BAB
I
PENDAHULUAN
A. Latar
Belakang Masalah
Negara
Indonesia merupakan Negara Kesatuan yang menganut asas desentralisasi.
Desentralisasi itu sendiri sebenarnya mengandung dua pengertian utama, yaitu
Desentralisasi merupakan pembentukan daerah otonom dan penyerahan wewenang
tertentu kepadanya oleh pemerintah pusat, Desentralisasi dapat pula berarti
penyerahan wewenang tertentu kepada daerah otonom yang telah dibentuk oleh
pemerintah pusat. Dalam penyelenggaraan pemerintahan, dengan memberikan
kesempatan dan keleluasaan kepada daerah untuk menyelenggarakan Otonomi Daerah
(Ateng Syaifudin, 2006:17). Karena itu Pasal 18 Undang-Undang Dasar 1945,
antara lain menyatakan bahwa pembagian daerah di Indonesia atas daerah besar
dan kecil, dengan bentuk dan sususnan pemerintahannya di tetapkan dengan
Undang-Undang. Perjalanan otonomi daerah di Indonesia diawali oleh tumbangnya
pemerintah orde baru yang sentralistis. Reformasi tata pemerintahan akhirnya
melahirkan model desentralisasi yang paling masif di dunia,
sistem
sentralisasi yang pernah di terapkan, di mana semua urusan negara menjadi
urusan pusat, pusat dalam hal ini pemerintahan yang dipusatkan pada pemerintah
pusat, pusat memegang semua kendali atas semua wilayah atau daerah di
Indonesia, dan daerah harus melaksanakan apa yang menjadi kebijakan pemerintah
pusat.
Dalam penjelasan tersebut, daerah dapat diartikan
bahwa daerah Indonesia dibagi dalam daerah provinsi, daerah provinsi dibagi
dengan daerah yang lebih kecil. Dengan penerapan sistem terpusat di segala
bidang kehidupan ternyata tidak dapat menciptakan kemakmuran rakyat yang merata
di seluruh daerah, karena jauhnya jangkauan dari pusat, sehingga kebanyakan
daerah yang jauh dari pemerintah pusat kurang mendapatkan perhatian, dan tujuan
membangun Good Governence belum dapat terwujud. Berakhirnya rezim
orde baru, berganti dengan era reformasi, mengubah cara pandang untk
mewujudkan Good Governence, salah satunya dengan adanya otonomi daerah,
karena Otonomi Daerah dapat mengembangkan hubungan antara pemerintah pusat dan
daerah. Selain itu penerapan Otonomi daerah sebagai wujud amanat daru
Undang-Undang Dasar 1945 Pasal 18 ayat 5 yang berbunyi “Pemerintah daerah
menjalankan Otonomi seluas-luasnya, kecuali urusan pemerintah yang oleh
Undang-Undang ditentukan sebagai urusan pemerintah pusat”.
Perlu juga diketahui, Indonesia bukan salah satu
negara yang berhasil dalam penerapan otonomi daerah guna membangun Good
Governance, beberapa indikator di antaranya adalah, beban APBN baik dari sisi
penerimaan maupun pengeluaran tidak cukup mampu untuk menggerakkan roda
perekonomian,
Dari uraian tersebut di atas, kami
tertarik untuk membuat suatu makalah dengan judu :”EFEKTIFITAS KEBIJAKAN
PEMERINTAH DAERAH BERDASARKAN UNDANG –
UNDANG NO. 23 TAHUN 2014”.
B. Perumusan
Masalah
1.
Apakah pelaksanaan UU No. 23 Tahun 2014
kaitannya dengan Pemerintahan Daerah sudah terlaksana dengan baik dalam
membangun pemerintahan ?
2.
Faktor-Faktor apa yang mempengaruhi
efektifitas kebijakan pemerintah mengenai otonomi daerah?
BAB
II
PEMBAHASAN
A. Pelaksanaan Kebijakan Pemerintah Daerah
Melalui Otonomi Daerah dalam Pembangunan Menurut UU Nomor 23 Tahun 2014
Kebijakan Publik menurut Dye,
sebagaimana dikutip oleh Joko Widodo, diartikan sebagai “whatever government
choose to do or not to do”. Kebijakan publik adalah apa pun yang pemerintah
pilih untuk melakukan atau tidak melakukan sesuatu. Pendapat senada
dikemukakaan oleh Edward III dan Sharkansky dalam Islamy (1984: 18), yang
mengemukakan bahwa kebijakan publik adalah “what government say and do, or not
to do. It is the goals or purpose of government program” , kebijakan
publik adalah apa yang pemerintah katakan dan dilakukan atau tidak dilakukan.
Kebijakan merupakan serangkaian tujuan dan sasaran dari program – program
pemerintah. Pengertian kebijakan ini menurut Kartasasmita (1997: 142).
( Joko Widodo,2007: 12 )
a.
Konsep Hukum dan Kebijakan Publik
Berbagai
definisi yang diberikan ini memiliki fokus yang sama yaitu pada nilai, tujuan,
dan sarana. Salah satu sarana yang banyak dipilih adalah peraturan
perundang-undangan, utamanya undang-undang yang dilegitimasi melalui pengesahan
oleh DPR sehingga mempunyai sifat mengikat bagi seluruh warga masyarakat. Oleh
karena itu, pada hakikatnya hukum pun mengandung nilai, konsep-konsep dan
tujuan yang mana proses perwujudan ide dan tujuan merupakan hakikat dari
penegakan hukum. Hukum tidak lagi hanya berfungsi sebagai alat kontrol sosial,
tetapi juga dipakai sebagai sarana untuk melakukan perubahan masyarakat
hingga digunakan sebagai sarana untuk mewujudkan tujuan-tujuan politik
(Esmi Warassih, 2005 : 133). Constitutions, statutes, administrative orders
and executive orders are indicators of policy dimana alokasi penetapan
tujuan merupakan output dari sistem politik yang dapat berupa alokasi
nilai otoritatif dinyatakan sebagai kebijakan publik, selanjutnya akan
diimplementasikan pada masyarakat, sehingga nampak bahwa hukum merupakan
b.
Indikator adanya kebijakan.
