BAB I
PENDAHULUAN
1.
Latar Belakang
Anak
merupakan amanah sekaligus karunia Tuhan Yang Maha Esa yang lahir untuk
dilindungi. Bahkan anak dianggap sebagai harta kekayaan yang paling berharga
dibandingkan dengan harta benda yang lainnya. Karenanya, anak sebagai amanah
Tuhan harus senantiasa dijaga dan dilindungi karena dalam diri anak melekat
harkat, martabat, dan hakhak sebagai manusia yang diakui negara serta harus
dijunjung tinggi.
Anak merupakan aset
bangsa sebagai bagian dari generasi muda, anak berperan sangat strategis
sebagai succesor suatu bangsa. Dalam
konteks ini, anak adalah penerus cita-cita perjuangan bangsa. Peran strategis
ini telah disadari oleh masyarakat internasional untuk melahirkan sebuah
konvensi hak-hak anak yang intinya menekankan posisi anak sebagai makhluk
manusia yang harus mendapatkan perlindungan atas hak-hak yang dimilikinya.
Pasal
1 ayat (2) Undang-Undang Nomor 23 Tahun 2002 menentukan bahwa perlindungan anak
adalah segala kegiatan untuk menjamin dan melindungi anak dan hak-haknya agar
dapat hidup, tumbuh, dan berkembang, dan berpartisipasi, secara optimal sesuai
dengan harkat dan martabat kemanusiaan, serta mendapat perlindungan dari
kekerasan dan diskriminasi. Perlindungan anak dapat juga diartikan sebagai
segala upaya yang bertujuan mencegah, rehabilitasi, dan memberdayakan anak yang
mengalami tindak perlakuan salah (child
abused), eksploitasi, dan penelantaran, agar dapat menjamin kelangsungan
hidup dan tumbuh kembang anak secara wajar baik fisik, mental, dan sosialnya.
Orang
tua, keluarga, dan masyarakat bertanggung jawab menjaga dan memelihara hak
asasi anak sesuai dengan kewajiban yang telah dibebankan oleh hukum. Demikian
halnya dalam rangka penyelenggaraan perlindungan anak, negara sebagai
organisasi kekuasaan yang diwakili oleh pemerintah juga mempunyai tanggung
jawab menyediakan fasilitas dan aksesibilitas bagi anak, terutama dalam
menjamin pertumbuhan dan perkembangan anak secara optimal dan terarah.
Negara sebagai tempat berlindung bagi
warganya harus menjamin dan memberikan regulasi jaminan perlindungan bagi anak.
Kepedulian terhadap persoalan anak mulai tercatat semenjak tahun 1920-an,
seusai Perang Dunia I dimana dalam perang tersebut pihak yang paling banyak
menjadi korban adalah perempuan dan anak dimana pada masa itu perempuan dan
anak-anak harus berlari, bersembunyi terancam dan tertekan baik secara fisik
maupun psikis ketika perang. Akibat dari perang tersebut muncullah keprihatinan
terhadap nasib anak melalui berbagai macam aksi yang mendesak dunia
memperhatikan anak secara serius.
Salah
satu topik yang sering diperbincangkan dan penting untuk dilindungi adalah
mengenai hak-hak anak, terutama anak jalanan. Kementerian Sosial Republik
Indonesia menyatakan bahwa anak jalanan merupakan anak yang berumur di bawah 18
tahun yang menghabiskan sebagian atau seluruh waktunya di jalanan dengan
melakukan serangkaian kegiatan guna memperoleh uang demi mempertahankan
kehidupannya sehari-hari. Anak jalanan
juga mempunyai hak-hak seperti anak yang lain yang harus dipenuhi dan
dilindungi oleh negara serta memerlukan perhatian khusus oleh semua elemen
masyarakat.
Fenomena
anak jalanan merupakan gambaran nyata bahwa pemenuhan terhadap hak-hak anak
masih jauh dari harapan. Kondisi anak jalanan yang harus bekerja di jalan
secara tidak langsung menghilangkan hak-hak yang seharusnya diperoleh anak.
Anak jalanan justru harus berada di jalanan ketika seharusnya bersekolah,
mendapat pendidikan, bermain dengan teman-teman seusianya dan melakukan hal-hal
lain yang dapat menunjang pertumbuhannya sebagai manusia.
Anak jalanan termasuk dalam kategori anak terlantar
atau anak tidak mampu yang selayaknya mendapat pengasuhan dari negara. Sebagian
besar anak jalanan memang merupakan korban dari penelantaran orang tuanya.
Langkah awal yang harus disadari semua pihak dalam menghadapi anak jalanan
bahwa anak jalanan
bagaimanapun
kondisinya merupakan anak yang haknya dilindungi oleh hukum dan negara.
Negara Indonesia menjunjung tinggi nilai-nilai
kebangsaan dan kemanusiaan dengan memiliki banyak peraturan yang secara tegas
memberikan upaya perlindungan bagi anak khususnya anak jalanan. Berdasarkan
Pasal 34 Undang-Undang Dasar Negara Republik Indonesia (UUD NRI) 1945
disebutkan bahwa “Fakir miskin dan anak terlantar dipelihara oleh negara”,
Artinya pemerintah mempunyai tanggungjawab terhadap pemeliharaan dan pembinaan
anak-anak terlantar, termasuk anak jalanan. Kemudian perlindungan spesifik hak
anak sebagai bagian dari Hak Asasi Manusia masuk dalam Pasal 28 B ayat (2)
bahwa “ setiap anak berhak atas kelangsungan hidup, tumbuh dan berkembang serta
memperoleh perlindungan dari kekerasan dan diskriminasi.
Undang-Undang
Nomor 39 Tahun 1999 tentang Hak Asasi Manusia telah mencantumkan tentang hak
anak serta pelaksanaan kewajiban dan tanggung jawab orang tua, keluarga,
masyarakat, pemerintah, dan negara dalam hal memberikan perlindungan hukum
terhadap anak. Meskipun demikian, dipandang masih sangat diperlukan suatu
undang-undang yang secara khusus mengatur mengenai perlindungan anak sebagai
landasan yuridis bagi pelaksanaan kewajiban dan tanggung jawab tersebut.
Sebagai
negara dan bangsa yang sadar akan masa depan, maka keputusan Pemerintah
Indonesia meratifikasi Konvensi Hak-Hak Anak . Bukan untuk menambah jumlah
instrumen internasional menyangkut hak asasi manusia yang diratifikasi,
melainkan suatu kesadaran, dalam rangka mengupayakan pemenuhan hak dan
perlindungan anak secara memadai. Dengan
mengikatkan diri dalam Konvensi Hak-Hak Anak, Indonesia turut serta bersama
bangsa-bangsa di dunia mengatur, melindungi, dan mewujudkan hak-hak anak. Selain
itu, Pada 22 Oktober 2002, Pemerintah Indonesia kembali melakukan langkah
strategis, maju, dan bersejarah, yaitu dengan mengesahkan Undang-Undang Nomor
23 Tahun 2002 tentang Perlindungan Anak yang populer dengan sebutan
Undang-Undang Perlindungan Anak. Lahirnya Undang-Undang Perlindungan Anak
menandai sejarah baru perlindungan anak di Indonesia, karena UndangUndang tersebut
mengatur banyak hal yang tidak pernah diatur Undang-undang sebelumnya.
Undang-Undang sebelumnya tidak mengatur secara jelas hak-hak anak dan kurang
memadai dalam memberikan perlindungan anak. Undang-Undang Perlindungan Anak ini
secara tidak langsung mengakomodir prinsip-prinsip hak anak sebagaimana diatur
dalam konvensi hak anak.
Dalam
Pasal 59 disebutkan bahwa “Pemerintah dan lembaga negara lainnya berkewajiban
dan bertanggung jawab untuk memberikan perlindungan khusus kepada anak dalam
situasi darurat, anak yang berhadapan dengan hukum, anak dari kelompok
minoritas dan terisolasi, anak tereksploitasi secara ekonomi dan/atau seksual,
anak yang diperdagangkan, anak yang menjadi korban penyalahgunaan narkotika,
alkohol, psikotropika, dan zat adiktif lainnya (NAPZA), anak korban penculikan,
penjualan dan perdagangan, anak korban kekerasan baik fisik dan/atau mental,
anak yang menyandang cacat, dan anak korban perlakuan salah dan penelantaran”.
Salah satu poin yang disebutkan dalam Pasal 59 bahwa
pemerintah dan lembaga negara lainnya berkewajiban dalam memberikan
perlindungan khusus terhadap anak yang berhadapan dengan hukum. Perlindungan
terhadap anak dilakukan baik anak yang berkonflik dengan hukum maupun anak
korban tindak pidana.
Bentuk
perlindungan khusus bagi anak yang berkonflik hukum yang dimaksud dalam Pasal 59 Undang-undang
Nomor 23 tahun 2002 tentang Perlindungan Anak diatur dalam Pasal 64
Undang-Undang Nomor 23 tahun 2002 yang menyatakann bahwa perlindungan khusus
bagi anak dilaksanakan melalui : a) perlakuan atas anak secara manusiawi sesuai
dengan martabat dan hak-hak anak; b) penyediaan petugas pendamping khusus anak
sejak dini; c) penyediaan sarana dan prasarana khusus; d) penjatuhan sanksi
yang tepat untuk kepentingan yang terbaik bagi anak; e) pemantauan dan
pencatatan terus menerus terhadap perkembangan anak yang berhadapan dengan
hukum; f) pemberian jaminan untuk mempertahankan hubungan dengan orang tua atau
keluarga; dan g) perlindungan dari pemberitaan identitas melalui media massa dan
untuk menghindari labelisasi.
Kementerian sosial memperkirakan setidaknya terdapat sekitar 50.000
anak yang tinggal dan mencari nafkah di jalan di kota-kota besar di Indonesia
pada tahun 1999. Namun mereka sendiri memperkirakan bahwa anak jalanan berjumlah
jauh di atas 50.000 anak. Banyak pihak yang juga menyakini bahwa jumlah anak
jalanan yang sesungguhnya di atas data yang disebutkan kementerian sosial.
Berbagai perkiraan mengenai jumlah anak jalanan yang ada berkisar antara
50.000-170.000 anak. Tahun 2010, jumlah anak jalanan di Indonesia mencapai
200.000 anak dan pada tahun 2012 meningkat menjadi 230.000 anak. Lalu pada
Tahun 2016, Kemensos mengungkapkan jumlah anak jalanan sudah mencapai 4,1 juta
(jawa pos, 2017). Ini berarti jumlah anak jalanan semakin meningkat dari tahun
ke tahun.
