BAB
1
PENDAHULUAN
1.1.
Latar Belakang Masalah
Pemerintahan di era
Presiden Soeharto yang cenderung otoriter menimbulkan rasa tidak puas kepada
masyarakat Indonesia. Sistem sentralistik yang dianut saat itu, menjadikan pemerintah menjadi pihak penyelenggara negara
yang kebal dari pengawasan, khususnya dari masyarakat. Pemerintahan yang top down membuat kreatifitas dan inovasi
masyarakat menjadi mati karena kebebasan berpendapat dan mengkritik pemerintah
sangat dibatasi. Padahal di satu sisi, kebebasan berpendapat dan mengkritik merupakan
sebuah hal yang sangat penting agar evaluasi dan akuntabilitas pemerintah dalam
menjalankan fungsi pembangunan dapat dipertanggungjawabkan untuk memenuhi
kebutuhan masyarakat.
Secara garis besar,
masyarakat menginginkan adanya reformasi dalam sistem pemerintahan di
Indonesia. Masyarakat menginginkan adanya keterbukaan dalam berpendapat dan
penghapusan terhadap sistem sentralistik yang dianggap mematikan pembangunan
dan menghambat pemerataan kesejahteraan. Akhirnya dibentuklah undang-undang
tentang otonomi daerah yang menandai dimulainya sistem desentralisasi di
Indonesia. Desentralisasi dianggap dapat menjawab masalah-masalah pembangunan
seperti tidak transparannya penggunaan keuangan, serta memaksimalkan persebaran
pembangunan berdasarkan kebutuhan masyarakat. Fungsi pengawasan masyarakat yang
belum berkembang saat pemerintahan Soeharto diharapkan dapat muncul dan memberi
andil dalam pembangunan negara.
Namun demikian, pemerintahan
dan pembangunan yang terdesentralisasi tidak akan berjalan dengan efektif tanpa
adanya partisipasi masyarakatnya. Partisipasi masyarakat sangat penting
peranannya dalam proses pembangunan di wilayahnya sendiri. Partisipasi
masyarakat bisa berbentuk partisipasi dalam pembangunan infrastruktur atau maintenance-nya; partisipasi dalam
proses politik; melakukan pengawasan saat pemerintah merumuskan dan
melaksanakan kebijakan publik. Penyertaan peran masyarakat dalam sistem
pemerintahan akan menimbulkan sinergisitas yang sempurna untuk menciptakan good governance yang menginginkan adanya
kerjasama dan partisipasi sempurna dari 3 aktor utama di negara, yaitu
pemerintah atau government, pihak
swasta atau privat, dan masyarakat
atau civil society. Sinergitas ketiga
elemen ini sangat penting agar terjadi proses pembuatan kebijakan publik yang
berkeadilan dan pembangunan nasional yang merata.
Pelibatan masyarakat sebagai shareholder dan stakeholder dalam proses perumusan kebijakan, pelaksanaan, dan
evaluasinya adalah hal mutlak yang harus terjadi agar good governance dapat benar-benar ditegakkan. Jika dalam
pelakasanaannya pemerintah tidak menerapkan nilai dasar good governance yaitu melibatkan partisipasi masyarakat dalam
proses kenegaraan, maka yang akan terjadi adalah proses pembangunan yang tidak
berkeadilan dan akan menumbuhkan konflik.
Salah satu dampak dari pemerintah
tidak menumbuhkan partisipasi masyarakat dalam membuat, memutuskan, dan
melaksanakan kebijakan publik ialah banyak terjadinya konflik-konflik sosial.