Kebijakan
publik dapat dilihat dari tiga lingkungan kebijakan, yaitu perumusan kebijakan,
pelaksanaan kebijakan, dan penilaian (evaluasi) kebijakan. Pada tahap penilaian
(evaluasi) apakah suatu kebijakan telah berlaku secara efektif atau belum, ada
unsur-unsur yang berperan di dalamnya. Suatu peraturan perundang- undangan akan
menjadi efektif apabila dalam pembuatan maupun implementasinya didukung oleh
sarana-sarana yang memadai. Unsur-unsur yang mana harus diperhatikan agar hukum
(dalam hal ini peraturan perundang -undangan) dapat digunakan secara efektif
sebagai suatu instrumen (kebijaksanaan publik ) dan batas – batas kemungkinan
penggunaan yang demikian itu adalah suatu langkah yang penting baik secara
teoritik maupun praktis, oleh karena perkembangan studi – studi kebijaksanaan
dalam peraturan perundang – undangan menyangkut permasalahan hukum dan perilaku
sosial. (Bambang Sunggono,1994: 154 – 155)
Evaluasi
kebijaksanaan publik (dalam praktiknya) banyak dilakukan untuk mengetahui
dampak dari kebijaksanaan publik. Dampak yang dimaksudkan disini adalah dampak
yang dikehendaki oleh suatu kebijaksanaan publik, artinya dampak tersebut
sesuai dengan tujuan – tujuan yang telah ditetapkan.
Anderson menguraikan sebagaimana dikutip oleh
Bambang Sunggono, bahwa dampak kebijaksanaan publik tersebut dalam beberapa
dimensi yaitu :
1. dampak
kebijaksanaan yang diharapkan dan atau yang tidak diharapkan, baik pada
problematikanya maupun pada masyarakat. Sasaran kebijaksanaan juga ditentukan
dengan jelas.
2. dampak
kebijaksanaan terhadap situasi atau (kelompok) orang yang bukan menjadi sasaran
utama dari suatu kebijaksanaan publik. Hal ini biasanya disebut
dengan externalities atau spillover effects. Dampak yang
demikian dapat positif maupun negatif.
3. dampak
kebijaksanaan – kebijaksanaan yang dapat terjadi atau berpengaruh pada kondisi
sekarang maupun yang akan datang.
4. dampak
kebijaksanan terhadap direct costs. Dalam kaitan ini menghitung
suatu economic costs dari suatu program kebijaksanaan publik relatif
mudah apabila dibandingakan dengan menghitung (timbulnya biaya – biaya lain
yang bersifat kualitatif (social costs)
5.
dampak kebijaksanaan
terhadap indirect costs yang biasanya mengena atau dialami oleh
angota – angota masyarakat.
Apabila dampak
kebijaksanaan yang diharapakan terjadi, maka timbul permasalahan, sampai di
mana ia dapat dianggap sebagai hasil dari implementasi suatu kebijaksanaan,
atau dengan perkataan lain, dari penggunaan sarana yang dipilih apakah sudah
tepat dan efektif. Efektifitas disini berarti/menyangkut tingkat kegunaan
sarana tertentu untuk mencapai suatu tujuan tertentu.
(Bambang Sunggono,1994:162)
Dalam pembahasan terkait dengan
keberadaan Undang-Undang Pemerintah Daerah Nomor 23 Tahun 2014, maka bentuk
kebijakan publik ini diartikan sebagai bentuk pengesahan formal penyelenggaraan
pemerintahan daerah dalam konteks Undang-Undang Nomor 23 Tahun 2014 tentang
Pemerintahan Daerah yang sebelumnya menggunakan Undang-Undang Nomor 22 Tahun
1999 tentang Pemerintah Daerah.
Perlu diketahui terlebih dahulu
makna dari otonomi daerah dalam bahasan ini, otonomi daerah menurut Pasal 1
angka 5 UU No. 32 Tahun 2004 yaitu “hak, wewenang dan kewajiban daerah otonomi
untuk mengatur dan mengurus sendiri urusan dan pemerintahan dan kepentingan
daerah setempatsesuai dengan peraturan perundang-undangan”, sedangkan yang
dimaksud dengan daerah otonom menurut Pasal 1 angka 6 UU No. 32 Tahun 2004
yaitu “adalah kesatuan daerah hukum yang mempunyai batasan wilayah yang
berwenang mengatur dan mengurus urusan pemerintahan dan kepentingan masyarakat
setempat menurut prakarsa sendiri berdasarkan aspirasi masyarakat dalam system
Negara Kesatuan Republik Indonesia”. Roh dari kebijakan otonomi daerah adalah
desentralisasi kewenangan, dan bicara mengenai desentralisasi merupakan salah
satu bentuk dari pemindahan tanggung jawab, wewenang dan sumber-sumber daya
(dana, personil, dll) dari pemerintah pusat ke level pemerintahan daerah.
Dasar dari pemikiran yang demikian,
tidak lain bahwa dengan desentralisasi dapat memindahkan proses pengambilan
keputusan ke tingkat pemerintahan yang lebih dekat dengan masyarakat. Karena
merekalah yang akan merasakan langsung pengaruh program pelayanan yang
dirancang, dan kemudian dilaksanakan oleh pemerintah Membicarakan otonomi
daerah tidak bisa terlepas dari masalah pembagian kekuasaan secara vertikal
sesuatu negara. Dalam sistem ini, kekuasaan negara akan terbagi antara
‘pemerintah pusat’ disatu pihak, dan ‘pemerintah daerah’ di lain pihak. Sistem
pembagian kekuasaan dalam rangka penyerahan kewenangan otonomi daerah, antara
negara yang satu dengan negara yang lain, tidak akan sama, termasuk Indonesia
yang kebetulan menganut sistem Negara Kesatuan. Kewenangan otonomi daerah di
dalam Negara Kesatuan, tidak dapat diartikan adanya kebebasan penuh dari daerah
untuk menjalankan hak dan fungsi otonominya menurut kehendaknya tanpa
mempertimbangkan kepentingan nasional secara keseluruhan, walaupun tidak
tertutup kemungkinan untuk memberikan otonomi yang luas kepada daerah.
Di kaitkan dari penjelasan di atas,
dengan adanya UU No. 32 tahun 2004 ini maka daerah berwenang mengatur dan
mengurus sendiri urusan pemerintahan menurut asas otonomi dan tugas pembantuan,
hal ini diarahkan untuk mempercepat terwujudnya kesejahteraan masyarakat
melalui peningkatan, pelayanan, pemberdayaan, dan peran serta masyarakat, serta
peningkatan daya saing daerah dengan memperhatikan prinsip demokrasi,
pemerataan, keadilan, keistimewaan dan kekhususan suatu daerah dalam sistem
Negara Kesatuan Republik Indonesia.