Mengenai anak terlantar banyak hal yang sebenarnya
dapat diatasi seperti adanya panti-panti yang khusus menangani masalah anak
terlantar tetapi karena kurangnya tenaga pelaksana dan minimnya dana yang
diperoleh untuk mendukung pelaksanaan kegiatan tersebut maka kelihatannya
panti-panti tadi tidak berfungsi dengan baik. Tetapi sekarang semakin banyak
yayasan - yayasan serta lembaga swadaya masyarakat yang peduli terhadap anak
melakukan berbagai kegiatan seperti belajar bersama dengan menggunakan
fasilitas yang tersedia seperti perpustakaan keliling yang bertujuan untuk
menjadikan anak-anak terlantar menjadi orang yang berguna dan lebih baik lagi.
Pemerintah dalam hal ini telah mengeluarkan kebijakan
tentang bagaimana mengurangi jumlah pengemis dan geladangan. Pemerintah pusat
bekerja sama dengan pemerintah daerah telah lama mengeluarkan beberapa
kebijakan yang dituangkan dalam peraturan peraturan daerah , khusus di Kota
Makassar diatur dalam undang-undang no 2 tahun 2008 Tentang Pembinaan Anak
Jalanan, Gelandangan, Pengemis dan Pengamen Di Kota Makassar. Pemerintah daerah
dalam peraturan daerah tersebut sendiri telah mencanagkan beberapa program pembinaan
dan pengalokasian anak Anak jalanan. Namun apa yang terjadi saat ini, masih
banyak masyarakat miskin tersebut yang seharusnya mendapat perhatian pemerintah
hingga saat ini banyak kita temukan di jalan-jalan ibu kota Makassar. Fenomena
ini muncul seiring dengan perkembangan budaya yang bergeser semakin jauh
menyimpang.
Pergeseran nilai dan sikap anak–anak dan remaja telah terjadi dan seakan
– akan sulit dibendung. Hal ini
disebabkan karena derasnya arus informasi yang cepat tanpa batas dan juga masalah
lingkungan keluarga dan masyarakat yang komitmennya sudah mengalami penurunan
terhadap penerapan nilai dan norma. Sebagai contoh jumlah anak jalanan semakin
meningkat dari tahun ke tahun, banyak hal yang menjadi faktor pendorong ataupun
penarik bagi seorang untuk terjun dan bergabung menjadi gelandangan, salah
satunya adalah masalah kemiskinan. Belum lagi masalah masyarakat yag tergolong
msikin dan mencari nafkah di jalanan.
Fenomena merebaknya masyarakat miskin sebenarnya telah
lama menjadi masalah tersendiri bagi pemerintah maupun masyarakat para pengguna
jalanan. Hampir di setiap jalan kita selalu melihat dan menyaksikan anak
jalanan, gelandangan, dan pengamen yang memberikan citra buruk, selalu merusak
keindahan Kota Makassar dan sebagainya. Perkembangan permasalahan Kesejahteraan
Sosial di Kota Makassar cenderung meningkat ditandai dengan munculnya berbagai
fenomena sosial yang spesifik baik bersumber dari dalam masyarakat maupun
akibat pengaruh globalisasi, industrialisasi dan derasnya arus informasi dan
urbanisasi, sementara masalah sosial menjadi konvensional masih berlanjut
termasuk keberadaan anak jalanan, serta adanya pelaku eksploitasi, merupakan
beban bagi Pemerintah Kota Makassar.
Permasalahan
tersebut merupakan kenyataan sosial kemasyarakatan yang disebabkan oleh
berbagai faktor seperti kemiskinan, kebodohan, urbanisasi, ketiadaan lapangan
pekerjaan, sulitnya mendapatkan pelayanan pendidikan, kesehatan dan sebagainya.
Dari konsep demokrasi jelas bahwa peran pemerintah dan
masyarakat sangatlah dibutuhkan dan harus dibarengi dengan semua potensi yang
dimiliki. Namun dengan fenomena Kemiskinan dan semakin banyaknya masyarakat
miskin yang menafkahi dirinya di jalanan yang kemudian diterlantarkan membuat konsep ini tidak akan berjalan ideal.
Jelas masalah ini bukan lah sebauh masalah yang harus dikesampingan. Peraturan
yang telah dibuat untuk mengatur permasalahan fonemona kemiskinan perlu dikaji
ulang.
1.2. Rumusan Masalah
Berdasarkan
latar belakang masalah diatas maka penulis dapat mengemukakan rumusan masalah
data penelitian ini sebagai berikut:
1.
Bagaimanakah implementasi
program perlindungan bagi anak jalanan di Kota Makassar?
2.
Faktor-faktor apa
yang mempengaruhi efektifitas program perlindungan bagi anak jalanan di Kota
Makassar?
1.3. Tujuan penelitian
1.
Untuk
menganalisis implementasi program perlindungan bagi anak jalanan di Kota
Makassar.
2.
Untuk
menganalisis faktor-faktor yang berpengaruh pada efektifitas program
perlindungan bagi anak jalanan di Kota Makassar.
1.4. Manfaat Penulisan
1. Diharapkan dapat dijadikan rujukan pertimbangan
Pemerintah daerah kota makassar dalam hal pembuatan kebijakan perlindungan anak
jalanan di kota makassar
2. Diharapkan dapat menambah ilmu pengetahuan pembaca
mengenai bagaimana kondisi anak jalanan di Indonesia khususnya daerah
metropolitan seperti kota Makassar
3. Diharapkan dapat menambah ilmu pengetahuan pembaca
mengenai faktor-faktor yang berpengaruh terhadap efektivitas perlindungan anak.
BAB II
TINJAUAN
PUSTAKA
Bagian ini
akan diuaraikan konsep-konsep yang disesuaikan berdasarkan topik, judul, fokus
penulisan. Konsep-konsep ini menjadi landasan atau kerangka berpikir dalam
perumusan pelaksanaan studi, kajian, dan peneliatian yang akan dilaksanakan.
2.2. Implementasi kebijakan
2.2.1. Konsep Implementasi
Pengertian implementasi seperti yang
dikemukakan oleh Pranata Wastra dan kawan-kawan (1991;256) adalah
“Aktivitas atau usaha-usaha
yang dilakukan untuk semua rencana dari kebijksanaan yang telah dirumuskan dan
ditetapkan, dan dilengkapi segala kebutuhan alat-alat yang diperlukan, siapa
yang melaksanakan, dimana tempat pelaksanaannya, kapan waktu pelaksanaannya,
kapan waktu mulai dan berakhirnya dan
bagaimana cara yang harus dilaksanakan”.
Sementara Budi Winarno (2002), yang
mengatakan bahwa implementasi kebijakan dibatasi sebagai menjangkau
tindakan-tindakan yang dilakukan oleh individu-individu pemerintah dan
individu-individu swasta (kelompok-kelompok) yang diarahkan untuk mencapai
tujuan-tujuan yang telah ditetapkan dalam keputusan-keputusan kebijaksanaan
sebelumnya.
Adapun makna implementasi menurut
Daniel A. Mazmanian dan Paul Sabatier (1979) sebagaiamana dikutip dalam buku
Solihin Abdul Wahab (2008: 65), mengatakan bahwa, yaitu,
“Implementasi
adalah memahami apa yang senyatanya terjadi sesudah suatu program dinyatakan
berlaku atau dirumuskan merupakan fokus perhatian implementasi kebijaksanaan
yakni kejadian-kejadian dan kegiatan-kegiatan yang timbul sesudah disahkannya
pedoman-pedoman kebijaksanaan Negara yang mencakup baik usaha-usaha untuk
mengadministrasikannya maupun untuk menimbulkan akibat/dampak nyata pada
masyarakat atau kejadian-kejadian.
Dari pandangan kedua ahli diatas
dapat dikatakan bahwa suatu proses implementasi kebijaksanaan itu sesungguhnya
tidak hanya menyangkut perilaku badan-badan adminstratif yang bertanggung jawab
untuk melaksanakan suatu program yang telah ditetapkan serta menimbulkan
ketaatan pada diri kelompok sasaran, melainkan pula menyangkut jaringan
kekuatan-kekuatan poltik, ekonomi, dan social yang secara langsung maupun tidak
langsung dapat mempengaruhi segala pihak yang terlibat, sekalipun dalam hal ini
dampak yang diharapkan ataupun yang tidak diharapakan.
Van Meter
dan Van Horn (Budi Winarno, 2002;102) membatasi implementasi kebijakan sebagai
tindakan-tindakan yang dilakukan individu-individu (kelompok-kelompok)
pemerintah maupun swasta yang diarahkan untuk mencapai tujuan-tujuan yang telah
ditetapkan dalam keputusan-keputusan sebelumnya.
Micahel
Howlet dan M. Ramesh (1995;11) dalam buku Subarsono (2006;13), bahwa:
“implementasi kebijakan adalah proses untuk melakukan
kebijakan supaya mencapai hasil.”
Dari
defenisi diatas dapat diketahui bahwa implementasi kebijakan terdiri dari
tujuan atau sasaran kebijakan, aktivitas, atau kegiatan pencapaian tujuan, dari
hasil kegiatan. Sehingga dapat disimpulkan bahwa implementasi merupakan suatu
proses yang dinamis, dimana pelaksana kebijakan melakukan suatu aktivitas atau
kegiatan, sehingga pada akhirnya akan mendapatkan suatu hasil yang sesuai
dengan tujuan atau sasaran kebijakan itu sendiri. Keberhasilan suatu
implementasi kebijakan dapat diukur atau dilihat dari proses dan pencapaian
tujuan hasil akhir (output), yaitu : tercapai atau tidaknya tujuan-tujuan yang
ingin diraih.
Van Meter
dan Van Horn (Budi Winarno, 2002;102) membatasi implementasi kebijakan sebagai
tindakan-tindakan yang dilakukan individu-individu (kelompok-kelompok)
pemerintah maupun swasta yang diarahkan untuk mencapai tujuan-tujuan yang telah
ditetapkan dalam keputusan-keputusan sebelumnya.
