anak dan mengawasi penyelenggaraan perlindungan anak (Pasal 23);
d.            Menjamin anak untuk mempergunakan haknya dalam menyampaikan pendapat sesuai dengan usia dan tingkat kecerdasan anak (Pasal 24).
                        Kewajiban dan tanggungjawab masyarakat terhadap perlindungan anak dilaksanakan melalui kegiatan peran masyarakat dalam penyelenggaraan perlindungan anak sebagaimana diatur dalam Pasal 25 Undang-Undang Nomor 23 Tahun 2002. Kewajiban dan tanggungjawab keluarga dan orangtua dalam usaha perlindungan anak diatur dalam Pasal 26 Undang-Undang Nomor 23 Tahun 2002, yaitu: 
a.      Mengasuh, memelihara, mendidik, dan melindungi anak;
b.      Menumbuhkembangkan anak sesuai dengan kemampuan, bakat, dan minatnya.
c.      Mencegah terjadinya perkawinan pada usia anak-anak.
2.5. Hak-hak Anak Menurut Undang-Undang Nomor 23 Tahun 2002Tentang Perlindungan Anak
                        Undang-Undang Nomor 23 Tahun 2002 Tentang Perlindungan Anak merupakan bentuk konkritisasi dari pelaksanaan Konvensi Hak-Hak anak yang telah diratifikasi oleh indonesia.  Dengan peratifikasian Konvensi Hak-Hak Anak berdasarkan keputusan Presiden Nomor 36 Tahun 1990 tentang Pengesahan Convention On The Rights Of The Child (Konvensi tentang Hak-Hak Anak/KHA), maka sejak Tahun 1990 tersebut Indonesia terikat secara hukum untuk melaksanakan ketentuan yang termaktub di dalam konvensi Hak-Hak Anak. Sementara itu, hak-hak anak secara umum terdapat dalam Pasal 4 sampai dengan Pasal 18 Undang-Undang Nomor 23 Tahun 2002 tentang Perlindungan Anak, antara lain:
  1. Setiap anak berhak untuk dapat hidup, tumbuh, berkembang, dan berpartisipasi secara wajar sesuai dengan harkat dan martabat kemanusiaan, serta mendapat perlindungan dari kekerasan dan diskriminasi.
  2. Setiap anak berhak atas suatu nama sebagai identitas diri dan status kewarganegaraan.
  3. Setiap anak berhak untuk beribadah menurut agamanya, berfikir, dan berekspresi sesuai dengan tingkat kecerdasan dan usianya, dalam bimbingan orang tua.
  4. Setiap anak berhak untuk mengetahui orang tuanya, dibesarkan, dan diasuh oleh orang tuanya sendiri.
  5. Setiap anak berhak memperoleh pelayanan kesehatan dan jaminan sosial sesuai dengan kebutuhan fisik, mental, spiritual dan sosial.
  6. Setiap anak berhak memperoleh pendidikan dan pengajaran dalam rangka pengembangan pribadinya dan tingkat kecerdasannya sesuai dengan minat dan bakatnya.
  7. khusus bagi anak penyandang cacat juga berhak memperoleh pendidikan luar biasa, sedangkan bagi anak yang memiliki keunggulan juga berhak mendapatkan pendidikan khusus.
  8. Setiap anak berhak menyatakan dan didengar pendapatnya, menerima, mencari, dan memberikan informasi sesuai dengan tingkat kecerdasan dan usianya demi pengembangan dirinya sesuai dengan nilai-nilai kesusilaan dan kepatutan.
  9. Setiap anak berhak untuk beristirahat dan memanfaatkan waktu luang, bergaul dengan anak yang sebaya, bermain, berekreasi, dan berkreasi sesuai dengan minat, bakat. Dan tingkat kecerdasannya demi pengembangan diri.
  10. Setiap anak yang menyandang cacat berhak memperoleh rehabilitasi, bantuan sosial, dan pemeliharaan taraf kesejahteraan sosial.
  11. Setiap anak selama dalam pengasuhan orang tua, wali, atau pihak lain manapun yang bertanggung jawab atas pengasuhan, berhak mendapat perlindungan dari perlakuan: Diskriminasi, Eksploitasi, baik ekonomi maupun seksual, Penelantaran, Kekejaman, Kekerasan, Penganiayaan, Ketidakadilan, Perlakuan salah lainnya.
  12. Setiap anak berhak untuk diasuh oleh orang tuanya sendiri, kecuali jika ada alasan dan/atau aturan hukum yang sah menunjukkan bahwa pemisahan itu adalah demi kepentingan terbaik bagi anak dan merupakan pertimbangan terakhir.
  13. Setiap anak berhak untuk memperoleh perlindungan dari: Penyalahgunaan dalam kegiatan politik, Pelibatan dalam sengketa bersenjata, Pelibatan dalam kerusuhan sosial, Pelibatan dalam pariwisata yang mengandung unsur kekerasan, Dan pelibatan dalam peperangan.
  14. Setiap anak berhak memperoleh perlindungan dari sasaran penganiayaan, penyiksaan, atau penjatuhan hukuman yang tidak manusiawi.
  15. Setiap anak berhak untuk memperoleh kebebasan sesuai dengan hukum.
  16. Penangkapan, penahanan, atau tindak pidana penjara anak hanya dilakukan apabila sesuai dengan hukum yang berlaku dan hanya dapat dilakukan sebagai upaya terakhir.
  17. Setiap anak yang dirampas kebebasannya berhak untuk: Mendapatkan perlakuan secara menusiawi dan penempatannya dipisahkan dari orang dewasa, Memperoleh bantuan hukum atau bantuan lainnya secara efektif dalam setiap tahapan upaya hukum yang berlaku, Membela diri dan memperoleh keadilan di depan pengadilan anak yang objektif dan tidak memihak dalam sidang tertutup untuk umum.
  18. Setiap anak yang menjadi korban atau pelaku kekerasan seksual atau yang berhadapan dengan hukum berhak dirahasiakan.
  19. Setiap anak yang menjadi korban atau pelaku tindak pidana berhak mendapatkan bantuan hukum dan bantuan lainnya.
Hak-hak anak menurut Undang-Undang Nomor 23 Tahun 2002 Tentang Perlindungan Anak, juga dapat dilihat pada pasal 64, yakni:
(1) Perlindungan khusus bagi anak yang berhadapan dengan hukum sebagaimana dimaksud dalam pasal 59 meliputi anak yang berkonflik hukum dan anak korban tindak pidana, merupakan kewajiban dan tanggung jawab pemerintah dan masyarakat.
(2) Perlindungan khusus bagi anak yang berhadapan dengan hukum sebagaimana dimaksud dalam ayat (1) dilaksanakan melalui:
    1. Perlakuan atas anak secara manusiawi sesuai dengan martabat dan hak-hak anak;
    2. Penyediaan petugas pendamping khusus anak sejak dini;
    3. Penyediaan sarana dan prasarana khusus;
    4. Penjatuhan sanksi yang tepat untuk kepentingan yang terbaik bagi anak;
    5. Pemantauan dan pencatatan terus menerus terhadap perkembangan anak yang berhadapan dengan hukum;
    6. Pemberian jaminan untuk mempertahankan hubungan dengan
g.    orang tua, atau keluarga; dan
    1. Perlindungan dari pemberitaan identitas melalui media massa dan untuk menghindari liberalisasi.
(3) Perlindungan khusus bagi anak yang menjadi korban tindak pidana sebagaimana dimaksud dalam ayat (1) dilaksanakan melalui:
a.    Upaya rehabilitasi, baik lembaga maupun di luar lembaga;
b.    Upaya perlindungan dari pemberitaan identitas melalui media massa dan untuk menghindari liberalisasi;
c.    Pemberian jaminan keselamatan bagi saksi korban dan saksi ahli, baik fisik, mental maupun sosial; dan
d.    Pemberian aksesibilitas untuk mendapatkan informasi mengenai perkembangan perkara.
2.6. Penelitian terdahulu
Berikut beberapa hasil penelitian yang berkaitan dengan anak jalanan yang pernah dilaksanakan
Tabel 1
Penelitian Terdahulu