Kebijakan publik dalam pelaksanaan
otonomi daerah terwakili dengan lahirnya perda sebagai dasar hukum tindakan
pemerintah daerah untuk melaksanakan tindakan-tindakan yang diperlukan dalam
melaksanakan wewenangnya. Namun demikian pada beberapa daerah masih ditemui
perda-perda yang dinilai bermasalah, terutama yang berkaitan dengan retribusi
dan pajak yang tidak masuk akal dan menjadi peluang terjadinya pungutan lair
yang dilakukan daerah demi meningkatkan pendapatan daerah. Asas otonomi daerah
memang memberikan kewenangan pada daerah untuk mengelola dengan kebebasan yang
luas namun masih dalam ikatan negara kesatuan yaitu Republik Indonesia. Hal ini
pula yang menjadi alasan bahwa pusat masih memiliki kewenangan yang masih tetap
harus dipertahankan dalam rangka melakukan pengawasan terhadap pelaksanaan otonomi
daerah. Pengawasan pemerintah pusat terhadap pemerintah daerah, terutama
berkaitan dengan peraturan daerah, telah diatur dalam Undang-Undang Nomor 32
Tahun 2004 Pasal 145 ayat (2). Pasal tersebut mengatur kewenangan pemerintah
pusat untuk membatalkan peraturan daerah yang bertentangan dengan
kepentingan umum dan/ atau bertentangan dengan peraturan perundang-undangan
yang lebih tinggi, dalam bentuk Peraturan Presiden, meskipun peraturan tersebut
telah disahkan dan diumumkan dalam lembaran daerah.
Kewenangan pengawasan ini merupakan
bentuk tidak lepasnya hirarki pemerintahan vertical sekaligus mematahkan
pendapat bahwa dalam otonomi daerah, pusat tidak boleh lagi mencampuri urusan
pemerintah daerah. Pengawasan pusat pada daerah terutama perda merupakan pembenaran
kewenangan ini dengan melihat masih terdapat peraturan daerah yang digunakan
sebagai peluang terjadinya penyalahgunaan wewenang dalam melaksanakan otonomi
daerah.
Walaupun pelaksanaan otonomi daerah kelihatannya
sederhana namun mengandung pengertian yang cukup rumit, karena didalamnya
tersimpul makna pendemokrasian dalam arti pendewasaan politik rakyat daerah,
pemberdayaan masyarakat, dan sekaligus bermakna mensejahterakan rakyat yang
berkeadilan. Sebab, bagaimanapun juga tuntutan pemerataan, tuntutan keadilan
yang sering dilancarkan, baik menyangkut bidang ekonomi maupun politik pada
akhirnya akan menjadi ‘relatif’ dan ‘dilematis’ apabila tergantung kepada tinjauan
perspektif yang berbeda Selain itu juga terdapat kekhawatiran apabila terdapat
penekanan yang mendahulukan kepentingan lokal akan melahirkan pemerintah yang
bercorak desentralistik, sedangkan yang lebih mengutamakan stabilitas nasional,
keutuhan bangsa dan kepentingan secara keseluruhan akan menimbulkan
pemerintahan yang sentralistik.
Pembangunan otonomi daerah yang
dilaksanakan sesuai dengan amanat Undang-Undang Dasar 1945 diartikan untuk
lebih mengembangkan dan memacu pembangunan daerah, untuk memperluas peran serta
masyarakat, serta lebih meningkatkan pemerataan pembangunan dan hasil-hasilnya
dengan memperhatikan kemungkinan pengembangan dan pemanfaatan potensi daerah
dan diharapkan saling mendukung dengan kemampuan nasional. Sedangkan
pelaksanaan otonomi daerah ditujukan pada perwujudan otonomi daerah yang nyata,
dinamis dan bertanggungjawab. Tujuan Pembangunan Daerah itu sendiri adalah
untuk meningkatkan taraf hidup dan kesejahteraan rakyat di daerah melalui
pembangunan yang serasi dan terpadu baik di desa dan di kota maupun antara
Sektor pembangunan, dengan perencanaan pembangunan daerah yang efisien dan
efektif menuju tercapainya kemandirian daerah dan kemajuan yang merata di
pelosok tanah air.
Di dalam melaksanakan pembangunan
di daerah, berbagai urusan, mekanisme kerja, dana dan peralatan adalah sebagai
kesatuan yang utuh dalam pelaksanaan pembangunan. Dimana dalam proses
perjalanannya, hal tersebut ditempuh melalui 3 azas penyelenggaraan pembangunan
yang sekaligus merupakan mekanisme pembangunan di daerah dan di dalam
implementasinya mempunyai ciri dan sifat yang berbeda. Ketiga azas tersebut
adalah azas Desentralisasi (Pembangunan Regional) yaitu “penyerahan wewenang
pemerintah oleh pemerintah lepada daerah otonomi untuk mengatur dan mengurus
urusan pemerintahan dengan system Negara Kesatuan Republik Indonesia”,
Dekonsentrasi (Pembangunan Sektoral) yaitu “pelimpahan wewenang pemerintahan
oleh pemerintah kepeda Gubernur sebagai wakil pemerintah dan/atau kepada
instansi vertical di wilayah tertentu” dan Medebeivied (Program
Bantuan Pembangunan) atau yang sering disebut dengan tugas pembantuan yaitu
“penugasan dari pemerintah kepada daerah dan/atau desa dari dari pemerintah
provinsi kepada kabupaten/kota kepada desa untuk melaksanakan tugas tertentu”.
Oleh karena itu, peranan pemerintah daerah dalam melaksanakan pembangunan di
daerah sebagai tugas dan tanggung-jawabnya adalah besar. Tugas serta
tanggung-jawabnya menjadi lebih berat karena peran dan fungsi gandanya, yaitu
selain pemerintah daerah bertanggung-jawab menyelenggarakan urusan daerah
melalui Kepala Daerah juga bertanggung-jawab urusan wilayah melalui Kepala
Wilayah. Sedangkan hakekat pelaksanaan otonomi daerah adalah meliputi 3 unsur
yaitu wewenang, organisasi, dan kemampuan.
Untuk dapat
mengetaghui efektivitas pembangunan daerah menurut UU Nomor 23 Tahun 2014 diperlukan
beberapa indikator, antara lain
a.
Angka Kemiskinan
Sudah
menjadi rahasia umum bahwa Indonesia menupakan salah satu dari negara yang
memiliki banyak pendududuk miskin atau angka kemiskinan yang tinggi, terbukti
dengan meningkatnya jumlah gelandangan, jumlah pengemis dan banyaknya orang
yang tidak mempunyai tempat tinggal yang layak. Dengan adanya Otda yang
bertujuan untuk lebih meningkatkan kesejahteraan masyarakat, karena pemerintah
daerah lebih dapat langsung menyentuh warganya, jika dibandingkan dengan
pemerintah pusat, ternyata belum dapat sepenuhnya mewujudkan kesejahteraan
masyarakat dan menghapuskan kemiskinan yang menjadi permasalahan klasik.
b.