Dari
defenisi diatas dapat diketahui bahwa implementasi kebijakan terdiri dari
tujuan atau sasaran kebijakan, aktivitas, atau kegiatan pencapaian tujuan, dari
hasil kegiatan. Sehingga dapat disimpulkan bahwa implementasi merupakan suatu
proses yang dinamis, dimana pelaksana kebijakan melakukan suatu aktivitas atau
kegiatan, sehingga pada akhirnya akan mendapatkan suatu hasil yang sesuai
dengan tujuan atau sasaran kebijakan itu sendiri. Keberhasilan suatu
implementasi kebijakan dapat diukur atau dilihat dari proses dan pencapaian
tujuan hasil akhir (output), yaitu : tercapai atau tidaknya tujuan-tujuan yang
ingin diraih.
2.2.2. Teori-Teori Implementasi
Secara
sederhana implementasi bisa diartikan pelaksanaan atau penerapan.Majone dan
Wildavsky (dalam Nurdin dan Usman, 2002), mengemukakan implementasi sebagai
evaluasi. Browne dan Wildavsky (dalam Nurdin dan Usman, 2004:70) mengemukakan
bahwa ”implementasi adalah perluasan aktivitas yang saling menyesuaikan”.
Pengertian implementasi sebagai aktivitas yang saling menyesuaikan juga
dikemukakan oleh Mclaughin (dalam Nurdin dan Usman, 2004). Adapun Schubert
(dalam Nurdin dan Usman, 2002:70) mengemukakan bahwa ”implementasi adalah
sistem rekayasa.”
Subarsono
(2008;89), mengemukakan beberapa teori dari beberapa ahli mengenai implementasi
kebijakan, yaitu:
a. Teori
George C. Edward
dalam pandangan Edward III, implementasi kebijakan
dipengaruhi oleh empat variable, yaitu :
a). Komunikasi, yaitu keberhasilan implementasi
kebijakan mensyaratkan agar implementor mengetahui apa yang harus dilakukan,
dimana yang menjadi tujuan dan sasaran kebijakan harus ditransmisikan kepada
kelompok sasaran (target group),
sehingga akan mengurangi distorsi imlpementasi.
b). Sumberdaya, dimana meskipun isi kebijakan
telah dikomunikasikan secara jelas dan konsisten, tetapi apabila implementor
kekurangan sumberdaya untuk melaksanakan, maka implementasi tidak akan berjalan
efektif. Sumber daya tersebut dapat berwujud sumber daya manusia, misalnya
kompetensi implementor dan sumber daya financial.
c). Disposisi, adalah watak dan karakteristik
yang dimiliki oleh implementor. Apabila implementor memiliki disposisi yang
baik, maka implementor tersebut dapat menjalankan kebijakan dengan baik seperti
apa yang diinginkan oleh pembuat kebijakan. Edward III (1980;98) menyatakan
bahwa sikap dari pelaksana kadangkala menyebabkan masalah apabila sikap atau
cara pandangnya berbeda dengan pembuat kebijakan. Oleh karena itu, untuk
mengantisipasi dapat mempertimbangkan atau memperhatikan aspek penempatan
pegawai (pelaksana) dan insentif
d). Struktur Birokrasi, merupakan susunan
komponen (unit-unit) kerja dalam organisasi yang menunjukkan adanya pembagian
kerja serta adanya kejelasan bagaimana fungsi-fungsi atau kegiatan yang
berbeda-beda diintegrasikan atau dikoordinasikan, selain itu struktur
organisasi juga menunjukkan spesialisasi pekerjaan, saluran perintah dan
penyampaian laporan (Edward III, 1980;125) Struktur organisasi yang terlalu
panjang akan cenderung melemahkan pengawasan dan menimbulkan red-tape, yakni prosedur birokrasi yang
rumit dan kompleks, yang menjadikan aktivitas organisasi tidak fleksibel. Aspek
dari stuktur organisasi adalah Standard
Operating Procedure (SOP) dan fragmentasi.
a. Teori
Donald S.Van Meter dan Carl E. Van Horn
Meter dan Horn (subarsono;2006;99) mengemukakan bahwa
terdapat lima variabel yang mempengaruhi kinerja implementasi, yakni;
a). Standar dan sasaran kebijakan, di mana standar
dan sasaran kebijakan harus jelas dan terukur sehingga dapat direalisir.apabila
standar dan sasaran kebijakan kabur,
b). Sumberdaya, dimana implementasi kebijakan
perlu dukungan sumberdaya, baik sumber daya manusia maupun sumber daya non
manusia.
c). Hubungan antar organisasi, yaitu dalam
benyak program, implementor sebuah program perlu dukungan dan koordinasi dengan
instansi lain, sehingga diperlukan koordinasi dan kerja sama antar instansi
bagi keberhasilan suatu program.
d). Karakteristik agen pelaksana yaitu mencakup
stuktur birokrasi, norma-norma dan pola-pola hubungan yang terjadi dalam
birokrasi yang semuanya itu akan mempengaruhi implementasi suatu program.
e). Kondisi sosial,
politik, dan ekonomi. Variable ini mencakup sumberdaya ekonomi lingkungan yang
dapat mendukung keberhasilan implementasi kebijakan, sejauh mana
kelompok-kelompok kepentingan memberikan dukungan bagi implementasi kebijakan,
karakteristik para partisipan, yakni mendukung atau menolak, bagaimana sifat
opini public yang ada di lingkungan, serta apakah elite politik mendukung
implementasi kebijakan.
e). Disposisi implementor yang mencakup tiga hal
yang penting, yaitu respon implementor terhadap kebijakan, yang akan
mempengaruhi kemauannya untuk melaksanakan kebijakan, kognisi yaitu pemahaman
terhadap kebijakan, intensitas disposisi implementor, yaitu preferensi nilai
yang dimiliki oleh implementor.
2.3. Anak
jalanan
2.3.1. Pengertian Anak
Berdasarkan
Kamus Besar Bahasa Indonesia (KBBI), anak adalah keturunan kedua. Dalam konsideran
Undang-Undang Nomor 23 Tahun 2002 tentang Perlindungan Anak,dikatakan bahwa
anak adalah amanah dan karunia Tuhan Yang Maha Esa yang dalam dirinya melekat
harkat dan martabat sebagai manusia seutuhnya. Lebih lanjut dikatakan bahwa
anak adalah tunas, potensi, dan generasi muda penerus cita-cita perjuangan
bangsa, memiliki peran strategis dan mempunyai ciri dan sifat khusus yang
menjamin kelangsungan eksistensi bangsa dan negara pada masa depan. Oleh karena
itu, agar setiap anak kelak mampu memikul tanggung jawab tersebut maka ia perlu
mendapat kesempatan yang seluas-luasnya untuk tumbuh dan berkembang secara
optimal baik fisik, mental maupun sosial, dan berakhlak mulia, perlu dilakukan
upaya perlindungan serta mewujudkan kesejahteraan anak dengan memberikan
jaminan terhadap pemenuhan hak-haknya serta adanya perlakuan tanpa
diskriminasi.
Anak dalam
pemaknaan yang umum mendapat perhatian tidak saja dalam bidang ilmu pengetahuan
(the body of knowledge), tetapi dapat
dipandang dari sisi pandang sentralistis kehidupan. Seperti agama, hukum, dan
sosiologis yang menjadikan pengertian anak semakin rasional dan aktual dalam
lingkungan sosial.
Anak
diletakkan dalam advokasi dan hukum perlindungan anak menjadi objek dan subjek
yang utama dari proses legitimasi, generalisasi dalam sistematika dari sistem
hukum positif yang mangatur tentang anak
Definisi anak sebagaimana diungkapkan diatas,
dapat memberikan pemahaman komprehensif. Namun, untuk menentukan batas usia
dalam hal definisi anak, maka terdapat berbagai macam batasan usia anak
mengingat beragamnya definisi batasan usia anak dalam beberapa undang-undang,
misalnya:
a) Undang-Undang Nomor 1 tahun 1974 tentang Perkawinan,
mensyaratkan usia perkawinan 16 tahun bagi perempuan dan 19
tahun bagi
laki-laki.
b) Undang-Undang Nomor 4 Tahun 1979 tentang Kesejahteraan
Anak mendefinisikan anak berusia 21 tahun dan belum pernah kawin.
c) Undang-Undang Nomor 3 Tahun 1997 tentang Pengadilan
Anak mendefinisikan anak adalah orang yang dalam perkara anak nakal telah
berusia 8 (delapan) tahun, tetapi belum mencapai 18 tahun dan belum pernah
kawin. Namun dalam perkembangannya
Mahkamah Konstitusi melalui Keputusannya Nomor 1/PUU-VIII/2010 (LNRI Tahun 2012
No. 153) menyatakan frase 8 tahun dalam Pasal 1 angka 1, Pasal 4 ayat (1) dan
Pasal 5 ayat (1) UU No. 3 Tahun 1997 bertentangan dengan UUD 1945 serta menilai
untuk melindungi hak konstitusional anak, perlu menetapkan batas umur bagi anak
yaitu batas minimal usia anak yang bisa dimintai pertanggungjawaban hukum
adalah 12 (dua belas) tahun karena secara relatif sudah memiliki kecerdasan,
emosional, mental dan intelektual yang stabil.
d) Undang-Undang Nomor 39 Tahun 1999 tentang Hak Asasi
Manusia menyebutkan bahwa anak adalah seseorang yang belum berusia 18 tahun dan
belum pernah kawin.
e) Undang-Undang Nomor 13 Tahun 2003 tentang
Ketenagakerjaan membolehkan usia bekerja 15 tahun.
f) Undang-Undang Nomor 20 Tahun 2003 tentang Sistem
Pendidikan Nasional memberlakukan wajib belajar 9 Tahun, yang dikonotasikan
menjadi anak berusia 7 sampai 15 tahun.
g) Undang-Undang Nomor 23 Tahun 2002 tentang Perlindungan
Anak mendefenisikan Anak sebagai seseorang yang belum berusia 18 (delapan
belas) tahun, termasuk anak yang masih dalam kandungan.
Sementara
itu, mengacu pada konvensi PBB tentang Hak-hak Anak (convention on the right of the child), maka definisi anak: “anak
adalah setiap manusia di bawah umur 18 tahun, kecuali menurut undang-undang
yang berlaku pada anak, kedewasaan dicapai lebih awal”. Untuk itu,
Undang-Undang Nomor 23 Tahun 2002 tentang Perlindungan Anak mendefinisikan anak
sebagai seseorang yang belum berusia 18 tahun, termasuk anak yang masih dalam
kandungan.