Nama Peneliti
Judul Penelitian
Tujuan Penelitian
Hasil penelitian
Niken Irmawati
Responsivitas Pemerintah Kota Surakarta dalam perlindungan anak menuju Solo Kota Dunia
Penelitian ini bertujuan mengkaji bagaimana responsivitas Pemerintah Kota Surakarta terhadap perlindungan anak menuju Solo sebagai Kota Layak Anak (KLA) dan mengetahui kendala dan upaya yang dihadapi Pemerintah Kota Surakarta terhadap perlindungan anak menuju Solo sebagai Kota Layak Anak (KLA).
Hasil penelitian menunjukkan bahwa: a) kemampuan mengenali kebutuhan anak masih terbatas, dimana Pemerintah Kota Surakarta belum memiliki data dasar tentang jumlah kasus maupun penanganan permasalahan anak secara lengkap dan up to date. b) Kemampuan pemerintah menyusun agenda dan prioritas pelayanan perlindungan anak sudah sesuai dengan kebutuhan anak, namun sesungguhnya kebutuhan-kebutuhan anak di Kota Surakarta tidak hanya mencakup kebutuhan perlindungan atas ESKA, gizi buruk, anak putus sekolah, dan partisipasi anak.c) Pemerintah masih banyak bertumpu pada lembaga-lembaga lain yang peduli terhadap perlindungan anak.
Diah Putri Mahanani
 Konsep anak Jalanan (Studi Kasus Pada Anak Jalanan di Yogyakarta). 
Penelitian ini bertujuan untuk mendeskripsikan dinamika konsep diri dari anak-anak jalanan di lampu merah jalan Laksda Adi Sucipto. Subjek dalam penelitian ini adalah empat orang anak jalanan di lampu merah jalan Laksda Adi Sucipto.
Hasil penelitian menunjukkan bahwa dua diantara empat anak jalanan memiliki konsep diri positif yang ditunjukan dengan rasa percaya diri, gambaran masa depan yang jelas, optimis, dan terbuka. Selanjutnya sisanya memiliki konsep diri negatif, ditunjukan adanya individu yang tidak aman, tidak percaya diri, dan gambaran masa depan tidak jelas. Faktor yang mempengaruhi pembentukan konsep diri pada anak jalanan ini adalah lingkungan, pendidikan, dan fisik. Tiga anak jalanan tersebut masih bersekolah namun satu anak jalanan memilih berhenti sekolah untuk mencari kebebasan. Satu diantara anak jalanan yang bersekolah memiliki konsep diri negatif, ini karena meski anak tersebut mendapat bimbingan dari guru namun anak tersebut tidak mendapatkan bimbingan dan perhatian dari keluarga. Sedangkan dua anak jalanan lainnya yang masih bersekolah memiliki konsep diri positif karena selain mendapat bimbingan dari sekolah juga mendapat perhatian, dukungan, dan bimbingan dari keluarga. Kemudian satu anak jalanan yang tidak bersekolah memiliki konsep diri negatif, karena anak tersebut tidak mendapatkan bimbingan dari guru, keluarga, dan selain hidup di lingkungan anak jalanan juga bergaul dengan lingkungan balapan motor.
Rochatun, Isti.
“Eksploitasi Anak Jalanan Sebagai Pengemis Di Kawasan Simpang Lima Semarang
Tujuan penelitian ini adalah (1) untuk mengetahui eksploitasi terhadap anak jalanan sebagai pengemis di kawasan Simpang Lima Semarang. (2) mengetahui bentuk eksploitasi terhadap anak jalanan di kawasan Simpang Lima Semarang. (3) mengetahui dampak eksploitasi anak terhadap anak jalanan dan masyarakat di kawasan Simpang Lima Semarang
Hasil penelitian menunjukkan bahwa (1) Ada tiga hal yang melatar belakangi terjadinya eksploitasi terhadap anak jalanan d kawasan Simpang Lima Semarang yakni: Ekonomi keluarga yang rendah (kemiskinan), komunitas dan pengaruh lingkungan dan keretakan dan kekerasan kehidupan rumah tangga orang tua. (2) Bentuk eksploitasi anak jalanan di kawasan Simpang Lima Semarang adalah yang dilakukan oleh orang tua dan yang dilakukan oleh preman. (3) Dampak terjadinya eksploitasi terhadap anak dapat meliputi bebrapa hal yakni: bidang ekonomi, kesehatan, psikologis dan pendidikan sedangkan danpak eksploitasi bagi masyarakat meliputi: membuat resah pengguna jalan, mengaggu ketertiban lalu lintas dan membuat resah masyarakat.