Peningkatan Kualitas SDM
Untuk dapat memajukan sutu negara
dibutuhkan orang-orang yang mempunyai kompetensi, dalam artian dibutuhkan SDM
yang baik
c.
Pemenuhan hak-hak dasar, seperti
Pendidikan dan Kesehatan dll, yang juga terkait dengan
Peningkatan/Pengembangan Kualitas SDM
Banyak
sekali hak-hak masyarakat yang belum dapat dipenuhi oleh pemerintah dalam hal
pelaksanaan Otonomi Daerah, pemerintah daerah sebagai tangan kanan pemerintah
pusat juga belum dapat mmemberikan hak-hak masyarakat. Dapat diketahui bersama
bahwa banyak sekali anak-anak yang putus sekolah bahkan sama sekali tidak dapat
bersekolah karena mahalnya biaya pendidikan, meskipun ada satu, dua daearh yang
telah mencanangkan sekolah secara gratis. Setali tiga uang dengan pemenuan
pendidikan, pemenuan atas pelayanan kesehatan juga belum dapat terwujud, masih
banyak masyarakat yang mendapatkan diskriminasi atas pelayanan kesehatan,
terbukti dengan masyarakat yang kurang mampu, kurang mendapatkan pelayanan yang
baik dibandingkan dengan masyarakat yang mampu secara ekonomi. Selain itu
kurangnya kegiatan peningkatan sumber daya manusia menyebabkan adanya perbedaan
yang mencolok antara kualitas masyarakat di pusat dan daerah.
d.
Lapangan Kerja dan Angka Pengangguran
Angka
penganguran yang cukup tinggi menjadi masalah yang sangat serius, dan belum
terdapat jalan keluara atas masalah ini. Tidak dapat dielakkan lagi jumlah
penduduk yang semakin meningkat tidak di imbangi dengan jumlah laoangan kerja
yang tersedia menyebabakan angka penganguran yang tinggi, bahaka lulusan
sarjanapun sulit mendapatkan pekerjaan. Salah satu tujuan yang hendak di capai
dalam Otonomi daerah dengan usaha pemerintah daerah membuka lapangan pekerjaan
di daerah dan memanfaatkan masyarakatnya guna diserap sebagai tenaga kerja,
sehingga dapat mengurangi angka pengguran nasional, ternyata belum dapat
terlaksana dengan baik esuai harapan.
e.
Pengembangan Infrastruktur, minimal
seperti Jalan, Penerangan dan Air Bersih
Pengembangan infrastruktur berupa
jalan memang sudah lumayan bagus, kini masyarakat pedesaan dimudahkan dalam hal
trnsportasi. Namun pembangunan tersebut terkadang tidak disertai dengan upaya
perawatan. Dalam hal penerangan, pemerintah telah membuat program listrik masuk
desa, yang hingga kini sudah bisa dirasakan manfaatnya. Namun hal tersebut
ternyata belum merata, karena pernah ditayangkan di televisi, suatu daerah
kreatif membuat pembangkit tenaga listrik menggunakan tenaga air terjun
lantaran jaringan listrik tak menyentuh wilayahnya. Nasib air bersih pun hanya
sebatas janji, hal ini terlihat setiap musim kemarau tiba, masyarakat terutama
didaerah terpencil harus ”berjibaku” berjalan berkilo – kilo guna mendapatkan
air bersih.
f. Pertumbuhan dan Pemberdayaan Ekonomi, terkait dengan Peluang Investasi,
Lapangan Kerja dan Angka Pengangguran.
Dalam hal pemberdayaan ekonomi terkait dengan
peluang investasi, lapangan kerja dan angka pengangguran, nampaknya masih
menjadi ”PR” pemerintah, bagaimana tidak, pertumbuhan ekonomi yang kian sulit
juga berdampak bagi pemerintahan di daerah, upaya penciptaan lapangan kerja
juga masih belum terealisasi akibatnya jumlah pengangguran kian bertambah.
g. Kualitas Pengelolaan Pemerintahan dilihat dari Prinsi-prinsip Good
Governance
Kewenangan penyelenggaraan pemerintahan daerah yang
luas dekat dengan pentingnya kebijakan dalam membuat keputusan, hal-hal apa
saja yang perlu diatur secara khusus dalam sebuah Perda, dengan berpedoman pada
asas umum penyelenggaraan Negara yang baik, Asas- asas pemerintahan yang baik
dalam UU Nomor 23 Tahun 2014 tentang Pemerintah Daerah meliputi :
1. Asas kepastian
hukum
Asas kepastian hukum di sini dapat di artikan bahwa
asas dalam negara hukum yang mengutamakan landasan peraturan
perundang-undangan, kepatutan, dan keadilan dalam setiap kebijakan
penyelenggaraan.
2. Asas tertib
penyelenggara negara
Yaitu asas yang menjadi landasan keteraturan,
keserasian, dan keseimbangan dalam pengendalian penyelenggaraan negara.
3. Asas kepentingan
umum
Yaitu asas mendahulukan kesejahteraan umum dengan
cara yang aspiratif, akomodatif dan selektif.
4. Asas keterbukaan
Asas yang membuka diri terhadap hak masyarakat untuk
memperoleh informasiyang benar, jujur, dan tidak diskriminatif tentang
penyelenggaraan negara dengan tetap memperhatikan perlindungan atas asas
pribai, golongan, dan rahasia negara.
5. Asas
proporsionalitas
Yaitu asas yang mengutamakan anatara hak dan
kewajiban penyelenggara negara
6. Asas
profesionalitas
Yaitu asas yang mengutamakan keahlianyang
berlandaskan kode etik dan ketentuan peraturan perundang-undangan yang berlaku.
7. Asas akuntabilitas
Asas yang menentukan bahwa setiap kegiatan dan hasil
akhir dari kegiatan penyelenggaraan negara harus dapat di pertanggungjawabkan
kepada masyarakat atau rakyat sebagai pemegang kedaulatan tertinggi negara
sesuai dengan ketentuan peraturan perundang-undangan yang berlaku.
8. Asas efisiensi, dan
Asas efektivitas.