Hadi
Supeno mengungkapkan bahwa semestinya setelah
UndangUndang Perlindungan Anak yang dalam strata hukum diketegorikan
sebagai lex specialist, semua
ketentuan lainnya tentang definisi anak harus disesuaikan, termasuk kebijakan
yang dilahirkan serta berkaitan dengan pemenuhan hak anak.
2.3.2. Pengertian Anak Jalanan
Manakala
menyebut anak jalanan, perhatian akan tertuju pada sosok-sosok kumuh, dekil,
liar, nakal dan selalu hadir di perempatan jalan, tumpukan sampah, pusat-pusat
hiburan, keramaian atau terminal-terminal. Sosok anak jalanan hingga kini
merupakan manusia yang menempati kedudukan sangat hina di mata masyarakat umum.
Penampilannya yang jorok, ekonomi keluarganya yang miskin, lingkungan
pemukimannya di daerah-daerah kumu atau bahkan sama sekali tidak mempunyai
tempat tinggal tetap, perangainya yang liar dan sering melakukan kejahatan dan
kekhasan lain anak jalanan, menyebabkan pandangan masyarakat terhadapnya sangat
rendah.
Menurut
Kementerian Sosial, anak jalanan adalah anak yang menghabiskan sebagian
waktunya untuk mencari nafkah atau berkeliaran di jalanan atau tempat-tempat
umum lainnya.
Berdasarkan
Peraturan Daerah Kota Makassar Nomor 2 Tahun 2008 Tentang Pembinaan Anak
Jalanan, Gelandangan, Pengemis, dan Pengamen di Kota Makassar mendefinisikan
Anak Jalanan selanjutnya disebut Anjal adalah anak yang beraktifitas di jalanan
antara 4 – 8 jam perhari;
Anak
jalanan atau sering disingkat anjal menjadi sebuah istilah umum yang mengacu
pada anak-anak yang mempunyai kegiatan ekonomi di jalanan, namun masih memiliki
hubungan dengan keluarganya. Sampai saat ini belum ada pengertian anak jalanan
yang dapat dijadikan acuan bagi semua pihak.
2.3.3. Pengelompokan Anak Jalanan
Menurut
penelitian Kementerian Sosial dan UNDP (United Nations Development Programme)
di Jakarta dan Surabaya, anak jalanan dikelompokkan dalam empat kategori:
1. Anak
jalanan yang hidup dijalanan, dengan kriteria:
a. Putus hubungan atau lama tidak bertemu dengan orang
tuanya ;
b. Berada di jalanan selama 8-10 jam untuk “bekerja”
(mengamen, mengemis, memulung) dan sisanya menggelandang/ tidur;
c. Tidak lagi sekolah;
d. Rata-rata berusia di bawah 14 tahun.
2. Anak
jalanan yang bekerja di jalanan, dengan kriteria:
a. Berhubungan tidak teratur dengan orang tuanya;
b. Berada di jalanan selama 8-16 jam;
c. Mengontrak kamar sendiri, bersama teman, ikut orang
tua/ saudara, umumnya di daerah kumuh;
d. Tidak lagi sekolah;
e. Pekerjaan : penjual koran, pengasong, pencuci bus,
pemulung, penyemir sepatu, dll.
f. Rata-rata berusia di bawah 16 tahun.
3. Anak yang
rentan menjadi anak jalanan, dengan kriteria:
a. Bertemu teratur setiap hari/ tinggal dan tidur dengan
keluarganya;
b. Bekerja di jalanan selama 4-5 jam;
c. Masih bersekolah;
d. Pekerjaan: penjual koran, penyemir, pengamen, dll.
e. Usia rata-rata di bawah 14 tahun.
4. Anak
jalanan berusia di atas 16 tahun, dengan kriteria:
a. Tidak lagi berhubungan/ berhubungan teratur dengan
orang tuanya;
b. Berada di jalanan selama 8-24 jam;
c. Tidur di jalan atau di rumah orang tua;
2.4.
Perlindungan hukum
2.4.1. Defenisi Perlindungan Hukum Terhadap Anak
Perlindungan hukum terhadap hak-hak anak adalah hak
yang timbul pada anak (anak jalanan) untuk mendapatkan perlindungan(protection rights) yang hakiki dalam
setiap kehidupannya dari negara. Dengan demikian hak tersebut menimbulkan suatu
kewajiban yang harus dipenuhi oleh Negara melalui perangkatnya yang bernama
hukum agar terciptanya tata kehidupan berbangsa, bernegara, dan bermasyarakat
yang dapat melindungi hak-hak asasi dari anak.
Sesuai
dengan yang dirumuskan Kementerian Sosial Indonesia dalam petunjuk Teknis
Pelaksanaan Penyantunan dan pengentasan Anak Melalui Panti Asuhan, maka fungsi
dari perlindungan hukum adalah untuk menghindari anak dari keterlambatan,
perlakuan kejam, dan eksploitasi oleh orang tua. Fungsi ini juga diserahkan
kepada keluarga dalam meningkatkan kemampuan keluarga dari kemungkinan
perpisahan.
Hal diatas harus dibedakan dengan istilah perlindungan
anak karena hal ini tidak menunjukkan dengan apa perlindungan itu akan
ditegakkan. Sebagaimana pengertian perlindungan anak itu sendiri yang tersebut
di bawah ini:
1) Perlindungan anak adalah segala daya dan upaya yang
dilakukan secara sadar oleh setiap orang maupun lembaga pemerintahan dan swasta
yang bertujuan mengusahakan pengamanan, pengadaan, dan pemenuhan kesejahteraan
fisik, mental, dan sosial anak dan remaja yang sosial anak dan remaja yang sesuai
dengan kepentingan dan hak asasinya.
2) Perlindungan anak adalah segala daya upaya bersama
yang dilakukan secara sadar oleh perorangan, keluarga, masyarakat, badan-badan
pemerintah dan swasta untuk pengamanan, pengadaan, dan pemenuhan kesejahteraan
rohaniah dan jasmaniah anak berusia 0-21 tahun , tidak dan belum pernah
menikah, sesuai dengan hak asasi dan kepentingannya agar dapat mengembangkan
dirinya seoptimal mungkin.
Perlindungan hak-hak anak pada hakikatnya
menyangkut langsung pengaturan dalam peraturan perundang-undangan,
kebijaksanaan, usaha dari kegiatan yang menjamin terwujudnya perlindungan
hak-hak anak, pertama-tama didasarkan atas pertimbangan bahwa anak-anak
merupakan golongan yang rawan, disamping karena adanya golongan anak-anak yang
mengalami hambatan dalam pertumbuhan dan perkembangannya, baik rohani, jasmani
maupun sosial.
2.4.2. Tanggungjawab Perlindungan Anak
Perlindungan anak diusahakan oleh setiap orang baik
orang tua, keluarga, masyarakat, pemerintah, maupun negara. Pasal 20
UndangUndang Nomor 23 Tahun 2002 menentukan bahwa negara, pemerintah,
masyarakat, dan orang tua berkewajiban dan bertanggung jawab terhadap
penyelenggaraan perlindungan anak.
Jadi yang mengusahakan perlindungan anak adalah setiap
anggota masyarakat sesuai dengan kemampuannya dengan berbagai macam usaha dalam
situasi dan kondisi tertentu. Setiap warga negara ikut bertanggungjawab
terhadap dilaksanakannya perlindungan anak demi kesejahteraan anak. Kebahagiaan
anak merupakan kebahagiaan bersama, kebahagiaan yang dilindungi adalah
kebahagiaan yang melindungi. Tidak ada keresahan pada anak karena perlindungan
anak dilaksanakan dengan baik.
Kesejahteraan
anak mempunyai pengaruh positif terhadap orang tua, keluarga, masyarakat,
pemerintah, dan negara. Perlindungan anak bermanfaat bagi anak dan orangtua,
keluarga, masyarakat, pemerintah, dan negara. Koordinasi kerjasama kegiatan
perlindungan anak perlu dilakukan dalam rangka mencegah ketidakseimbangan kegiatan
perlindungan anak perlu dilakukan dalam rangka mencegah ketidakseimbangan
kegiatan perlindungan anak secara keseluruhan.
Kewajiban dan tanggungjawab negara dan pemerintah
dalam usaha perlindungan anak diatur dalam Undang-Undang Nomor 23 Tahun 2002 yaitu:
a.
Menghormati dan
menjamin hak asasi setiap anak tanpa membedakan suku, agama, ras, golongan,
jenis kelamin, etnik, budaya, dan bahasa, status hukum anak, urutan kelahiran
anak dan kondisi fisik dan/atau mental (Pasal 21);
b.
Memberikan
dukungan sarana dan prasarana dalam penyelenggaraan perlindungan anak (Pasal
22);
c.
Menjamin
perlindungan, pemeliharaan, dan kesejahteraan anak dengan memperhatikan hak dan
kewajiban orangtua, wali atau orang lain yang secara umum bertanggungjawab
terhadap anak dan mengawasi penyelenggaraan perlindungan anak (Pasal 23);
d.
Menjamin anak
untuk mempergunakan haknya dalam menyampaikan pendapat sesuai dengan usia dan
tingkat kecerdasan anak (Pasal 24).
Kewajiban dan tanggungjawab masyarakat terhadap
perlindungan anak dilaksanakan melalui kegiatan peran masyarakat dalam
penyelenggaraan perlindungan anak sebagaimana diatur dalam Pasal 25
Undang-Undang Nomor 23 Tahun 2002. Kewajiban dan tanggungjawab keluarga dan
orangtua dalam usaha perlindungan anak diatur dalam Pasal 26 Undang-Undang
Nomor 23 Tahun 2002, yaitu:
a. Mengasuh, memelihara, mendidik, dan melindungi anak;
b. Menumbuhkembangkan anak sesuai dengan kemampuan,
bakat, dan minatnya.
c. Mencegah terjadinya perkawinan pada usia anak-anak.
2.5. Hak-hak Anak Menurut Undang-Undang Nomor 23 Tahun
2002Tentang
Perlindungan Anak
Undang-Undang Nomor 23 Tahun 2002 Tentang Perlindungan
Anak merupakan bentuk konkritisasi dari pelaksanaan Konvensi Hak-Hak anak yang
telah diratifikasi oleh indonesia.