Salah satu contohnya adalah penertiban pedagang kaki lima di wilayah sekitaran
mesjid almarkas jalan sunu kecamatan Bontoala pada bulan oktober 2016. Dalam
penertiban pedagang kaki lima tersebut tidak berjalan sesuai dengan apa yang
kita harapkan yakni masyarakat patuh dan sadar akan kebijakan pemerintah
tersebut, namun terjadi gesekan dan konflik antara pedagang dengan pihak
pemerintah kota makassar, Disinyalir perlawanan ini terjadi karena masyarakat
yang menempati lokasi tersebut sudah beranak cucu dan lama tinggal di tempat
itu selain itu masyarakat juga menduga bahwa tidak adanya pemberitahuan
sebelumnya yang dilayangkan pemerintah kota makassar sebelum mengadakan
penertiban tersebut
Dalam usaha penertiban
ini pemerintah kota makassar memberikan prioritas kepada pedagang yang
membongkar lapak atau tempat dagangannya secara sukarela akan diberikan
kesempatan untuk menempati kios yang telah disiapkan pemerintah di sekitaran
lapangan karebosi sehingga pemerintah Kota makassar mengharap tidak hanya
memberikan penataan atau penertiban kepada pedagang kaki lima akan tetapi sudah
memberikan solusi kepada pedagang dan menyiapkan tempat kios baru bagi mereka
yang taat terhadap peraturan dan kebijakan yang berlaku di Kota makassar. Yang
menjadi potensi terjadinya kesalah pahaman dalam penertiban tersebut dapat
dipicu karena kurangnya koordinasi pemerintah dalam hal ini lurah, camat dan
perangkat lpm untuk mengkoordinasikan kebijakan pemerintah dan arah kebijakan
adanya penertiban tersebut oleh karena itu Tidak adanya sinergisitas yang
seharusnya dilakukan dalam sebuah good
governance dalam pemutusan kebijakan
penertiban ini adalah pemicu terjadinya konflik yang tidak seharusnya terjadi.
Oleh karena itu, dalam
makalah ini, penulis bermaksud untuk mengkaji lebih jauh bagaimana sebenarnya
proses pelibatan masyarakat dalam rencana penertiban Pedagang Kaki Lima (PK5)
yang ada di sekitaran mesjid al markas jalan sunu Kelurahan Timungan Lompoa
Kecamatan Bontoala Kota Makassar serta mekanisme pengawasannya dalam
pelaksanaan rencana tersebut. Dengan demikian, penulis juga berharap makalah
ini bisa semakin menguatkan pernyataan bahwa
good governance perlu dibentuk
sebaik-baiknya untuk mencegah terjadinya konflik kepentingan yang berbeda satu
sama lain antara masyarakat, pemerintah, dan sektor swasta, salah satunya
seperti yang digambarkan pada kasus Penertiban
Pedagang Kaki Lima.
1.2. Rumusan Masalah
Makalah ini memiliki rumusan masalah
sebagai berikut:
1.
Apa
penyebab terjadi penolakan yang dilakukan pedagang atas rencana penertiban Pedagang
kaki lima di jalan sunu?
2.
Bagaimana
bentuk partisipasi dan pengawasan masyarakat dalam rencana penertiban
Pedagang Kaki Lima di jalan sunu?
3. Bagaimana
bentuk ideal partisipasi dan pengawasan masyarakat dalam setiap proses
pembangunan?
1.3. Tujuan Penulisan
Berdasarkan rumusan masalah yang
ada, maka tujuan penulisan makalah ini yaitu
1. Mengetahui penyebab terjadi penolakan
yang dilakukan pedagang atas rencana penertiban
dan penataan Pedagang Kaki lima
jalan sunu
2. Mengetahui
bentuk partisipasi dan pengawasan masyarakat dalam rencana penertiban
dan penataan Pedagang Kaki lima
jalan sunu
3. Mengkaji
lebih jauh bagaimana bentuk ideal partisipasi dan pengawasan masyarakat dalam
setiap proses pembangunan.
1.4. Metode penulisan
Makalah ini ditulis dengan menggunakan studi literatur
dari beberapa bahan bacaan yang berasal dari buku-buku penunjang dan website-website yang memiliki korelasi
terhadap tema makalah ini.