Asas-asas di
atas mempunyai keterkaitan dengan efektifitas pelaksanaan UU Nomor 23 Tahun
2014
Dalam
pelaksanaannya dari tahun 1999 hingga saat ini sistem otonomi daerah belum bisa
sepenuhnya dapat menciptakan Good Governence, masih banyak hal-hal yang
belum dapat terpenuhi. Pelaksanaan asas Good Governance tidak
berhasil diterapkan pada daerah yang kini berstatus otonomi, yang diartikan
mandiri, karena ketidakpahaman bahwa governance merupakan prinsip pengelolaan
atau cara untuk memanage layaknya perusahaan (good corporate governance) yang
kemudian diterapkan pada daerah. Konsep pemikiran dari manajemen daerah adalah
mengoptimalkan sumber daya yang tersedia, bukan yang mungkin tersedia. Sehingga
dalam mengelola daerah tidak melakukan rancangan “angan-angan”, tetapi
bagaimana mengelola potensi-potensi daerah yang selama ini terabaikan untuk
kemudian menjadi andalan daerah. Beberapa kegiatan yang diselenggarakan untuk
menmperkenalkan potensi daerah, misalnya kegiatan yang diselenggarakan oleh
Asosiasi Pemerintah Kota Seluruh Indonesia (APEKSI) yang diadakan di Kota Solo
beberapa waktu lalu adalah salah satu upaya untuk memunculkan potensi,
memasarkan dan kemudian berdampak pada peningkatan perekonomian masyarakat,
seperti batik yang menjadi andalan Kota Solo terfokus pada daerah Laweyan dan
Kauman.
Indikator-indikator
diatas yang menjadi penilai keberhasilan atau bahkan kegagalan daerah dalam
mengelola daerah dalam lingkup kewenangan otonomi. Contoh good corporate
governance yang ditunjukkan Pemerintah Kabupaten Jembrana dengan kebijakan
pendidikan dan kesehatan gratisnya masih bisa dibilang merupakan contoh langka
dalam kisah sukses penerapan kebijakan otonomi daerah (otda) di Indonesia.
Kebijakan otonomi daerah, terlepas dari euforia dan optimisme yang
ditampilkannya, ternyata masih membutuhkan banyak revisi. Pemerintah pusat yang
seharusnya menjadi anutan dalam pembuatan dan penerapan kebijakan yang berpihak
kepada publik, malah cenderung mengutamakan kebijakan yang lebih peduli pada
masalah penurunan defisit anggaran dan kesehatan fiskal daripada memenuhi
kebutuhan dasar rakyat. Hak-hak dasar rakyat seperti pangan, pendidikan, dan
kesehatan masih menjadi prioritas kesekian di bawah kebijakan ekonomi.
Kebijakan ekonomi dan politik bukannya tidak penting dalam pelaksanaan
kebijakan publik secara keseluruhan, namun mengabaikan kebijakan-kebijakan
publik yang peka dan tanggap akan kebutuhan sosial rakyat, terutama yang
menyangkut hak-hak dasar rakyat adalah kesalahan dasar bagi terciptanya sumber
daya manusia.
Di
tengah maraknya pilkada dan euforia partai politik, serta masyarakat di daerah
yang melakukan pilkada, kebijakan politik juga masih melalaikan masalah
pemenuhan hak-hak dasar rakyat. Otonomi daerah tidak serta-merta mampu memenuhi
target, jika tidak menjamin, hubungan pemerintah, rakyat, dan pasar yang lebih
baik. Otonomi daerah seharusnya menjamin mudahnya akses informasi dan pelayanan
sosial untuk masyarakat; kesadaran dan partisipasi politik masyarakat yang
lebih baik serta kemajuan pembangunan daerah dan kesejahteraan rakyat. Tetapi
otonomi daerah malah menjadi ajang untuk memperkaya diri dan perpanjangan korupsi
oleh para elite politik di daerah. Yang terjadi adalah otonomi daerah malah
mendorong eksploitasi negatif terhadap daerah-daerah yang ada dan tidak
memberdayakan masyarakat sekitar maupun membangun daerah secara optimal dan
efektif seperti yang diharapkan dari penerapan otonomi daerah itu sendiri.
Selain dari indikator tersebut di
atas terdapat pula penerapan Otonomi daerah yang tidak tepat (resentralistik)
antara lain (Sutiyoso: 2008: 8) :
1. Secara
Khusus Undang-Undang No.23 Tahun 2014 telah berjalan. Khususnya dalam
sektor pelayanan publik dan pengembangan daerah.
2. Tetapi
belum memberikan dampak secara ekonomi kepada masyarakat apalagi memberikan
peluang peningkatan lapangan pekerjaa, seperti yang telah penulis singgung di
atas.
3. Terjadi
eforia dalam melakukan pemekaran wilayah (pada saat ini telah terjadi pemekaran
150 daerah Propinsi dan kabupaten/kota) yang berdampak semakin tingginya biaya
operasional dalam bentuk Dana Alokasi Umum (DAU) dan Dana Alokasi Khusus (DAK),
yang sebenarnya dapat dialokasikan untuk pemenuhan kesejahteraan masyarakat.
Alih fungsi lahan yang terjadi di Indonesia kerap kali di akibatkan kebijakan
pemerintah seperti dalam pemekaran wilayah, baik pemekaran Provinsi ataupun
Kabupaten/Kota. Hutan lindung yang seharusnya tidak boleh berubah fungsi kerap
kali terancam akibat pemekaran wilayah. Di Pulau Bintan, wilayah hutan lindung
justru masuk sebagai daerah yang akan di jadikan ibu kota. Koordinasi antar
pihak terkait seakan tidak berjalan baik, sehingga wilayah hutan lindung dapat
ditetapkan sebagai daerah pemukiman. Pihak-pihak terkait dengan sosial
masyarakat dan kehutanan harus segera memperbaiki koordinasi yang berjalan atau
bahkan meninjau ulang kebijakan penetapan alih fungsi hutan lindung. Alih
fungsi lahan semestinya harus mempunyai dampak positif bagi kehidupan manusia.
Baik dari sisi kelangsungan hidup sebagai mahluk hidup maupun untuk
meningkatkan kesejahteraan. Alih fungsi hutan lindung menjadi hutan produksi di
harapkan dapat menjadi salah satu faktor pendukung meningkatnya kesejahteraan
masyarakat yang memanfaatkan hal tersebut.
4. Terjadi
kerancuan dalam administrasi dan sistem anggaran (misal keterlambatan dalam
menyusun APBD Propinsi karena harus mendapatkan persetujuan Depdagri dan
persetujuan RAPBD oleh pusat meskipun telahh mendapatkan persetujuan oleh
DPRD). Yang kemudian berdampak RAPBD tidak sesuai dengan kebutuhan dan kondisi
daerah, atau bahkan daerah-daerah tersebut minim nilai APBDnya. Tentu tidak
dapat dibayangkan bagaimana roda pembangunan dapat berjalan dengan kondisi
seperti ini, belum lagi terdapat rasa ketakutan pada diri eksekutif oleh oknum
aparat (KPK, Polisi, dll)
5. Terjadinya
Three in One dalam menjalankan pemerintahan , yaitu Regulator, Kontrol, dan
Operator dalam satu pelaksana
6. Terjadinya
tumpang tindih antara sektor sehingga menghambat semangat Otonomi Daerah yang
desentralisasi dan cenderung kembali kepada semangat sentralistik. Hal ini
dicontohkan dalam pengambil alihan kewenangan dalam bidang kehutanan,
transportasi dan organisasi BPN.