Dengan peratifikasian Konvensi Hak-Hak Anak berdasarkan keputusan
Presiden Nomor 36 Tahun 1990 tentang Pengesahan Convention On The Rights Of The Child (Konvensi tentang Hak-Hak
Anak/KHA), maka sejak Tahun 1990 tersebut Indonesia terikat secara hukum untuk
melaksanakan ketentuan yang termaktub di dalam konvensi Hak-Hak Anak. Sementara
itu, hak-hak anak secara umum terdapat dalam Pasal 4 sampai dengan Pasal 18
Undang-Undang Nomor 23 Tahun 2002 tentang Perlindungan Anak, antara lain:
- Setiap anak berhak untuk dapat hidup, tumbuh, berkembang, dan berpartisipasi secara wajar sesuai dengan harkat dan martabat kemanusiaan, serta mendapat perlindungan dari kekerasan dan diskriminasi.
- Setiap anak berhak atas suatu nama sebagai identitas diri dan status kewarganegaraan.
- Setiap anak berhak untuk beribadah menurut agamanya, berfikir, dan berekspresi sesuai dengan tingkat kecerdasan dan usianya, dalam bimbingan orang tua.
- Setiap anak berhak untuk mengetahui orang tuanya, dibesarkan, dan diasuh oleh orang tuanya sendiri.
- Setiap anak berhak memperoleh pelayanan kesehatan dan jaminan sosial sesuai dengan kebutuhan fisik, mental, spiritual dan sosial.
- Setiap anak berhak memperoleh pendidikan dan pengajaran dalam rangka pengembangan pribadinya dan tingkat kecerdasannya sesuai dengan minat dan bakatnya.
- khusus bagi anak penyandang cacat juga berhak memperoleh pendidikan luar biasa, sedangkan bagi anak yang memiliki keunggulan juga berhak mendapatkan pendidikan khusus.
- Setiap anak berhak menyatakan dan didengar pendapatnya, menerima, mencari, dan memberikan informasi sesuai dengan tingkat kecerdasan dan usianya demi pengembangan dirinya sesuai dengan nilai-nilai kesusilaan dan kepatutan.
- Setiap anak berhak untuk beristirahat dan memanfaatkan waktu luang, bergaul dengan anak yang sebaya, bermain, berekreasi, dan berkreasi sesuai dengan minat, bakat. Dan tingkat kecerdasannya demi pengembangan diri.
- Setiap anak yang menyandang cacat berhak memperoleh rehabilitasi, bantuan sosial, dan pemeliharaan taraf kesejahteraan sosial.
- Setiap anak selama dalam pengasuhan orang tua, wali, atau pihak lain manapun yang bertanggung jawab atas pengasuhan, berhak mendapat perlindungan dari perlakuan: Diskriminasi, Eksploitasi, baik ekonomi maupun seksual, Penelantaran, Kekejaman, Kekerasan, Penganiayaan, Ketidakadilan, Perlakuan salah lainnya.
- Setiap anak berhak untuk diasuh oleh orang tuanya sendiri, kecuali jika ada alasan dan/atau aturan hukum yang sah menunjukkan bahwa pemisahan itu adalah demi kepentingan terbaik bagi anak dan merupakan pertimbangan terakhir.
- Setiap anak berhak untuk memperoleh perlindungan dari: Penyalahgunaan dalam kegiatan politik, Pelibatan dalam sengketa bersenjata, Pelibatan dalam kerusuhan sosial, Pelibatan dalam pariwisata yang mengandung unsur kekerasan, Dan pelibatan dalam peperangan.
- Setiap anak berhak memperoleh perlindungan dari sasaran penganiayaan, penyiksaan, atau penjatuhan hukuman yang tidak manusiawi.
- Setiap anak berhak untuk memperoleh kebebasan sesuai dengan hukum.
- Penangkapan, penahanan, atau tindak pidana penjara anak hanya dilakukan apabila sesuai dengan hukum yang berlaku dan hanya dapat dilakukan sebagai upaya terakhir.
- Setiap anak yang dirampas kebebasannya berhak untuk: Mendapatkan perlakuan secara menusiawi dan penempatannya dipisahkan dari orang dewasa, Memperoleh bantuan hukum atau bantuan lainnya secara efektif dalam setiap tahapan upaya hukum yang berlaku, Membela diri dan memperoleh keadilan di depan pengadilan anak yang objektif dan tidak memihak dalam sidang tertutup untuk umum.
- Setiap anak yang menjadi korban atau pelaku kekerasan seksual atau yang berhadapan dengan hukum berhak dirahasiakan.
- Setiap anak yang menjadi korban atau pelaku tindak pidana berhak mendapatkan bantuan hukum dan bantuan lainnya.
Hak-hak anak menurut
Undang-Undang Nomor 23 Tahun 2002 Tentang Perlindungan Anak, juga dapat dilihat
pada pasal 64, yakni:
(1) Perlindungan khusus bagi anak yang berhadapan dengan
hukum sebagaimana dimaksud dalam pasal 59 meliputi anak yang berkonflik hukum
dan anak korban tindak pidana, merupakan kewajiban dan tanggung jawab
pemerintah dan masyarakat.
(2) Perlindungan khusus bagi anak yang berhadapan dengan
hukum sebagaimana dimaksud dalam ayat (1) dilaksanakan melalui:
- Perlakuan atas anak secara manusiawi sesuai dengan martabat dan hak-hak anak;
- Penyediaan petugas pendamping khusus anak sejak dini;
- Penyediaan sarana dan prasarana khusus;
- Penjatuhan sanksi yang tepat untuk kepentingan yang terbaik bagi anak;
- Pemantauan dan pencatatan terus menerus terhadap perkembangan anak yang berhadapan dengan hukum;
- Pemberian jaminan untuk mempertahankan hubungan dengan
g. orang
tua, atau keluarga; dan
- Perlindungan dari pemberitaan identitas melalui media massa dan untuk menghindari liberalisasi.
(3) Perlindungan khusus bagi anak yang menjadi korban
tindak pidana sebagaimana dimaksud dalam ayat (1) dilaksanakan melalui:
a. Upaya
rehabilitasi, baik lembaga maupun di luar lembaga;
b. Upaya
perlindungan dari pemberitaan identitas melalui media massa dan untuk
menghindari liberalisasi;
c. Pemberian
jaminan keselamatan bagi saksi korban dan saksi ahli, baik fisik, mental maupun
sosial; dan
d. Pemberian
aksesibilitas untuk mendapatkan informasi mengenai perkembangan perkara.
2.6. Penelitian
terdahulu
Berikut beberapa hasil penelitian yang berkaitan
dengan anak jalanan yang pernah dilaksanakan
Tabel 1
Penelitian
Terdahulu
Nama Peneliti
|
Judul Penelitian
|
Tujuan Penelitian
|
Hasil penelitian
|
Niken Irmawati
|
Responsivitas
Pemerintah Kota Surakarta dalam perlindungan anak menuju Solo Kota Dunia
|
Penelitian ini bertujuan mengkaji
bagaimana responsivitas Pemerintah Kota Surakarta terhadap perlindungan anak
menuju Solo sebagai Kota Layak Anak (KLA) dan mengetahui kendala dan upaya
yang dihadapi Pemerintah Kota Surakarta terhadap perlindungan anak menuju
Solo sebagai Kota Layak Anak (KLA).
|
Hasil penelitian
menunjukkan bahwa: a)
kemampuan mengenali kebutuhan anak masih terbatas, dimana Pemerintah Kota
Surakarta belum memiliki data dasar tentang jumlah kasus maupun penanganan
permasalahan anak secara lengkap dan up to date. b) Kemampuan pemerintah
menyusun agenda dan prioritas pelayanan perlindungan anak sudah sesuai dengan
kebutuhan anak, namun sesungguhnya kebutuhan-kebutuhan anak di Kota Surakarta
tidak hanya mencakup kebutuhan perlindungan atas ESKA, gizi buruk, anak putus
sekolah, dan partisipasi anak.c) Pemerintah masih banyak bertumpu pada
lembaga-lembaga lain yang peduli terhadap perlindungan anak.
|
Diah Putri Mahanani
|
Konsep
anak Jalanan (Studi Kasus Pada Anak Jalanan
di Yogyakarta).
|
Penelitian ini
bertujuan untuk mendeskripsikan dinamika konsep diri dari anak-anak jalanan
di lampu merah jalan Laksda Adi Sucipto. Subjek dalam penelitian ini adalah empat
orang anak jalanan di lampu merah jalan Laksda Adi Sucipto.
|
Hasil penelitian
menunjukkan bahwa dua diantara empat anak jalanan memiliki konsep diri
positif yang ditunjukan dengan rasa percaya diri, gambaran masa depan yang
jelas, optimis, dan terbuka. Selanjutnya sisanya memiliki konsep diri
negatif, ditunjukan adanya individu yang tidak aman, tidak percaya diri, dan
gambaran masa depan tidak jelas. Faktor yang mempengaruhi pembentukan konsep
diri pada anak jalanan ini adalah lingkungan, pendidikan, dan fisik. Tiga
anak jalanan tersebut masih bersekolah namun satu anak jalanan memilih
berhenti sekolah untuk mencari kebebasan. Satu diantara anak jalanan yang
bersekolah memiliki konsep diri negatif, ini karena meski anak tersebut
mendapat bimbingan dari guru namun anak tersebut tidak mendapatkan bimbingan
dan perhatian dari keluarga. Sedangkan dua anak jalanan lainnya yang masih
bersekolah memiliki konsep diri positif karena selain mendapat bimbingan dari
sekolah juga mendapat perhatian, dukungan, dan bimbingan dari keluarga.
Kemudian satu anak jalanan yang tidak bersekolah memiliki konsep diri
negatif, karena anak tersebut tidak mendapatkan bimbingan dari guru,
keluarga, dan selain hidup di lingkungan anak jalanan juga bergaul dengan
lingkungan balapan motor.
|
Rochatun, Isti.
|
“Eksploitasi Anak Jalanan Sebagai
Pengemis Di Kawasan Simpang Lima Semarang
|
Tujuan penelitian ini adalah (1)
untuk mengetahui eksploitasi terhadap anak jalanan sebagai pengemis di
kawasan Simpang Lima Semarang. (2) mengetahui bentuk eksploitasi terhadap
anak jalanan di kawasan Simpang Lima Semarang. (3) mengetahui dampak
eksploitasi anak terhadap anak jalanan dan masyarakat di kawasan Simpang Lima
Semarang
|
Hasil penelitian menunjukkan bahwa
(1) Ada tiga hal yang melatar belakangi terjadinya eksploitasi terhadap anak
jalanan d kawasan Simpang Lima Semarang yakni: Ekonomi keluarga yang rendah
(kemiskinan), komunitas dan pengaruh lingkungan dan keretakan dan kekerasan
kehidupan rumah tangga orang tua. (2) Bentuk eksploitasi anak jalanan di
kawasan Simpang Lima Semarang adalah yang dilakukan oleh orang tua dan yang
dilakukan oleh preman. (3) Dampak terjadinya eksploitasi terhadap anak dapat
meliputi bebrapa hal yakni: bidang ekonomi, kesehatan, psikologis dan
pendidikan sedangkan danpak eksploitasi bagi masyarakat meliputi: membuat
resah pengguna jalan, mengaggu ketertiban lalu lintas dan membuat resah
masyarakat.
|
2.7. Kerangka konseptual
Negara adalah suatu badan atau
organisasi tertinggi yang mempunyai wewenang untuk mengatur hal-hal yang
berkaitan untuk kepentingan orang banyak serta mempunyai kewajiban-kewajiban
untuk melindungi, mensejahterakan masyarakatnya dan sebagainya. Dapat dikatakan
menjadi suatu negara bila
terdapat wilayah, rakyat dan pemerintahan.