2.7. Kerangka konseptual
Negara adalah suatu badan atau organisasi tertinggi yang mempunyai wewenang untuk mengatur hal-hal yang berkaitan untuk kepentingan orang banyak serta mempunyai kewajiban-kewajiban untuk melindungi, mensejahterakan masyarakatnya dan sebagainya. Dapat dikatakan menjadi suatu negara bila terdapat wilayah, rakyat dan pemerintahan. Sebagaimana instusi politik lainya, Negara adalah asosiasi hubungan manusia yang menguasai manusia lain.
Untuk memahami tentang implementasi kebijakan maka kita tidak bisa melepaskan dari pertanyaan tentang kebijakan apa yang diimplementasikan. Berhubung dalam penelitian ini membahas kebijakan dalam organisasi pemerintah maka kebijakan yang dibahas adalah kebijakan pemerintah atau kebijakan publik.
          Konsep kebijakan publik (public policy) menurut Affan Suhaiman (1998:24) adalah Sebagai suatu proses yang mengandung berbagai pola aktivitas tertentu dan merupakan seperangkat keputusan yang bersangkutan dengan tindakan untuk mencapai tujuan dalam beberapa cara yang khusus. Dengan demikian, maka konsep kebijakan publik berhubungan dengan tujuan dengan pola aktivitas pemerintah mengenai sejumlah masalah serta mengandung tujuan.
            Kebijakan tersebut akhirnya disebut juga dengan kebijakan pemerintah/Negara seperti yang didefinisikan oleh Ermaya Suradinata (1993:190) sebagai berikut :Kebijakan negara/pemerintah adalah kebijakan yang dikembangkan oleh badan-badan atau lembaga dan pejabat pemerintah. Kebijakan Negara dalam pelaksanaannya meliputi beberapa aspek, berpedoman pada ketentuan yang berlaku, berorientasi kepada kepentingan umum dan masa depan serta strategi pemecahan masalah yang terbaik.
            Sebuah kebijakan hendaknya tersusun dengan baik sehingga mudah terarah. Kbijakan yang tersususn secara baik tentu memrlukan waktu untuk berkembang dan seyognyanya tetap mempertahankan hal-hal seperti yang diutraakan oleh J.winanrdi (1990:1200 sebagai berikut :
  1. Memungkinkan penafsiran terbuka dan penilaian.
  2. Bersifat konsisten dan tidak boleh ada dua kebijakan yang saling bertentangan dalam suatu organisasi.
  3. Harus sesuai dengan keadaan yang berkembang.
  4. Harus membantu penca[paian sasaran dan harus dibantu dengan fakta-fakta yang obyektif.
  5. Harus sesuai dengan kondisi-kondisi eksternal.
          Dengan demikian disamping kebijakan tersebut perlu tersusun dengan baik, adapula beberapa faktor yang dapat turut memperbaiki kualitas suatu kebijakan adalah seperti yang disampaikan oleh Bintoro Tjokroamidjojo (1991:116).
  1. Jangan didasarkan pada selera seketika (whims) tetapi harus melalui proses yang rasional berdasarkan akal sehat.
  2. Penyempurnaan informasi dan sistem informasi bagi analisa dan pembentukan kebijakan.
  3. Dikembangkan unified approach dalam perumusan kebijakan.
  4. Peka terhadap kebutuhan obyektif masyarakat.
          Pada dasarnya rumusan kebijakan memang harus bersifat obyektif baik sebagai dasar analisisnya maupun kondisi kebutuhan masyarakat atau obyek yang akan terkcna dapak kebijakan yang akan diambil serta dapat memudahkan penentu kebijakan untuk mengadakan revisi atau perbaikan, jika ternyata pelaksanaannya tidak sesuai dengan harapan obyektif tadi.
          Dari beberapa proses kebijakan, implementasi kebijakan merupakan aspek yang penting dari keseluruhan proses kebijakan. Implementasi kebijakan itu sendiri mengandung beberapa makna, sebagaimana yang dirumuskan dalam kamus Webster (dalam Wahab, 1997 :64) bahwa : "to Implement ( mengimplementasikan) berarti to provide the means for cariying but": (menimbulkan dampak / akibat terhadap sesuatu). Kalau pandangan ini kita ikuti, maka implementasi daripada kebijakan dapal dipandang sebagai suatu proses untuk melaksanakan keputusan kebijaksanaan (biasanya dalam bentuk undang-undang, peraturan pemerintah, keputusan peradilan, perintah eksekutif, atau Dekrit Presiden).