B.
Faktor
– Faktor yang Mempengaruhi Efektivitas Kebijakan Pemerintah Dalam Otonomi
Daerah
Setiap
tahapan proses kebijakan terdapat pertanyaan kunci yang perlu di jawab untuk
analisis proses kebijakan publik, dalam tahap evaluasi juga terdapat beberapa
pertanyaan yang perlu di jawab antara lain:
1. Bagaimana
efektivitas atau dampak suatu kebijakan diukur?
Dampak
dari suatu kebijakan pemerintah dalam hal ini pelaksanaan UU No. 23 Tahun 2014
tentang Pemerintah Derah dapat di ukur dengan beberapa indikator, diantaranya,
Angka Kemiskinan, Peningkatan Kualitas SDM, Pemenuhan hak-hak dasar, seperti
Pendidikan dan Kesehatan dll, yang juga terkait dengan Peningkatan/Pengembangan
Kualitas SDM, Lapangan Kerja dan Angka Pengangguran, Pengembangan
Infrastruktur, minimal seperti Jalan, Penerangan dan Air Bersih, Pertumbuhan
dan Pemberdayaan Ekonomi, terkait dengan Peluang Investasi, Lapangan, Kerja dan
Angka Pengangguran, Kualitas Pengelolaan Pemerintahan dilihat dari
Prinsi-prinsip Good Governance dan Clean Government. Yang terjadi sampai saat
ini dengan penerapan otonomi daerah, belum semua daerah merasakan dampak yang
positif, bahkan beberapa daerah justru tidak dapat bersaing dan
ketinggalan, seperti daerah-daerah dipelosok negeri ini.
2. Siapa
yang melakukan kebijakan?
Yang
melaksanakan kebijakan UU No. 23 Tahun 2014, tentunya pemerintah pusat sebagai
pihak yang mengelurkan kebijakan yang kemudian sebain kewenangan pemerintah
pusat diserahkan kepada pemerintah daerah, dalam hal ini pemerintah daerah
lebih berperan besar dalam pelaksanaan otonomi daerah. Meskipun masih terdapat
beberapa urusan yang masih di pegang oleh pemerintah pusat, seperti urusan
politik luar negeri, pertahanan, keamanan, yustisi, moneter dan fiscal
nasional, dan agama.
3.
Apa konsekuensi yang di timbulkan oleh
evaluasi kebijakan?
Konsekuensi yang nantinya ditimbulkan dari kebijakan
ini, bahwa apabila kebijakan UU No. 23 Taun 2014 dalam hal pelaksanaan otonomi
daerah ini belum dapat terlaksana dengan baik, dapat memberikan masukan yang
membangun guna terlaksananya Otonomi daerah kedepan yang lebih baik.
4.
Apa ada tuntutan (demands) untuk
mengubah atau mencabut kebijakan?
Setiap kebijakan yang dikeluarkan
pasti ada pro dan kontra, membuat kebijakan perlu pertimbangn yang sangat
matang, dan pastinya memperhatikan segala aspek kehidupan, sehingga apabila
pelaksanaannya belum dapat terwujud dengan baik memungkinkan untuk dilakukannya
pengubhan suatu kebijkan tersebut.
Secara
garis besar ada beberapa faktor yang mempengaruhi keefektifan suatu kebijakan
yang dikeluarkan oleh penyelenggara negara:
1.
Faktor politis
Pembentukan
hukum oleh lembaga yang berwenang, yang dibentuk oleh karir politik, melahirkan
suatu kewajaran bahwa hukum yang dibentuk tidak sesuai dengan paradigma yang
ada. Tidak dapat dipungkiri bahwa setiap kebijakan yang dikeluarkan termasuk
dengan Undang-Undang No.23 tahun 2014 tidak lepas dari faktor
politis, setiap kepentingan ikut berpengaruh didalamnya, begitupula dalam
pelaksanaannya, sehingga berpengaruh pada evaluasi terhadap kebijakan yang
dikeluarkan. Salah satu permasalahan dalam otonomi daerah adalah hubungan
keuangan, sejauh mana konsensus nasional dapat dicapai sebagai political
will, yang akan menjadi landasan politis srategis buat menata hubungan keuangan
antara Pusat dan Daerah secara nasional melalui Undang-Undang, kemudian disusul
dengan petunjuk pelaksanaan (juklak) yang diatur melalui Peraturan Pemerintahan
(PP).
2.
Faktor Yuridis
Faktor yuridis sebagai dasar dalam
pelasanaan kebijakan, dalam rangka pelaksanaan otonomi daerah diperlukan adanya
sebuah Perda sebagai dasar hukum dilaksanakannya sebuah kebijakan di suatu
daerah. Namun demikian dalam rumusan UU No. 32 Tahun 2004 tentang Pemerintahan
Daerah, UU No. 34 Tahun 2000 maupun sejumlah peraturan Menteri, memang tidak
diketemukan ketentuan yang mengatur sanksi apabila Pemda tidak menyampaikan
rancangan Perda tentang pajak dan retribusi kepada pemerintah. Akibatnya, Pemda
”ogah-ogahan” dan terkesan ”membangkang”. Ini menunjukkan bahwa pemerintah daerah
masih belum mampu memaknai secara komprehensif dan holistik mengenai
hak, wewenang serta kewajiban sebagai bagian dari pemerintah pusat dalam
penyelenggaraan pemerintahan. Meskipun disadari, untuk mencari formulasi sanksi
yang tepat tidaklah mudah, karena tidak mungkin memberikan sanksi yang bersifat
politis. Kalaupun dimungkinkan hanya sanksi administratif yang dapat diberikan
kepada Pemda. Bentuknya dapat berupa penataan kembali suatu daerah otonom,
evaluasi terhadap bantuan pusat kepada daerah, atau penangguhan DAU.
Berkaitan dengan pengawasan terhadap penyelenggaraan
pemerintahan daerah khususnya pembentukan Perda oleh pemerintah daerah
propinsi, kabupaten/kota, selama ini dikenal adanya pengawasan preventif dan represif.
Pengawasan preventif berlangsung
dimana pengawasan yang dilakukan sebelum keputusan atau peraturan efektif
berlaku. Pengawasan ini dikhususkan terhadap rancangan Perda yang mengatur
pajak dan retribusi daerah, APBD, dan tata ruang daerah sebelum disahkan oleh
kepala daerah terlebih dahulu dievaluasi oleh Mendagri. Begitupun terhadap
hierarki pemerintahan di bawahnya, gubernur mengevaluasi Perda Kabupaten dan
Kota. Sedangkan pengawasan represif dilakukan setelah Perda
ditetapkan dan diberlakukan.