Sebagaimana instusi politik lainya, Negara adalah asosiasi hubungan
manusia yang menguasai manusia lain.
Untuk memahami tentang implementasi kebijakan maka kita tidak
bisa melepaskan dari pertanyaan tentang kebijakan apa yang diimplementasikan.
Berhubung dalam penelitian ini membahas kebijakan dalam organisasi pemerintah
maka kebijakan yang dibahas adalah kebijakan pemerintah atau kebijakan publik.
Konsep kebijakan publik (public policy) menurut Affan
Suhaiman (1998:24) adalah Sebagai suatu proses yang mengandung berbagai pola
aktivitas tertentu dan merupakan seperangkat keputusan yang bersangkutan dengan
tindakan untuk mencapai tujuan dalam beberapa cara yang khusus. Dengan
demikian, maka konsep kebijakan publik berhubungan dengan tujuan dengan pola
aktivitas pemerintah mengenai sejumlah masalah serta mengandung tujuan.
Kebijakan
tersebut akhirnya disebut juga dengan kebijakan pemerintah/Negara seperti yang
didefinisikan oleh Ermaya Suradinata (1993:190) sebagai berikut :Kebijakan
negara/pemerintah adalah kebijakan yang dikembangkan oleh badan-badan atau
lembaga dan pejabat pemerintah. Kebijakan Negara dalam pelaksanaannya meliputi
beberapa aspek, berpedoman pada ketentuan yang berlaku, berorientasi kepada
kepentingan umum dan masa depan serta strategi pemecahan masalah yang terbaik.
Sebuah
kebijakan hendaknya tersusun dengan baik sehingga mudah terarah. Kbijakan yang
tersususn secara baik tentu memrlukan waktu untuk berkembang dan seyognyanya
tetap mempertahankan hal-hal seperti yang diutraakan oleh J.winanrdi (1990:1200
sebagai berikut :
- Memungkinkan penafsiran terbuka dan penilaian.
- Bersifat konsisten dan tidak boleh ada dua kebijakan yang saling bertentangan dalam suatu organisasi.
- Harus sesuai dengan keadaan yang berkembang.
- Harus membantu penca[paian sasaran dan harus dibantu dengan fakta-fakta yang obyektif.
- Harus sesuai dengan kondisi-kondisi eksternal.
Dengan demikian disamping kebijakan tersebut perlu tersusun
dengan baik, adapula beberapa faktor yang dapat turut memperbaiki kualitas
suatu kebijakan adalah seperti yang disampaikan oleh Bintoro Tjokroamidjojo
(1991:116).
- Jangan didasarkan pada selera seketika (whims) tetapi harus melalui proses yang rasional berdasarkan akal sehat.
- Penyempurnaan informasi dan sistem informasi bagi analisa dan pembentukan kebijakan.
- Dikembangkan unified approach dalam perumusan kebijakan.
- Peka terhadap kebutuhan obyektif masyarakat.
Pada dasarnya rumusan kebijakan memang harus bersifat
obyektif baik sebagai dasar analisisnya maupun kondisi kebutuhan masyarakat
atau obyek yang akan terkcna dapak kebijakan yang akan diambil serta dapat
memudahkan penentu kebijakan untuk mengadakan revisi atau perbaikan, jika
ternyata pelaksanaannya tidak sesuai dengan harapan obyektif tadi.
Dari beberapa proses kebijakan, implementasi kebijakan
merupakan aspek yang penting dari keseluruhan proses kebijakan. Implementasi
kebijakan itu sendiri mengandung beberapa makna, sebagaimana yang dirumuskan
dalam kamus Webster (dalam Wahab, 1997 :64) bahwa : "to Implement ( mengimplementasikan) berarti to provide the means for cariying but": (menimbulkan
dampak / akibat terhadap sesuatu). Kalau pandangan ini kita ikuti, maka
implementasi daripada kebijakan dapal dipandang sebagai suatu proses untuk
melaksanakan keputusan kebijaksanaan (biasanya dalam bentuk undang-undang,
peraturan pemerintah, keputusan peradilan, perintah eksekutif, atau Dekrit
Presiden).
Daniel A. Mazmanian dan Paul A. Sabaticr (1986 :4) memberikan
penjelasan mengenai makna implementasi yaitu Memahami apa yang senyatanya
terjadi sesudah suatu program berlaku atau dirumuskan merupakan fokus perhatian
implementasi ebijakasanaan, yakni kejadian-kejadian dan kegiatan-kegiatan yang
timbul sesudah disahkannya pedoman-pedoman kebijaksanaan negara, yang mencakup
baik usaha-usaha untuk mengadministrasikannya maupun untuk menimbulkan
akibat/dampak nyata pada masyarakat atau kejadian-kejadian.
Implementasi kebijakan merupakan suatu upaya untuk mencapai
tujuan-tujuan tertentu dengan arena-sarana tertentu dan dalam urutan waktu
tertentu, J.A.M. Maarse (daiam Sunggono, 1994:137) dengan demikian yang
diperlukan dalam implementasi tersebut adalah suatu tindakan yang sah atau
implementasi suatu rencana peruntukan.
Dengan demikian pelaksanaan kebijakan dapat melibatkan
penjabaran lebih lanjut dari tujuan-tujuan yang telah ditetapkan tersebut oleh
pejabat atau instansi pelaksana (Hamdi, 1999:5).Implementasi kebijakan publik
pada umumnya diserahkan kepada lembaga-lembaga pemerintahan dalam berbagai
jenjangnya hingga jenjang pemerintahan yang terendah. Dari pemerintah pusat
sampai pemerintah daerah.
Oleh karena itu secara umum, terdapat beberapa keadaan yang
perlu dipertimbangkan dalam mengupayakan keberhasilan impiementasi kebijakan.
Hal ini sebagaimana dikemukakan oleh Pressman dan Wildavsky (dalain Ilamdi,
1999:55) sebagai berikut:
- Implementasi perlu didasarkan pada suatu teori yang tepat dalam menghubungkan perubahan dalam perilaku target dengan pencapaian tujuan kebijakan.
- Adanya penjelasan arah dan structural kebijakan
- Adanya keterampilan teknis dan manajerial yang memadai di unit-unit kerja yang melaksanakan kebijakan.
- Adanya dukungan-dukungan yang tepat dari partisipasi terkail.
- Hubungan dan konflik antara berbagai partisipan jangan sampai mengurangi atau meniadakan pentingnya arti kebijakan yang dilaksanakan.
Dari beberapa pengertian diatas menunjukkan bahwa dalam
implementasi suatu kebijakan publik harus memperhatikan faktor-faktor dari
dalam (intern) organisasi pemerintah dan faktor dari luar (ekstern). Disamping
memperhatikan faktor intern dan ekstern organisasi maka ada beberapa model yang
dikembangkan oleh Rippley dan Franklin (1986 :89) yang antara lain menyatakan
bahwa keberhasilan dari implementasi kebijakan atau suatu program itu adalah ditujukan
dari tiga faktor seperti :
a.
Perspektif
kepatuhan (compliance} yang mengukur implementasi dari kepatuhan street level
bereau crats terhadap atasan mereka.
b.
Keberhasilan
implementasi diukur dari kelancaran rutinitas dan tiadanya persoalan
c.
Implementasi
yang berhasil mengarah kepada kinerja yang memuaskan semua pihak terutama
kelompok penerima manfaat yang diharapkan.
Dengan demikian apabila suatu kebijakan publik memperhatikan
faktor-faktor yang mempengaruhi suatu implementasi kebijakan dengan
memperhatikan prosedur-prosedur yang ada, maka diharapkan akan menghasilkan
kebijakan yang tepat pada sasaran yang diinginkan.
Proses
implementasi kebijakan public baru dapat dimulai apabila tujuan-tujuan
kebijakan public telah ditetapkan, program-program telah dibuat, dandana telah dialokasikan untuk pencapaian tujuan
kebijakan tersebut. Suatu proses implementasi dapat digambarkan secara
sistematis seperti berikut ini :
Gambar 1
Proses implementasi kebijakan publik
Dampak
|
akhir
|
kebijakan
|
Dampak
|
segara
|
kebijakan
|
Proses
|
Pelaksanaan
|
Kebijakan
|
Sumber : Bambang Sunggono (1994:139)
Dari skema
tersebut terlihat bahwa proses implementasi dimulai dengan suatu kebijakan yang
harus dilaksanakan. Hasil proses implementasi terdiri dari hasil kebijakan yang
segera atau disebut sebagai “policy
performance”. Secara konkrit antara lain dapat kita lihat jumlah dan isi
barang dan jasa yang dihasilkan pemerintah dalam jangka waktu tertentu untuk
menaikkan taraf kesejahteraan warga masyarakat, Misalnya perubahan dalam taraf
kesejahteraan warga masyarakat dapat dianggap sebagai hasil akhir kebijakan yang disebut juga
sebagai “policy outcome” atau “policy impact”. Dengan sendirinya di
dalam hasil akhir kebijakan termasuk juga hasilhasil sampingan disamping “policy performance” yang diperoleh.
Pendekatan
yang digunakan dalam menganalisis implementasi kebijakan tentang tentang
implementasi pengololaan anak jalanan ini adalah teori yang dikemukakan oleh
George C. Edwards III. Dimana implementasi dapat dimulai dari kondisi abstrak
dan sebuah pertanyaan tentang apakah syarat agar implementasi kebijakan dapat
berhasil, menurut George C. Edwards III ada empat variabel dalam kebijakan
publik yaitu Komunikasi (Communications), Sumber Daya (resources), sikap
(dispositions atau attitudes) dan struktur birokrasi (bureucratic structure).