          Daniel A. Mazmanian dan Paul A. Sabaticr (1986 :4) memberikan penjelasan mengenai makna implementasi yaitu Memahami apa yang senyatanya terjadi sesudah suatu program berlaku atau dirumuskan merupakan fokus perhatian implementasi ebijakasanaan, yakni kejadian-kejadian dan kegiatan-kegiatan yang timbul sesudah disahkannya pedoman-pedoman kebijaksanaan negara, yang mencakup baik usaha-usaha untuk mengadministrasikannya maupun untuk menimbulkan akibat/dampak nyata pada masyarakat atau kejadian-kejadian.
          Implementasi kebijakan merupakan suatu upaya untuk mencapai tujuan-tujuan tertentu dengan arena-sarana tertentu dan dalam urutan waktu tertentu, J.A.M. Maarse (daiam Sunggono, 1994:137) dengan demikian yang diperlukan dalam implementasi tersebut adalah suatu tindakan yang sah atau implementasi suatu rencana peruntukan.
Dengan demikian pelaksanaan kebijakan dapat melibatkan penjabaran lebih lanjut dari tujuan-tujuan yang telah ditetapkan tersebut oleh pejabat atau instansi pelaksana (Hamdi, 1999:5).Implementasi kebijakan publik pada umumnya diserahkan kepada lembaga-lembaga pemerintahan dalam berbagai jenjangnya hingga jenjang pemerintahan yang terendah. Dari pemerintah pusat sampai pemerintah daerah.
Oleh karena itu secara umum, terdapat beberapa keadaan yang perlu dipertimbangkan dalam mengupayakan keberhasilan impiementasi kebijakan. Hal ini sebagaimana dikemukakan oleh Pressman dan Wildavsky (dalain Ilamdi, 1999:55) sebagai berikut:
  1. Implementasi perlu didasarkan pada suatu teori yang tepat dalam menghubungkan perubahan dalam perilaku target dengan pencapaian tujuan kebijakan.
  2. Adanya penjelasan arah dan structural kebijakan
  3. Adanya keterampilan teknis dan manajerial yang memadai di unit-unit kerja yang melaksanakan kebijakan.
  4. Adanya dukungan-dukungan yang tepat dari partisipasi terkail.
  5. Hubungan dan konflik antara berbagai partisipan jangan sampai mengurangi atau meniadakan pentingnya arti kebijakan yang dilaksanakan.
          Dari beberapa pengertian diatas menunjukkan bahwa dalam implementasi suatu kebijakan publik harus memperhatikan faktor-faktor dari dalam (intern) organisasi pemerintah dan faktor dari luar (ekstern). Disamping memperhatikan faktor intern dan ekstern organisasi maka ada beberapa model yang dikembangkan oleh Rippley dan Franklin (1986 :89) yang antara lain menyatakan bahwa keberhasilan dari implementasi kebijakan atau suatu program itu adalah ditujukan dari tiga faktor seperti :
a.    Perspektif kepatuhan (compliance} yang mengukur implementasi dari kepatuhan street level bereau crats terhadap atasan mereka.
b.    Keberhasilan implementasi diukur dari kelancaran rutinitas dan tiadanya persoalan
c.    Implementasi yang berhasil mengarah kepada kinerja yang memuaskan semua pihak terutama kelompok penerima manfaat yang diharapkan.
          Dengan demikian apabila suatu kebijakan publik memperhatikan faktor-faktor yang mempengaruhi suatu implementasi kebijakan dengan memperhatikan prosedur-prosedur yang ada, maka diharapkan akan menghasilkan kebijakan yang tepat pada sasaran yang diinginkan.
                       Proses implementasi kebijakan public baru dapat dimulai apabila tujuan-tujuan kebijakan public telah ditetapkan, program-program telah dibuat, dandana telah dialokasikan untuk pencapaian tujuan kebijakan tersebut. Suatu proses implementasi dapat digambarkan secara sistematis seperti berikut ini :