BAB
2
KERANGKA
TEORI
2.1
Partisipasi
masyarakat
Istilah partisipasi berasal dari
bahasa asing yang artinya mengikutsertakan pihak lain. Beberapa definisi lain
mengenai partisipasi adalah :
· Santoso Sastropoetro mendefinisikan
partisipasi sebagai keterlibatan spontan dengan kesadaran disertai
tanggung-jawab tehadap kepentingan kelompok untuk mencapai tujuan bersama.
· Alastraire White mendefinisikan
partisipasi sebagai keterlibatan komuniti setempat secara aktif dalam
pengambilan keputusan atau pelaksananaannya terhadap proyek-proyek pembangunan.
· Allport mengemukakan bahwa
seseorang yang berpartisipasi sebenarnya mengalami keterlibatan dirinya/egonya
yang sifatnya lebih daripada keterlibatan dalam pekerjaan atau tugas saja.
Dengan keterlibatan dirinya juga berarti keterlibatan pikiran dan perasaannya.
· Keith Davis mengemukakan
definisi partisipasi sebagai
“Mental
and emotional involvement of a person in a group situation which encourages him
to contribute to group goals and share responsibility in them”.
Menurut
Davis, partisipasi adalah keterlibatan mental dan emosional orang-orang di
dalam situasi kelompok yang mendorong mereka untuk memberikan kontribusi kepada
tujuan kelompok atau berbagai tanggung jawab pencapaian tujuan tersebut.
Di
dalamnya terdapat tiga buah gagasan yang penting artinya bagi para manajer atau
pemimpin yang hendak menerapkan seni partisipasi dan kebanyakan dari mereka
sependapat dengan tiga buah gagasan tersebut.
Dari
beberapa definisi yang ada dapat disimpulkan bahwa partisipasi memiliki tiga
gagasan penting, yakni keterlibatan, kontribusi, dan tanggung jawab.
1.
Keterlibatan
mental dan emosional/inisiatif.
Keterlibatan
ini bersifat psikologis daripada fisik. Seseorang dalam berpartisipasi lebih
terlibat egonya daripada terlibat tugas.
2. Motivasi
kontribusi
Unsur kedua adalah
kesediaan menyalurkan sumber inisiatif dan kreatifitasnya untuk mencapai tujuan
kelompok.
3. Tanggung
jawab
Partisipasi mendorong
orang-orang untuk menerima tanggung jawab dalam aktivitas kelompok. Ini juga
merupakan proses sosial yang melaluinya orang-orang menjadi terlibat sendiri
dalam organisasi dan ingin mewujudkan keberhasilannya. Pada saat orang-orang
ingin menerima tanggung jawab aktivitas kelompok, orang-orang tersebut melihat
adanya peluang untuk melakukan hal-hal yang diinginkan, yaitu merasa
bertanggung jawab menyelesaikan pekerjaannya. Gagasan tentang upaya menimbulkan
kerja tim dalam kelompok ini merupakan langkah utama mengembangkan kelompok
untuk menjadi unit kerja yang berhasil. Jika orang ingin melakukan sesuatu,
orang tersebut akan menemukan cara melakukannya.
Menurut
Keith Davis, partisipasi
memiliki beberapa bentuk dan jenis, antara lain :
1.
Bentuk
Partisipasi
·
Konsultasi,
biasanya dalam bentuk jasa.
·
Sumbangan
spontan berupa uang dan barang.
·
Mendirikan
proyek yang sifatnya berdikari dan donornya berasal dari sumbangan individu
atau instansi yang berada di luar lingkungan tertentu.
·
Sumbangan
dalam bentuk kerja, yang biasanya dilakukan oleh tenaga ahli setempat.
·
Aksi massa.
·
Mengadakan
pembangunan di kalangan keluarga desa sendiri.
·
Membangun
proyek komuniti yang bersifat otonom.
2.
Jenis-jenis partisipasi
·
Pikiran (psychological participation).
·
Tenaga (physical participation).
·
Pikiran
dan tenaga (psychological dan physical participation).
·
Keahlian ( participation with skill).
·
Barang (material participation).
·
Uang (money participation).