Ke empat faktor di atas harus dilaksanakan secara simultan karena antara satu
dengan yang lainnya memiliki hubungan yang erat. Tujuan kita adalah
meningkatkan pemahaman tentang implementasi kebijakan. Penyederhanaan pengertian
dengan cara membreakdown (diturunkan) melalui eksplanasi implementasi kedalam
komponen prinsip. Implementasi kebijakan adalah suatu proses dinamik yang mana
meliputi interaksi banyak faktor. Sub kategori dari faktor-faktor mendasar
ditampilkan sehingga dapat diketahui pengaruhnya terhadap implementasi.
Faktor
–faktor yang berpengaruh dalam implementasi menurut George C. Edwards III
sebagai berikut :
a.Komunikasi
Implementasi akan berjalan efektif apabila ukuran-ukuran dan
tujuan-tujuan kebijakan dipahami oleh individu-individu yang bertanggungjawab
dalam pencapaian tujuan kebijakan. Kejelasan ukuran dan tujuan kebijakan dengan
demikian perlu dikomunikasikan secara tepat dengan para pelaksana. Konsistensi
atau keseragaman dari ukuran dasar dan tujuan perlu dikomunikasikan sehingga
implementors mengetahui secara tepat ukuran maupun tujuan kebijakan itu.
Komunikasi dalam organisasi merupakan suatu proses yang amat kompleks dan
rumit. Seseorang bisa menahannya hanya untuk kepentingan tertentu, atau
menyebarluaskannya. Di samping itu sumber informasi yang berbeda juga akan
melahirkan interpretasi yang berbeda pula. Agar implementasi berjalan efektif,
siapa yang bertanggungjawab melaksanakan sebuah keputusan harus mengetahui
apakah mereka dapat melakukannya. Sesungguhnya implementasi kebijakan harus
diterima oleh semua personel dan harus mengerti secara jelas dan akurat
mengenahi maksud dan tujuan kebijakan. Jika para aktor pembuat kebijakan telah
melihat ketidakjelasan spesifikasi kebijakan sebenarnya mereka tidak mengerti
apa sesunguhnya yang akan diarahkan. Para implemetor kebijakan bingung dengan
apa yang akan mereka lakukan sehingga jika dipaksakan tidak akan mendapatkan
hasil yang optimal. Tidak cukupnya komunikasi kepada para implementor secara
serius mempengaruhi implementasi kebijakan.
b.
Sumberdaya
Tidak menjadi masalah bagaimana jelas dan konsisten
implementasi program dan bagaimana akuratnya komunikasi dikirim. Jika personel
yang bertanggungjawab untuk melaksanakan program kekurangan sumberdaya dalam melakukan
tugasnya. Komponen sumberdaya ini meliputi jumlah staf, keahlian dari para
pelaksana, informasi yang relevan dan cukup untuk mengimplementasikan kebijakan
dan pemenuhan sumber-sumber terkait dalam pelaksanaan program, adanya
kewenangan yang menjamin bahwa program dapat diarahkan kepada sebagaimana yamg
diharapkan, serta adanya fasilitas-fasilitas pendukung yang dapat dipakai untuk
melakukan kegiatan program seperti dana dan sarana prasarana.Sumberdaya manusia
yang tidak memadahi (jumlah dan kemampuan) berakibat tidak dapat
dilaksanakannya program secara sempurna karena mereka tidak bisa melakukan
pengawasan dengan baik. Jika jumlah staf pelaksana kebijakan terbatas maka hal
yang harus dilakukan meningkatkan skill/kemampuan para pelaksana untuk melakukan
program. Untuk itu perlu adanya manajemen SDM yang baik agar dapat meningkatkan
kinerja program. Ketidakmampuan pelaksana program ini disebabkan karena
kebijakan konservasi energi merupakan hal yang baru bagi mereka dimana dalam
melaksanakan program ini membutuhkan kemampuan yang khusus, paling tidak mereka
harus menguasai teknik-teknik kelistrikan.Informasi merupakan sumberdaya
penting bagi pelaksanaan kebijakan. Ada dua bentuk informasi yaitu informasi
mengenahi bagaimana cara menyelesaikan kebijakan/program serta bagi pelaksana
harus mengetahui tindakan apa yang harus dilakukan dan informasi tentang data
pendukung kepetuhan kepada peraturan pemerintah dan undang-undang. Kenyataan
dilapangan bahwa tingkat pusat tidak tahu kebutuhan yang diperlukan para
pelaksana dilapangan. Kekurangan informasi/pengetahuan bagaimana melaksanakan
kebijakan memiliki konsekuensi langsung seperti pelaksana tidak
bertanggungjawab, atau pelaksana tidak ada di tempat kerja sehingga menimbulkan
inefisien. Implementasi kebijakan membutuhkan kepatuhan organisasi dan individu
terhadap peraturan pemerintah yang ada.Sumberdaya lain yang juga penting adalah
kewenangan untuk menentukan bagaimana program dilakukan, kewenangan untuk
membelanjakan/mengatur keuangan, baik penyediaan uang, pengadaan staf, maupun
pengadaan supervisor. Fasilitas yang diperlukan untuk melaksanakan
kebijakan/program harus terpenuhi seperti kantor, peralatan, serta dana yang
mencukupi. Tanpa fasilitas ini mustahil program dapat berjalan.
c.
Disposisi atau Sikap
Salah satu faktor yang mempengaruhi efektifitas implementasi
kebijakan adalah sikap implementor. Jika implemetor setuju dengan bagian-bagian
isi dari kebijakan maka mereka akan melaksanakan dengan senang hati tetapi jika
pandangan mereka berbeda dengan pembuat kebijakan maka proses implementasi akan
mengalami banyak masalah. Ada tiga bentuk sikap/respon implementor terhadap
kebijakan ; kesadaran pelaksana, petunjuk/arahan pelaksana untuk merespon
program kearah penerimaan atau penolakan, dan intensitas dari respon tersebut.
Para pelaksana mungkin memahami maksud dan sasaran program namun seringkali
mengalami kegagalan dalam melaksanakan program secara tepat karena mereka
menolak tujuan yang ada didalamnya sehingga secara sembunyi mengalihkan dan
menghindari implementasi program. Disamping itu dukungan para pejabat pelaksana
sangat dibutuhkan dalam mencapai sasaran program. Dukungan dari pimpinan sangat
mempengaruhi pelaksanaan program dapat mencapai tujuan secara efektif dan
efisien. Wujud dari dukungan pimpinan ini adalah Menempatkan
kebijakan menjadi prioritas program, penempatan pelaksana dengan orang-orang
yang mendukung program, memperhatikan keseimbangan daerah, agama, suku, jenis
kelamin dan karakteristik demografi yang lain. Disamping itu penyediaan dana
yang cukup guna memberikan insentif bagi para pelaksana program agar mereka
mendukung dan bekerja secara total dalam melaksanakan kebijakan/program.
d. Struktur
Birokrasi
Membahas badan pelaksana suatu kebijakan, tidak dapat
dilepaskan dari struktur birokrasi. Struktur birokrasi adalah karakteristik,
norma-norma, dan pola-pola hubungan yang terjadi berulang-ulang dalam
badan-badan eksekutif yang mempunyai hubungan baik potensial maupun nyata
dengan apa yang mereka miliki dalam menjalankan kebijakan. Van Horn dan Van
Meter menunjukkan beberapa unsur yang mungkin berpengaruh terhadap suatu
organisasi dalam implementasi kebijakan, yaitu:
- Kompetensi dan ukuran staf suatu badan;
- Tingkat pengawasan hirarkhis terhadap keputusan-keputusan sub unit dan proses-proses dalam badan pelaksana;
- Sumber-sumber politik suatu organisasi (misalnya dukungan di antara anggota legislatif dan eksekutif);
- Vitalitas suatu organisasi;
- Tingkat komunikasi “terbuka”, yaitu jaringan kerja komunikasi horizontal maupun vertikal secara bebas serta tingkat kebebasan yang secara relatif tinggi dalam komunikasi dengan individu-individu di luar organisasi;
- Kaitan formal dan informal suatu badan dengan badan pembuat keputusan atau pelaksana keputusan.
Bila
sumberdaya cukup untuk melaksanakan suatu kebijakan dan para implementor
mengetahui apa yang harus dilakukan , implementasi masih gagal apabila struktur
birokrasi yang ada menghalangi koordinasi yang diperlukan dalam melaksanakan
kebijakan. Kebijakan yang komplek membutuhkan kerjasama banyak orang, serta
pemborosan sumberdaya akan mempengaruhi hasil implementasi. Perubahan yang
dilakukan tentunya akan mempengaruhi individu dan secara umum akan mempengaruhi
sistem dalam birokrasi.
Pemerintah
dalam hal ini adalah yang membuat dan melaksanakan peraturan daerah merupakan
pion penting dalam penyelengaraan pemerintahan. pelayanan dan pengaturan
berkenaan dengan nilai dasar yang dijelaskan pada konsep tetang masarakat yaitu
mengenai hak dan kewajiban masyarakat. Yang pertama mengenai tugas pengaturan,
jika yang bertugas mengatur adalah pemerintah maka yang diatur adalah
yang-diperintah dalam hal ini masyarakat. Berarti pemerintah memiliki hak untuk
mengatur dan masyarakat memiliki kewajiban untuk diatur. hal ini terkait dengan
konsep implementasi kebijakan.