Akan
tetapi dalam praktik selama ini, kedua pengawasan tersebut tidaklah berjalan
secara efektif. Salah satunya karena di lapangan masih ditemukan kendala
teknis. Misalkan, belum memadainya sistem technology
informations (IT) di Pemda khususnya daerah kabupaten, kondisi giografis
dan transportasi, keterbatasan sumber daya manusia di Depdagri dan Depkeu yang
bertugas melakukan pengawasan langsung. Disamping itu, banyaknya Perda
yang harus dievaluasi dari sekitar 363 kabupaten, 93 kota, dan 33 propinsi yang
ada di Indonesia.
3.
Faktor sosiologis
Untuk
mengetahui apakah suatu undang – undang berlaku efektif atau tidak, sebenarnya
dapat dilihat dari masyarakatnya. Karena sebenarnya obyek utama suatu kebijakan
adalah masyarakat. Dalam pelaksanaan otonomi daerah, masyarakat di daerah
memiliki pemahaman yang sedikit “meleneceng” dari jalur. Mereka mengartikan
otonomi sebagai suatu kebebasan yang sebebas- bebasnya, hingga misalnya, mereka
beranggapan bebas mengeksploitasi hasil alam, dengan dalih pendapatan daerah.
Contoh lain adalah adanya penolakan kebijakan pemerintah pusat, sehingga seolah
– olah masyarakat didaerah ingin lepas dari pemerintah pusat.
Pelaksana kebijakan sangat bergantung pada jenis
kebijakan apa yang akan dilaksanakan, namun setidaknya dapat diidentifikasikan
sebagai berikut :
i.
Dinas, badan, kantor, unit pelaksana teknis
di lingkungan pemerintah daerah.
ii. Sektor
swasta (private sektor) sadar sepenuhnya bahwa Pemerintahan tidak mampu
sendirian untuk membiayai pembangunan nasional perekonomian misalnya, dan oleh
karenanya tak dapat tidak harus dirangkul potensi sektor swasta (private
sectors) untuk mendukung beban ini, (domestic and foreign) setidak-tidaknya
melalui penanaman modal dan pengembangan usaha di sektor pertanian dan
perindustrian, lalu kemudian mengekspor barang jadi dan setengah jadi ke luar,
peroleh devisa, lalu menggunakan via APBN dan APBD untuk membiayai
proyek-proyek pembangunan.
iii. Lembaga
swadaya masyarakat (SDM)
iv. Komponen
masyarakat, penetapan pelaku kebijakan bukan sekadar menetapkan lembaga mana
yang melaksanakan dan siapa saja yang melaksanakan, tetapi juga menetapkan
tugas pokok, fungsi, kewenangan, dan tanggungjawab dari masing-masing pelaku
kebijakan. Instrumen untuk mewujudkan hal tersebut, tentunya harus dibuat
payung hukum dalam bentuk Perda. Secara teori, menggali potensi daerah dengan
melakukan pungutan pajak.dan retribusi adalah sesuatu yang jauh lebih
mudah jika dibandingkan upaya terobosan lain dalam mencari alternatif
meningkatkan PAD. Apalagi Pemda dan DPRD dapat dengan mudah
meng-copypaste Perda daerah lain yang lebih dahulu mengatur pajak,
retribusi, dan pungutan. Biasanya meng-copypaste itu dilakukan pada saat
anggota DPRD dan Pemda melakukan studi banding ke daerah lain.
v. Dalam
masa transisi peraturan dari UU No. 5 tahun 1974 kepada UU No. 22 1999
juncto PP. No. 108 tahun 2000 mengenai Tata cara penyampaian pertanggung
jawaban KDH kepada DPRD, terlihat ketidak-siapan, dalam arti kedua pihak belum
sepenuhnya memahami isi dan makna UU yang baru itu dibandingkan dengan isi dan
makna UU yang lama.
Dalam pelaksanaan Pembangunan daerah rentan terjadi
hal-hal :
1. Terjadi
semacam rebutan kedudukan antar kaum politisi dari Parpol dan kalangan aparat
birokrat yang telah meniti karir dengan jenjang pendidikan dan dengan jam
terbang pengalaman yang cukup lama untuk menduduki posisi-posisi eksekutif.
Bahkan disana sini terjadi “money politics” padahal menurut teriakan dan pekik
reformasi semula, KKN harus dikikis habis, khususnya “suap menyuap” dalam hal
pencalonan Kepala Daerah dan Wakilnya. Sampai saat ini masih ada kasus money
politics ini, yang belum tuntas pemerosesannya secara yuridis.
2. Terdapat
ketidak -pastian mengenai perlu tidaknya penyusunan Program Pembangunan Daerah
(Propeda) Kabupaten, disusun dengan cara menyesuaikan dengan Propeda Propinsi
(termasuk Rencana Strategisnya), dan sebaliknya apakah pemerintah Propinsi
masih punya kewenangan memberikan semacam arahan strategis kepada Kabupaten dan
Kota. Kalaupun tidak mengakui perlunya sub-ordinasi, apakah tidak perlu lagi
koordinasi, sebagai salah satu fungsi manajemen.
3. Tidak
semua pihak legislatif maupun eksekutif didaerah Kabupaten dan Daerah Kota itu
dinilai “siap” dalam arti menguasai pemahaman untuk menerapkan UU itu, dengan
persepsi yang sama.
4. Terjadi
sikap yang sedemikian Ekstrim, sehingga Daerah-daerah Kabupaten dan Kota
menganggap tidak ada hubungan administratif dan fungsional sama sekali dengan
Propinsi, dan beberapa KDH telah langsung berhubungan dengan Pemerintah pusat
tanpa “sekedar pemberitahuan atau beri kabar pun” kepada Gubernur KDH Propinsi.