Gambar 1
Proses implementasi kebijakan publik



Dampak
akhir

kebijakan

Dampak
segara
kebijakan

Proses
Pelaksanaan

Kebijakan




Sumber : Bambang Sunggono (1994:139)
 Dari skema tersebut terlihat bahwa proses implementasi dimulai dengan suatu kebijakan yang harus dilaksanakan. Hasil proses implementasi terdiri dari hasil kebijakan yang segera atau disebut sebagai “policy performance”. Secara konkrit antara lain dapat kita lihat jumlah dan isi barang dan jasa yang dihasilkan pemerintah dalam jangka waktu tertentu untuk menaikkan taraf kesejahteraan warga masyarakat, Misalnya perubahan dalam taraf kesejahteraan warga masyarakat dapat dianggap sebagai  hasil akhir kebijakan yang disebut juga sebagai “policy outcome” atau “policy impact”. Dengan sendirinya di dalam hasil akhir kebijakan termasuk juga hasilhasil sampingan disamping “policy performance” yang diperoleh.
            Pendekatan yang digunakan dalam menganalisis implementasi kebijakan tentang tentang implementasi pengololaan anak jalanan ini adalah teori yang dikemukakan oleh George C. Edwards III. Dimana implementasi dapat dimulai dari kondisi abstrak dan sebuah pertanyaan tentang apakah syarat agar implementasi kebijakan dapat berhasil, menurut George C. Edwards III ada empat variabel dalam kebijakan publik yaitu Komunikasi (Communications), Sumber Daya (resources), sikap (dispositions atau attitudes) dan struktur birokrasi (bureucratic structure). Ke empat faktor di atas harus dilaksanakan secara simultan karena antara satu dengan yang lainnya memiliki hubungan yang erat. Tujuan kita adalah meningkatkan pemahaman tentang implementasi kebijakan. Penyederhanaan pengertian dengan cara membreakdown (diturunkan) melalui eksplanasi implementasi kedalam komponen prinsip. Implementasi kebijakan adalah suatu proses dinamik yang mana meliputi interaksi banyak faktor. Sub kategori dari faktor-faktor mendasar ditampilkan sehingga dapat diketahui pengaruhnya terhadap implementasi.
            Faktor –faktor yang berpengaruh dalam implementasi menurut George C. Edwards III sebagai berikut :
a.Komunikasi 
Implementasi akan berjalan efektif apabila ukuran-ukuran dan tujuan-tujuan kebijakan dipahami oleh individu-individu yang bertanggungjawab dalam pencapaian tujuan kebijakan. Kejelasan ukuran dan tujuan kebijakan dengan demikian perlu dikomunikasikan secara tepat dengan para pelaksana. Konsistensi atau keseragaman dari ukuran dasar dan tujuan perlu dikomunikasikan sehingga implementors mengetahui secara tepat ukuran maupun tujuan kebijakan itu. Komunikasi dalam organisasi merupakan suatu proses yang amat kompleks dan rumit. Seseorang bisa menahannya hanya untuk kepentingan tertentu, atau menyebarluaskannya. Di samping itu sumber informasi yang berbeda juga akan melahirkan interpretasi yang berbeda pula. Agar implementasi berjalan efektif, siapa yang bertanggungjawab melaksanakan sebuah keputusan harus mengetahui apakah mereka dapat melakukannya. Sesungguhnya implementasi kebijakan harus diterima oleh semua personel dan harus mengerti secara jelas dan akurat mengenahi maksud dan tujuan kebijakan. Jika para aktor pembuat kebijakan telah melihat ketidakjelasan spesifikasi kebijakan sebenarnya mereka tidak mengerti apa sesunguhnya yang akan diarahkan. Para implemetor kebijakan bingung dengan apa yang akan mereka lakukan sehingga jika dipaksakan tidak akan mendapatkan hasil yang optimal. Tidak cukupnya komunikasi kepada para implementor secara serius mempengaruhi implementasi kebijakan.
b. Sumberdaya
Tidak menjadi masalah bagaimana jelas dan konsisten implementasi program dan bagaimana akuratnya komunikasi dikirim. Jika personel yang bertanggungjawab untuk melaksanakan program kekurangan sumberdaya dalam melakukan tugasnya. Komponen sumberdaya ini meliputi jumlah staf, keahlian dari para pelaksana, informasi yang relevan dan cukup untuk mengimplementasikan kebijakan dan pemenuhan sumber-sumber terkait dalam pelaksanaan program, adanya kewenangan yang menjamin bahwa program dapat diarahkan kepada sebagaimana yamg diharapkan, serta adanya fasilitas-fasilitas pendukung yang dapat dipakai untuk melakukan kegiatan program seperti dana dan sarana prasarana.Sumberdaya manusia yang tidak memadahi (jumlah dan kemampuan) berakibat tidak dapat dilaksanakannya program secara sempurna karena mereka tidak bisa melakukan pengawasan dengan baik. Jika jumlah staf pelaksana kebijakan terbatas maka hal yang harus dilakukan meningkatkan skill/kemampuan para pelaksana untuk melakukan program. Untuk itu perlu adanya manajemen SDM yang baik agar dapat meningkatkan kinerja program. Ketidakmampuan pelaksana program ini disebabkan karena kebijakan konservasi energi merupakan hal yang baru bagi mereka dimana dalam melaksanakan program ini membutuhkan kemampuan yang khusus, paling tidak mereka harus menguasai teknik-teknik kelistrikan.Informasi merupakan sumberdaya penting bagi pelaksanaan kebijakan. Ada dua bentuk informasi yaitu informasi mengenahi bagaimana cara menyelesaikan kebijakan/program serta bagi pelaksana harus mengetahui tindakan apa yang harus dilakukan dan informasi tentang data pendukung kepetuhan kepada peraturan pemerintah dan undang-undang. Kenyataan dilapangan bahwa tingkat pusat tidak tahu kebutuhan yang diperlukan para pelaksana dilapangan. Kekurangan informasi/pengetahuan bagaimana melaksanakan kebijakan memiliki konsekuensi langsung seperti pelaksana tidak bertanggungjawab, atau pelaksana tidak ada di tempat kerja sehingga menimbulkan inefisien. Implementasi kebijakan membutuhkan kepatuhan organisasi dan individu terhadap peraturan pemerintah yang ada.Sumberdaya lain yang juga penting adalah kewenangan untuk menentukan bagaimana program dilakukan, kewenangan untuk membelanjakan/mengatur keuangan, baik penyediaan uang, pengadaan staf, maupun pengadaan supervisor. Fasilitas yang diperlukan untuk melaksanakan kebijakan/program harus terpenuhi seperti kantor, peralatan, serta dana yang mencukupi. Tanpa fasilitas ini mustahil program dapat berjalan.