Dalam aturan
peraturan daerah Kota Makassar no 2 tahun 2008 tentang pembinaan anak jalanan,
pengemis, gelandangan, dan pengamen, Pemerintah Daerah yang dimaksud penulis
dalam melaksanakan peraturan daerah tersebut adalah aparatur yang
bertanggungjawab dalam pelaksanaan perda. Penjelasan mengenai peraturan daerah
no tahun 2008 di kota Makassar mengenai konsep pembinaan adalah segala upaya
atau kegiatan yang dilakukan oleh Pemerintah dan/atau masyarakat untuk
mengatasi masalah anak jalanan, gelandangan pengemis, pengamen dan keluarganya
supaya dapat hidup dan mencari nafkah dengan tetap mengutamakan hak-hak
dasarbagi kemanusiaan;
Tujuan utama
penyelengaraan pemerintah daerah adalah menciptakan kesejahteraan masyarakat,
maka dari itu pemerintah Kota Makassar melalui Peraturan Daerah Kota Makassar
Nomor 2 Tahun 2008 tentang pembinaan anak jalanan menegaskan ada beberapa
pembinaan dalam mengurangi pertumbuhan jumlah rakyat miskin kota yang di kelompokan
sebagai anak jalanan, gelandangan, pengemis, dan pengamen yang berada di Kota
Makassar. Sekarang yang dilakukan
oleh Pemerintah Kota Makassar, yaitu:
a. Program
pembinaan. Program pembinaan yang dimakasud ada bebarapa di dalamnya yaitu
pembinaan pencegahan, pembinaan lanjutan, serta rehabilitasi sosial.
b. Pengurangan
terhadap prilaku eksploitasi dimana Pemerintah Kota Makassar sebagai barometer
dari pelaksanaan suatu kebijakan harus menindak tegas pihak-pihak yang sengaja
mengeksploitasi kegiatan dari anak jalanan.
c. Melakukan
pemberdayaan yaitu proses penguatan keluarga yang dilakuan secara terencana dan
terarah sesuai dengan keterampilan yang dimiliki tiap individu yang dibina.
d. Bimbingan
lanjut yaitu salah satu cara pembinaan yang dilakukan melalui kegiatan
monitoring evaluasi dari program pemberdayaan sebelumnya.
e. Partisipasi
Masyarakat disini yang dimaksud adalah tingkah laku masyarakat yang tidak
memberikan kebiasaan kepada anak jalanan untuk senangtiasa memintaminta.
Selanjutnya
ketika kita berbicara tentang bagaimana implementasi suatu kebijakan dapat
berjalan efektif tentu dipengaruhi oleh bebrapa faktor. Di dalam teori Edward
III, mengungkap
kan 4 faktor utama dalam mempengaruhi suatu kebijakan public, yaitu : (1) Sumber daya manusia, (2) anggaran,
(3) disposisi, (4) struktur birokrasi.
Berdasarkan penjelasan tersebut maka kerangka
konseptual dari penelitian ini adalah:
Gambar 2.
Kerangka
Konseptual
PEMBINAAN ANAK JALANAN
|
Perda
No.2 Tahun 2008
|
·
Sumber
daya manusia
·
anggaran
·
disposisi
·
struktur
birokrasi
(Edward
III)
|
KEBIJAKAN
KOTA MAKASSAR
|
BAB III
METODE PENELITIAN
3.1. Lokasi Penelitian
Dalam memperoleh data
dan informasi
yang dapat
dipertanggungjawabkan, maka Penulis akan mengadakan penelitian di beberapa
instansi yaitu, Dinas Sosial Kota Makassar, Lembaga Perlindungan Anak di Kota
Makassar, dan Panti Sosial. Alasan dipilihnya tempat tersebut sebagai lokasi
penelitian adalah karena dari instansi tersebut penulis dapat mencari data dan
informasi yang relevan dengan judul penelitian
3.2. Jenis dan
Sumber Data
Dalam
penulisan tesis ini penulis menggunakan dua jenis sumber data, yaitu data
primer dan data sekunder.
3.2.1. Data Primer
Data yang
diperoleh dengan mengadakan wawancara kepada Dinas Sosial Kota Makassar,
Lembaga Perlindungan Anak di Kota Makassar, Panti Sosial yang banyak
berhubungan dengan Jalanan di Kota Makassar
3.2.2. Data Sekunder
Data yang
diperoleh dari penelitian kepustakaan berupa literature dan dokumen-dokumen,
buku, serta peraturan perundang-perundangan dan bahan tulis yang berkaitan erat
dengan objek yang akan dibahas.
3.3. Objek dan
Informan Penelitian
Objek
penelitian yang akan diteliti adalah Dinas Sosial Kota Makassar dan lembaga
perlindungan anak yang berada di Kota makassar. Pemilihan kedua objek ini atas
pertimbangan bahwa objek tersebut merupakan lembaga yang bertanggung jawab
dalam hal berhasil tidaknya pembinaan anak jalanan yang ada di Kota Makassar.
3.4.Teknik Pengumpulan Data
Dengan
menggunakan pendekatan kualitatif, penelitian diarahkan pada pengumpulan data
yang lebih banyak bergantung kepada peneliti sendiri sebagai pengumpul data.
Teknik pengumpulan data yang
digunakan pada penelitian ini meliputi:
3.4.1. Wawancara
Peneliti melakukan wawancara secara mendalam dengan informan
kunci untuk mendapatkan informasi yang dianggap penting yang berkaitan dengan
permasalahan yang diteliti baik dari sisi akitivitas (activity) maupun orang-orang (octors).
Pemberian pertanyaan kepada informan dilakukan secara terbuka dan fleksibel
dengan tidak menggunakan pedoman wawancara secara terstruktur dalam rangka
menyerap informasi mengenai persepsi, pola maupun pendapat-pendapat dari
informan tersebut.
3.4.2. Observasi
Proses pengamatan dilakukan secara langsung di lokasi
penelitian untuk melihat kenyataan dan fakta sosial di sehingga dapat
dicocokkan antara hasil wawancara atau informasi dari informan dengan fakta
yang ada lapangan baik daria aspek activity
maupun actors.
3.5.Teknik Analisis Data
Sesuai dengan permasalahan dan tujuan
penelitian, maka penelitian yang dilakukan menggunakan pendekatan penelitian
kualitatif, dengan menyajikan hasil temuan dan kesimpulan analisis dengan
menggunakan desain studi kasus. Setelah terkumpulnya data kemudian dilakukan
penyederhanaan data selanjutnya melakukan analisis data secara kualitatif.
Dalam melakukan analisis data
peneliti mengacu pada beberapa tahapan yang dijelaskan Miles dan Huberman
(1992) yang terdiri dari beberapa tahapan antara lain:
1. Reduksi
data ‘data reduction’ yaitu proses
pemilihan, pemusatan perhatian pada penyederhanaan, tranformasi data kasar yang
muncul dari catatan-catatan di lapangan selama meneliti tujuan diadakan
transkrip data (transformasi data) untuk memilih informasi mana yang dianggap
sesuai dengan masalah yang menjadi pusat penelitian dilapangan.
2. Uji Confirmability, Uji confirmability berarti menguji hasil penelitian. Bila hasil
penelitian merupakan fungsi dari proses penelitian yang dilakukan, maka
penelitian tersebut telah memenuhi standar confirmability-nya.
3. Pada tahap
akhir adalah penarikan kesimpulan atau verifikasi ‘conclution drawing/ verification’, yang mencari arti pola-pola
penjelasan, konfigurasi yang mungkin, alur sebab akibat dan proposisi.
penarikan kesimpulan dilakukan secara cermat dengan melakukan verifikasi berupa
tinjauan ulang pada catatan-catatan di lapangan sehingga data-data di uji
validitasnya.
DAFTAR PUSTAKA
Badan
Kesejahteraan Sosial Nasional (BKSN) 2000. Modul
Pelatihan Dan
Pimpinan Rumah Singgah. Jakarta : Direktorat Kesejahteraan
Anak,
Keluarga Anak Terlantar dan Lanjut Usia, Deputi Bidang Peningkatan
Kesejahteraan Sosial
Bagong
Suyanto dan Sri Sanituti Hariadi. 2002. Krisis
dan Child Abuse,
Surabaya:Airlangga
University Press
Barda Nawawi Arief. 1998. Beberapa Aspek Kebijakan Penegakan dan
Pengembangan Hukum Pidana. Bandung:Citra
Aditya Bakti.
Badan Pusat Statistik. 2017. Makassar dalam angka tahun 2017. BPS
Departemen Pendidikan dan Kebudayaan. 1991. Kamus Besar Bahasa Indonesia. Jakarta: Balai Pustaka.
Departemen Sosial RI. 2001. Intervensi Psikososial. Jakarta: Departemen Sosial. Hlm. 20
Hadi
Supeno. 2010. Kriminalisasi Anak Tawaran
Gagasan Radikal
Peradilan Anak Tanpa Pemidanaan.Jakarta: Gramedia Pustaka Utama
Irma
Setyowati Sumitro. 1990. Aspek Hukum
Perlindungan Anak. Jakarta:
Bumi
Aksara.
Kartini Kartono. 1992. Pathologi Sosial (2), Kenakalan Remaja, Jakarta: Rajawali
Pers.
Maidin Gultom. 2008. Perlindungan Hukum Terhadap Anak Dalam Sistem Peradilan Anak Di
Indonesia. Bandung: Refika Aditama
Marlina.
2012. Peradilan Pidana Anak di Indonesia
(Pengembangan
Konsep Diversi dan Restorative Justice). Bandung: Refika Aditama
Maulana
Hassan Wadong. 2000. Advokasi dan Hukum
perlindungan
Anak. Jakarta:
Grasindo
Romli Atmasasmita. 1983. Problem Kenakalan Anak-Anak Remaja.
Bandung: Armico
Satjipto
Rahardjo. 2012. Ilmu Hukum. Bandung: Citra Aditya Bakti
SoerjonoSoekanto.
1983. Faktor-Faktor Yang Mempengaruhi Penegakan Hukum. Jakarta: Raja Grafindo
Persada
Steven Allen, Kata Pengantar, dalam Purnianti, Mamik
Sri Supatmi, dan Ni Made Martini Tinduk. 2003. Analisa Situasi Sistem Peradilan Pidana Anak (Juvenile Justice System)
di Indonesia, UNICEF, Indonesia
Sudarsono.
1991. Kenakalan Remaja. Jakarta:
Rineka Cipta
PERATURAN PERUNDANG-UNDANGAN
Undang-Undang
Dasar Negara Republik Indonesia Tahun 1945
Undang-Undang
Nomor 23 tahun 2014 tentang Pemerintahan Daerah
Undang-Undang
Nomor 1 tahun 1974 tentang Perkawinan
Undang-Undang
Nomor 4 Tahun 1979 tentang Kesejahteraan Anak
Undang-Undang
Nomor 3 Tahun 1997 tentang Pengadilan Anak
Undang-Undang
Nomor 39 Tahun 1999 tentang hak Asasi Manusia
Undang-Undang
Nomor 23 Tahun 2002 tentang Perlindungan Anak
Undang-Undang
Nomor 13 Tahun 2003 tentang ketenagakerjaan
Tidak ada komentar:
Posting Komentar