Selain Keith Davis, Hamijoyo juga mengemukakan beberapa bentuk dari partisipasi, antara
lain:
1. Partisipasi buah pikiran
Partisipasi
ini diwujudkan dengan memberikan pengalaman dan pengetahuan guna mengembangkan
kegiatan yang diikutinya. Sumbangan pemikiran yang diarahkan pada penataan cara
pelayanan dari lembaga/badan yang ada, sehingga mampu berfungsi sosial secara
aktif dalam penentuan kebutuhan anggota masyarakat.
2. Partisipasi tenaga
Partisipasi
jenis ini diberikan dalam bentuk tenaga untuk pelaksanaan usaha-usaha yang
dapat menunjang keberhasilan dari suatu kegiatan.
3. Partisipasi keterampilan
Jenis
keterampilan ini adalah memberikan dorongan melalui keterampilan yang
dimilikinya pada anggota masyarakat lain yang membutuhkannya. Kegiatan ini
biasanya diadakan dalam bentuk latihan bagi anggota masyarakat. Partisipasi ini
umumnya bersifat membina masyarakat agar dapat memiliki kemampuan memenuhi
kebutuhannya.
4. Partisipasi
uang (materi)
Partisipasi ini adalah
untuk memperlancar usaha-usaha bagi pencapaian kebutuhan masyarakat yang memerlukan
bantuan.
5. Partisipasi
harta benda
Diberikan dalam bentuk
menyumbangkan harta benda, biasanya berupa perkakas, alat-alat kerja bagi yang
dijangkau oleh badan pelayanan tersebut.
Terdapat beberapa pakar yang mendefinisikan partisipasi
masyarakat. Beberapa definisi tersebut adalah sebagai berikut:
·
Canter
mendefinisikan partispasi masyarakat sebagai proses komunikasi dua arah yang
berlangsung terus-menerus untuk meningkatkan pengertian masyarakat secara penuh
atas suatu proses kegiatan, dimana masalah-masalah dan kebutuhan lingkungan
sedang dianalisis oleh badan yang berwenang.
·
Goulet
mendefinisikan partisipasi masyarakat sebagai suatu cara melakukan interaksi
antara dua kelompok, yaitu kelompok yang selama ini tidak diikutsertakan dalam
pengambilan keputusan (non-elite) dan kelompok yang selama ini melakukan
pengambilan keputusan (elite).
·
Wingert
merinci partisipasi atau peran serta masyarakat menjadi beberapa paham sebagai
berikut:
a.
Partisipasi
masyarakat sebagai suatu kebijakan
Penganut paham ini berpendapat bahwa partisipasi
masyarakat merupakan suatu kebijakan yang tepat dan baik untuk dilaksanakan.
Paham ini dilandasi oleh suatu pemahaman bahwa masyarakat yang potensial
dikorbankan dan terkorbankan oleh suatu proyek pembangunan memiliki hak untuk dikonsultasikan.
b.
Partisipasi
masyarakat sebagai strategi
Penganut paham ini mengendalikan bahwa partisipasi
masyarakat merupakan strategi untuk mendapatkan dukungan masyarakat. Pendapat
ini didasarkan kepada suatu paham bahwa bila masyarakat merasa memilki akses
terhadap pengambilan keputusan dan kepedulian masyarakat kepada tiap tingkatan
pengambilan keputusan didomentasikan dengan baik, maka keputusan tersebut akan
memilki kredibilitas.
c.
Partisipasi
masyarakat sebagai alat komunikasi
Partisipasi masyarakat didayagunakan sebagai alat
untuk mendapatkan masukan berupa informasi dalam proses pengambilan keputusan.
Persepsi ini dilandasi oleh suatu pemikiran bahwa pemerintah dirancang untuk
melayani masyarakat, sehingga pandangan dan preferensi dari masyarakat tersebut
adalah masukan yang bernilai guna mewujudkan keputusan yang responsive.
d.