c. Disposisi atau Sikap
Salah satu faktor yang mempengaruhi efektifitas implementasi kebijakan adalah sikap implementor. Jika implemetor setuju dengan bagian-bagian isi dari kebijakan maka mereka akan melaksanakan dengan senang hati tetapi jika pandangan mereka berbeda dengan pembuat kebijakan maka proses implementasi akan mengalami banyak masalah. Ada tiga bentuk sikap/respon implementor terhadap kebijakan ; kesadaran pelaksana, petunjuk/arahan pelaksana untuk merespon program kearah penerimaan atau penolakan, dan intensitas dari respon tersebut. Para pelaksana mungkin memahami maksud dan sasaran program namun seringkali mengalami kegagalan dalam melaksanakan program secara tepat karena mereka menolak tujuan yang ada didalamnya sehingga secara sembunyi mengalihkan dan menghindari implementasi program. Disamping itu dukungan para pejabat pelaksana sangat dibutuhkan dalam mencapai sasaran program. Dukungan dari pimpinan sangat mempengaruhi pelaksanaan program dapat mencapai tujuan secara efektif dan efisien. Wujud dari dukungan pimpinan ini adalah Menempatkan kebijakan menjadi prioritas program, penempatan pelaksana dengan orang-orang yang mendukung program, memperhatikan keseimbangan daerah, agama, suku, jenis kelamin dan karakteristik demografi yang lain. Disamping itu penyediaan dana yang cukup guna memberikan insentif bagi para pelaksana program agar mereka mendukung dan bekerja secara total dalam melaksanakan kebijakan/program.
d. Struktur Birokrasi
Membahas badan pelaksana suatu kebijakan, tidak dapat dilepaskan dari struktur birokrasi. Struktur birokrasi adalah karakteristik, norma-norma, dan pola-pola hubungan yang terjadi berulang-ulang dalam badan-badan eksekutif yang mempunyai hubungan baik potensial maupun nyata dengan apa yang mereka miliki dalam menjalankan kebijakan. Van Horn dan Van Meter menunjukkan beberapa unsur yang mungkin berpengaruh terhadap suatu organisasi dalam implementasi kebijakan, yaitu:
    1. Kompetensi dan ukuran staf suatu badan;
    2. Tingkat pengawasan hirarkhis terhadap keputusan-keputusan sub unit dan proses-proses dalam badan pelaksana;
    3. Sumber-sumber politik suatu organisasi (misalnya dukungan di antara anggota legislatif dan eksekutif);
    4. Vitalitas suatu organisasi;
    5. Tingkat komunikasi “terbuka”, yaitu jaringan kerja komunikasi horizontal maupun vertikal secara bebas serta tingkat kebebasan yang secara relatif tinggi dalam komunikasi dengan individu-individu di luar organisasi;
    6. Kaitan formal dan informal suatu badan dengan badan pembuat keputusan atau pelaksana keputusan.
            Bila sumberdaya cukup untuk melaksanakan suatu kebijakan dan para implementor mengetahui apa yang harus dilakukan , implementasi masih gagal apabila struktur birokrasi yang ada menghalangi koordinasi yang diperlukan dalam melaksanakan kebijakan. Kebijakan yang komplek membutuhkan kerjasama banyak orang, serta pemborosan sumberdaya akan mempengaruhi hasil implementasi. Perubahan yang dilakukan tentunya akan mempengaruhi individu dan secara umum akan mempengaruhi sistem dalam birokrasi.
Pemerintah dalam hal ini adalah yang membuat dan melaksanakan peraturan daerah merupakan pion penting dalam penyelengaraan pemerintahan. pelayanan dan pengaturan berkenaan dengan nilai dasar yang dijelaskan pada konsep tetang masarakat yaitu mengenai hak dan kewajiban masyarakat. Yang pertama mengenai tugas pengaturan, jika yang bertugas mengatur adalah pemerintah maka yang diatur adalah yang-diperintah dalam hal ini masyarakat. Berarti pemerintah memiliki hak untuk mengatur dan masyarakat memiliki kewajiban untuk diatur. hal ini terkait dengan konsep implementasi kebijakan.
Dalam aturan peraturan daerah Kota Makassar no 2 tahun 2008 tentang pembinaan anak jalanan, pengemis, gelandangan, dan pengamen, Pemerintah Daerah yang dimaksud penulis dalam melaksanakan peraturan daerah tersebut adalah aparatur yang bertanggungjawab dalam pelaksanaan perda. Penjelasan mengenai peraturan daerah no tahun 2008 di kota Makassar mengenai konsep pembinaan adalah segala upaya atau kegiatan yang dilakukan oleh Pemerintah dan/atau masyarakat untuk mengatasi masalah anak jalanan, gelandangan pengemis, pengamen dan keluarganya supaya dapat hidup dan mencari nafkah dengan tetap mengutamakan hak-hak dasarbagi kemanusiaan;
Tujuan utama penyelengaraan pemerintah daerah adalah menciptakan kesejahteraan masyarakat, maka dari itu pemerintah Kota Makassar melalui Peraturan Daerah Kota Makassar Nomor 2 Tahun 2008 tentang pembinaan anak jalanan menegaskan ada beberapa pembinaan dalam mengurangi pertumbuhan jumlah rakyat miskin kota yang di kelompokan sebagai anak jalanan, gelandangan, pengemis, dan pengamen yang berada di Kota Makassar. Sekarang yang dilakukan oleh Pemerintah Kota Makassar, yaitu:
a.    Program pembinaan. Program pembinaan yang dimakasud ada bebarapa di dalamnya yaitu pembinaan pencegahan, pembinaan lanjutan, serta rehabilitasi sosial.
b.    Pengurangan terhadap prilaku eksploitasi dimana Pemerintah Kota Makassar sebagai barometer dari pelaksanaan suatu kebijakan harus menindak tegas pihak-pihak yang sengaja mengeksploitasi kegiatan dari anak jalanan.
c.    Melakukan pemberdayaan yaitu proses penguatan keluarga yang dilakuan secara terencana dan terarah sesuai dengan keterampilan yang dimiliki tiap individu yang dibina.
d.    Bimbingan lanjut yaitu salah satu cara pembinaan yang dilakukan melalui kegiatan monitoring evaluasi dari program pemberdayaan sebelumnya.
e.    Partisipasi Masyarakat disini yang dimaksud adalah tingkah laku masyarakat yang tidak memberikan kebiasaan kepada anak jalanan untuk senangtiasa memintaminta.
                        Selanjutnya ketika kita berbicara tentang bagaimana implementasi suatu kebijakan dapat berjalan efektif tentu dipengaruhi oleh bebrapa faktor. Di dalam teori Edward III, mengungkap kan 4 faktor utama dalam mempengaruhi suatu kebijakan public, yaitu : (1) Sumber daya manusia, (2) anggaran, (3) disposisi, (4) struktur birokrasi.
          