5. Timbul
kecenderungan Kabupaten untuk mengeruk sebanyak mungkin sumber PAD seakan-akan
kepentingan kesejahteraan masyarakat dinomor duakan, dan belum tentu terjamin
bahwa pungutan-pungutan itu akan membalik (feed back, melting process) sebagai
biaya penanggulangan kepentingan kesejahteraan rakyat (public service)
6. Terlihat
adanya kecenderungan pengkavlingan wilayah kekuasaan diantara
Kabupaten-kabupaten dengan semangat otonomi yang meluap-luap dan menganggap
tidak harus adanya lagi campur tangan Pusat terhadap kasusnya meskipun mengaku
bahwa negara ini (masih) negara kesatuan. Apakah merasa tidak perlu adanya lagi
koordinasi ataupun konsultasi?. Dalam praktek dan perkembangan di
daerah-daerah, muncul pemeo bahwa penguasa sebagai penyelenggara pemerintahan
di daerah, telah menjadi semacam “raja-raja kecil” yang mengklaim tidak adanya
lagi hubungan kordinatif dan kontrol oleh Propinsi / Gubernur terhadap
Kabupaten / Bupati dan Kota / Walikota. Beberapa contoh Bupati sudah langsung
berhubungan dengan menteri Dalam Negeri “tanpa kordinasi / konsultasi / pamit”
lagi kepada Gubernur.
BAB
III
PENUTUP
A.
Kesimpulan
1. Pelaksanaan
pemerintahann Daerah belumlah efektif. Pemerintahan daerah yang tujuan utamanya
meningkatkan kesejahteraan masyarakat secara merata baik di daerah perkotaan
sampai pelosok tanah air dirasa belum menampakkan perubahan signifikan baik
kualitas maupun kuantitas terhadap pelayanan publik. Masih banyak pihak yang mengeluh
atas pelaksanaan otonomi daerah. Terlebih belum jelasnya pembagian kewenangan
atas urusan pemerintahan, baik pusat, provinsi kabupaten/kota, kondisi ini
ditambah dengan lemahnya supervisi dari pemerintah pusat.
2. Faktor-faktor
yang mempengaruhi efektifitas kebijakan pemerintah mengenai Pemerintahan Daerah
antara lain:
a. Aspek
politis
Pembentukan
hukum oleh lembaga yang berwenang, yang dibentuk oleh karir politik, melahirkan
suatu kewajaran bahwa hukum yang dibentuk tidak sesuai dengan paradigma yang
ada. Tidak dapat dipungkiri bahwa setiap kebijakan yang dikeluarkan termasuk
dengan Undang-Undang No.23 tahun 2014 tidak lepas dari faktor
politis, setiap kepentingan ikut berpengaruh didalamnya, begitupula dalam
pelaksanaannya, sehingga berpengaruh pada evaluasi terhadap kebijakan yang
dikeluarkan.
Faktor politis
di sini termasuk pula pembuat undang-undang, undang itu sendiri, serta aparat
penegak hukum. Tak dapat dielakkan, pada tahapan pembuatan undang-undang
mungkin terjadi suatu intervensi pihak luar yang mempengaruhi pembuatan suatu
kebijakan. Dalam undang-undang otonomi daerah sebenarnya sudah tercantum hal –
hal mengenai otonomai daerah itu seperti apa, serta hak-hak yang diberikan
kepada daerah, namun kenyataanya,hal tersebut menimbulkan penafsiran yang berbeda,
sehingga timbul masalah dalam pelaksanaan, yang menyebabkan otonomi daerah
belum efektif.
Pemerintah
daerah sendiri sebagai pelaksana, harus memahami dengan jelas apa yang ada
dalam undang-undang otonomi daerah. Pemberian otonomi daerah dilakukan dengan
aharapan agara pemerintah didaerah mampu memberika kesejahteraan bagi
daerahnya, dan bukan bertujuan “melegalkan” pemerintah daerah untuk membentuk
semacam negara bagian yang lepas dari pemerintah pusat.
b. Aspek
yuridis
Faktor yuridis sebagai dasar dalam pelasanaan
kebijakan, dalam rangka pelaksanaan otonomi daerah diperlukan adanya sebuah
Perda sebagai dasar hukum dilaksanakannya sebuah kebijakan di suatu daerah.
Namun demikian dalam rumusan UU No. 23 Tahun 2014 tentang Pemerintahan Daerah,
UU No. 34 Tahun 2000 maupun sejumlah peraturan Menteri, memang tidak
diketemukan ketentuan yang mengatur sanksi apabila Pemda tidak menyampaikan
rancangan Perda tentang pajak dan retribusi kepada pemerintah. Akibatnya, Pemda
”ogah-ogahan” dan terkesan ”membangkang”. Ini menunjukkan bahwa pemerintah
daerah masih belum mampu memaknai secara komprehensif dan holistik mengenai
hak, wewenang serta kewajiban sebagai bagian dari pemerintah pusat dalam
penyelenggaraan pemerintahan. Intinya bahwa, Undang-Undang no. 23 Tahun 2014,
masih terdapat kelemahan-kelemahan yang perlu segera diperbaiki.
c. Aspek
sosiologis
Masyarakat
Melihat adanya ”noda” dalam pelaksanaan otonomi daerah, ini menunjukkan bahwa
sebenarnya masyarakat belum siap menerima sebuah ”otonomi daerah”. Masyarakat
belum sepenuhnya paham, apa itu otonomi, yang mereka ketahui hanyalah otonomi
berarti kebebasan menjalankan pemerintahan di daerah. Bagi masyarakat,terutama
di daerah, kebebasan seperti itu mereka anggap adalah kebebasan yang sebebas –
bebasnya, padahal tidak seperti itu.
B.
Saran
i. Pemerintah
dalam menyusun suatu kebijakan hendaknya benar – benar memperhatikan asas –
asas umum pemerintahan yang baik.
ii. Pemerintah
daerah, hendaknya menyadari bahwa pelaksanaan otonomi daerah sebenarnya
merupakan salah satu upaya pemerintah memajukan kesejahteraan daerah dan bukan
untuk melegalkan pemerintah daerah lepas dari pemerintah pusat.
iii. Masyarakat
hendaknya berpartisipasi dalam mensukseskan penyelenggaraan otomi daerah,
dengan memahami hakikat otonomi daerah yang sebenarnya.
DAFTAR PUSTAKA
Bambang Sunggono,Hukum Dan Kebijaksanaan
Publik, Sinar Grafika, Jakarta, 1994.
Esmi Warasih,Pranata Hukum Sebuah Telaah Soiologis,
Suryandaru Utama, Semarang, 2005.
Jamal Wiwoho dkk,Bahan Perkuliahan Hukum dan
Kebijakan Publik, Program Pasca Sarjana Ilmu Hukum Universitas Sebelas Maret
Surakarta
Joko Widodo,Analisis Kebijakan Publik Konsep dan
Aplikasi Analisis Proses Kebijakan Publik,Banyu Media Publising, Malang, 2007.
Solichin Abdul Wahab,Analisis Kebijaksanaan, Bumi
Aksara, Jakarta, 2008.
Undang – Undang No. 23 Tahun 2014 Tentang
Pemerintahan Daerah
http://www.asosiasi- politeknik.or.id/index.phpmodule=aspi_jurnal&func=display&jurnal_id=269