Partispasi
masyarakat sebagai alat penyelesaian sengketa
Partisipasi masyarakat didayagunakan sebagai suatu cara
untuk mengurangi konflik melalui usaha pencapaian konsensus dari pendapat yang
ada. Asumsi yang melandasi paham ini adalah bertukar pikiran dan pandangan
dapat meningkatkan pengertian dan toleransi serta mengurangi rasa
ketidakpercayaan dan kerancuan.
e.
Partisipasi
masyarakat sebagai terapi
Menurut paham ini, peran masyarakat dilakukan untuk
mengatasi masalah-masalah psikologis masyarakat seperti halnya
ketidakberdayaan, tidak percaya diri, dan perasaan bahwa diri mereka bukan
komponen penting di dalam masyarakat.
Perlunya
partisipasi masyarakat juga diungkapkan oleh Koeshadi Hardjasoemantri, bahwa
selain untuk memberikan informasi yang berharga kepada para pengambil
keputusan, partisipasi masyrakat akan mereduksi kemungkinan kesediaan
masyarakat untuk menerima keputusan. Selanjutnya, partisipasi masyarakat akan
membantu perlindungan hukum.
2.2 Teori Good Governance
Tata kelola kepemerintahan yang baik (good governance) merupakan suatu konsep
yang akhir-akhir ini dipergunakan secara reguler dalam ilmu politik dan
administrasi publik. Konsep ini lahir sejalan dengan konsep-konsep dan
terminologi demokrasi, masyarakat sipil, partisipasi rakyat, hak asasi manusia,
dan pembangunan masyarakat secara berkelanjutan. Pada akhir dasawarsa yang
lalu, konsep good governance ini
lebih dekat dipergunakan dalam reformasi sektor publik. Di dalam disiplin atau
profesi manajemen publik konsep ini dipandang sebagai suatu aspek dalam
paradigma baru ilmu administrasi publik. Paradigma baru ini menekankan pada
peranan manajer publik agar memberikan pelayanan yang berkualitas kepada masyarakat,
mendorong meningkatkan otonomi manajerial terutama mengurangi campur tangan
kontrol yang dilakukan oleh pemerintah pusat, transparansi, akuntabilitas
publik, dan menciptakan pengelolaan manajerial yang bersih bebas dari korupsi
(Thoha, 2004: 78).
Sejumlah perspektif muncul dari paradigma baru ini dan
mendorong ramainya diskusi dan perdebatan di arena politik dan akademisi. Di antara perspektif yang berkaitan dengan struktur
pemerintahan yang timbul antara lain (Thoha, 2004: 78):
a. Hubungan antara pemerintah dengan pasar.
b. Hubungan antara pemerintah dengan rakyatnya.
c. Hubungan antara pemerintah dengan organisasi
vo¬luntary dan sektor privat.
d. Hubungan antara pejabat-pejabat yang dipilih
(politisi) dan pejabat-pejabat yang diangkat (pejabat birokrat).
e. Hubungan antara lembaga
pemerintahan daerah dengan penduduk perkotaan dan pedesaan.
f. Hubungan antara legislatif dan
eksekutif.
g. Hubungan pemerintah nasional
dengan lembaga-lembaga internasional.
Dalam menganalisis perspektif ini banyak para praktisi
dan teoretisi dalam bidang administrasi publik merumuskan berbagai prosedur dan
proses yang bisa dipergunakan untuk mencapai dan mengidentifikasikan
prinsip-prinsip dan asumsi-asumsi dari tata kepemerintahan yang baik. Sementara
itu negara donor dan lembaga-lembaga multilateral telah mengambil peran yang
mengemuka (a leading role) dalam
merumuskan good governance. Salah satunya ialah United Nations Development
Programme (UNDP).