Berdasarkan penjelasan tersebut maka kerangka konseptual dari penelitian ini adalah:

Gambar 2.
Kerangka Konseptual
PEMBINAAN ANAK JALANAN
Perda No.2 Tahun 2008
·         Sumber daya manusia
·         anggaran
·         disposisi
·         struktur birokrasi

(Edward III)
KEBIJAKAN KOTA MAKASSAR
 




















BAB III
METODE PENELITIAN
3.1. Lokasi Penelitian
                Dalam      memperoleh      data      dan      informasi      yang dapat dipertanggungjawabkan, maka Penulis akan mengadakan penelitian di beberapa instansi yaitu, Dinas Sosial Kota Makassar, Lembaga Perlindungan Anak di Kota Makassar, dan Panti Sosial. Alasan dipilihnya tempat tersebut sebagai lokasi penelitian adalah karena dari instansi tersebut penulis dapat mencari data dan informasi yang relevan dengan judul penelitian
3.2. Jenis dan Sumber Data
Dalam penulisan tesis ini penulis menggunakan dua jenis sumber data, yaitu data primer dan data sekunder.
3.2.1.   Data Primer
Data yang diperoleh dengan mengadakan wawancara kepada Dinas Sosial Kota Makassar, Lembaga Perlindungan Anak di Kota Makassar, Panti Sosial yang banyak berhubungan dengan Jalanan di Kota Makassar 
3.2.2.   Data Sekunder
Data yang diperoleh dari penelitian kepustakaan berupa literature dan dokumen-dokumen, buku, serta peraturan perundang-perundangan dan bahan tulis yang berkaitan erat dengan objek yang akan dibahas.
3.3. Objek dan Informan Penelitian
Objek penelitian yang akan diteliti adalah Dinas Sosial Kota Makassar dan lembaga perlindungan anak yang berada di Kota makassar. Pemilihan kedua objek ini atas pertimbangan bahwa objek tersebut merupakan lembaga yang bertanggung jawab dalam hal berhasil tidaknya pembinaan anak jalanan yang ada di Kota Makassar.
3.4.Teknik Pengumpulan Data
                    Dengan menggunakan pendekatan kualitatif, penelitian diarahkan pada pengumpulan data yang lebih banyak bergantung kepada peneliti sendiri sebagai pengumpul data.
Teknik pengumpulan data yang digunakan pada penelitian ini meliputi:
3.4.1.   Wawancara
Peneliti melakukan wawancara secara mendalam dengan informan kunci untuk mendapatkan informasi yang dianggap penting yang berkaitan dengan permasalahan yang diteliti baik dari sisi akitivitas (activity) maupun orang-orang (octors). Pemberian pertanyaan kepada informan dilakukan secara terbuka dan fleksibel dengan tidak menggunakan pedoman wawancara secara terstruktur dalam rangka menyerap informasi mengenai persepsi, pola maupun pendapat-pendapat dari informan tersebut.

3.4.2.   Observasi
Proses pengamatan dilakukan secara langsung di lokasi penelitian untuk melihat kenyataan dan fakta sosial di sehingga dapat dicocokkan antara hasil wawancara atau informasi dari informan dengan fakta yang ada lapangan baik daria aspek activity maupun actors.
3.5.Teknik Analisis Data
Sesuai dengan permasalahan dan tujuan penelitian, maka penelitian yang dilakukan menggunakan pendekatan penelitian kualitatif, dengan menyajikan hasil temuan dan kesimpulan analisis dengan menggunakan desain studi kasus. Setelah terkumpulnya data kemudian dilakukan penyederhanaan data selanjutnya melakukan analisis data secara kualitatif.
Dalam melakukan analisis data peneliti mengacu pada beberapa tahapan yang dijelaskan Miles dan Huberman (1992) yang terdiri dari beberapa tahapan antara lain:
1.    Reduksi data ‘data reduction’ yaitu proses pemilihan, pemusatan perhatian pada penyederhanaan, tranformasi data kasar yang muncul dari catatan-catatan di lapangan selama meneliti tujuan diadakan transkrip data (transformasi data) untuk memilih informasi mana yang dianggap sesuai dengan masalah yang menjadi pusat penelitian dilapangan.
2.    Uji Confirmability, Uji confirmability berarti menguji hasil penelitian. Bila hasil penelitian merupakan fungsi dari proses penelitian yang dilakukan, maka penelitian tersebut telah memenuhi standar confirmability-nya.
3.    Pada tahap akhir adalah penarikan kesimpulan atau verifikasi ‘conclution drawing/ verification’, yang mencari arti pola-pola penjelasan, konfigurasi yang mungkin, alur sebab akibat dan proposisi. penarikan kesimpulan dilakukan secara cermat dengan melakukan verifikasi berupa tinjauan ulang pada catatan-catatan di lapangan sehingga data-data di uji validitasnya.













 

 

DAFTAR PUSTAKA

Badan Kesejahteraan Sosial Nasional (BKSN) 2000. Modul Pelatihan Dan
Pimpinan Rumah Singgah. Jakarta : Direktorat Kesejahteraan
Anak, Keluarga Anak Terlantar dan Lanjut Usia, Deputi Bidang Peningkatan Kesejahteraan Sosial
Bagong Suyanto dan Sri Sanituti Hariadi. 2002. Krisis dan Child Abuse,     
Surabaya:Airlangga University Press
Barda Nawawi Arief. 1998. Beberapa Aspek Kebijakan Penegakan dan  Pengembangan Hukum Pidana. Bandung:Citra Aditya Bakti.
Badan Pusat Statistik. 2017. Makassar dalam angka tahun 2017. BPS
Departemen Pendidikan dan Kebudayaan. 1991. Kamus Besar Bahasa     Indonesia. Jakarta: Balai Pustaka.
Departemen Sosial RI. 2001. Intervensi Psikososial. Jakarta: Departemen  Sosial. Hlm. 20
Hadi Supeno. 2010. Kriminalisasi Anak Tawaran Gagasan Radikal 
Peradilan Anak Tanpa Pemidanaan.Jakarta: Gramedia Pustaka Utama
Irma Setyowati Sumitro. 1990. Aspek Hukum Perlindungan Anak. Jakarta:
Bumi Aksara.
Kartini Kartono. 1992. Pathologi Sosial (2), Kenakalan Remaja, Jakarta: Rajawali Pers. 
Maidin Gultom. 2008. Perlindungan Hukum Terhadap Anak Dalam Sistem Peradilan Anak Di Indonesia. Bandung: Refika Aditama
Marlina. 2012. Peradilan Pidana Anak di Indonesia (Pengembangan
Konsep Diversi dan Restorative Justice). Bandung: Refika Aditama
Maulana Hassan Wadong. 2000. Advokasi dan Hukum perlindungan 
Anak. Jakarta: Grasindo
Romli Atmasasmita. 1983. Problem Kenakalan Anak-Anak Remaja.  Bandung: Armico
Satjipto Rahardjo. 2012. Ilmu Hukum. Bandung: Citra Aditya Bakti
SoerjonoSoekanto. 1983. Faktor-Faktor Yang Mempengaruhi Penegakan Hukum. Jakarta: Raja Grafindo Persada
Steven Allen, Kata Pengantar, dalam Purnianti, Mamik Sri Supatmi, dan Ni Made Martini Tinduk. 2003. Analisa Situasi Sistem Peradilan Pidana Anak (Juvenile Justice System) di Indonesia, UNICEF, Indonesia
Sudarsono. 1991. Kenakalan Remaja. Jakarta: Rineka Cipta
 
PERATURAN PERUNDANG-UNDANGAN
Undang-Undang Dasar Negara Republik Indonesia Tahun 1945
Undang-Undang Nomor 23 tahun 2014 tentang Pemerintahan Daerah
Undang-Undang Nomor 1 tahun 1974 tentang Perkawinan
Undang-Undang Nomor 4 Tahun 1979 tentang Kesejahteraan Anak
Undang-Undang Nomor 3 Tahun 1997 tentang Pengadilan Anak              
Undang-Undang Nomor 39 Tahun 1999 tentang hak Asasi Manusia
Undang-Undang Nomor 23 Tahun 2002 tentang Perlindungan Anak
Undang-Undang Nomor 13 Tahun 2003 tentang ketenagakerjaan