UNDP merumuskan istilah governance sebagai suatu exercise
dari kewenangan politik, ekonomi, dan administrasi untuk menata, mengatur dan
mengelola masalah-masalah sosialnya (UNDP, 1997) Istilah governance menunjukkan suatu proses di mana rakyat bisa mengatur
ekonominya, institusi dan sumber-sumber sosial dan politiknya tidak hanya
dipergunakan untuk pembangunan, tetapi juga untuk menciptakan kohesi,
integrasi, dan untuk kesejahteraan rakyatnya. Dengan demikian jelas sekali,
kemampuan suatu negara mencapai tujuan-tujuan pembangunan itu sangat tergantung
pada kualitas tata kelola intahannya di mana pemerintah melakukan interaksi
dengan organisasi-organisasi komersial dan civil
society.
Karim (2003: 45) menyatakan ada 5 prinsip good governance, yaitu transparansi,
kesetaraan, daya tanggap, akuntabilitas, dan pengawasan.
Kunci utama memahami good
governance, menurut Masyarakat Transparansi Indonesia (MTI), adalah
pemahaman atas prinsip-prinsip yang mendasarinya. Bertolak dari prinsip-prinsip
ini didapat tolok ukur kinerja suatu pemerintah. Prinsip-prinsip tersebut
meliputi:
a. Partisipasi masyarakat: semua warga masyarakat mempunyai suara dalam
pengambilan keputusan, baik secara langsung maupun melalui lembagalembaga
perwakilan yang sah yang mewakili kepentingan mereka. Partisipasi menyeluruh
tersebut dibangun berdasarkan kebebasan berkumpul dan mengungkapkan pendapat,
serta kepastian untuk berpartisipasi secara konstruktif.
b. Tegaknya supremasi hukum: kerangka hukum harus adil dan diberlakukan
tanpa pandang bulu, termasuk didalamnya hukum-hukum yang menyangkut hak asasi
manusia.
c. Transparasi: transparansi dibangun atas dasar informasi yang bebas.
Seluruh proses pemerintah, lembaga-lembaga, dan informasi perlu dapat diakses
oleh pihak-pihak yang berkepentingan, dan informasi yang tersedia harus memadai
agar dapat dimengerti dan dipantau.
d. Peduli dan stakeholder:
lembaga-lembaga dan seluruh proses pemerintah harus berusaha melayani semua
pihak yang berkepentingan.
e. Berorientas pada konsensus: tata kelola pemerintahan yang baik
menjembatani kepentingan-kepentingan yang berbeda demi terbangunnya suatu
konsensus menyeluruh dalam hal apa yang terbaik bagi kelompok-kelompok
masyarakat, dan bila mungkin, konsensus dalam hal kebijakan-kebijakan dan
prosedur-prosedur.
f. Kesetaraan: semua warga masyarakat mempunyai kesempatan memperbaiki atau
mempertahankan kesejahteraan mereka.
g. Efektifitas dan efisiensi: proses-proses pemerintahan dan
lembaga-lembaga membuahkan hasil sesuai kebutuhan warga masyarakat dan dengan
menggunakan sumber-sumber daya yang ada seoptimal mungkin.
h. Akuntabilitas: para pengambil keputusan di pemerintah, sektor swasta,
dan organisasi masyarakat bertanggungjawab, baik kepada masyarakat maupun
kepada lembaga-lembaga yang berkepentingan.
i. Visi strategis: para pemimpin dan masyarakat memiliki perspektif yang luas
dan jauh ke depan atas tata pemerintahan yang baik dan pembangunan manusia,
serta kepekaan akan apa saja yang dibutuhkan untuk mewujudkan perkembangan
tersebut. Selain itu mereka juga harus memiliki pemahaman atas kompleksitas
kesejarahan, budaya, dan sosial yang menjadi dasar bagi perspektif tersebut.
2.3 Teori Administrasi Pembangunan
Administrasi
pembangunan mencangkup dua pengertian, yaitu administrasi dan pembangunan.
Administrasi adalah keseluruhan proses pelaksanaan keputusan – keputusan yang
telah diambil dan diselenggarakan oleh dua atau lebih untuk mencapai tujuan
yang telah ditentukan sebelumnya, sedangkan pembangunan didefinisikan sebagai
rangkaian usaha mewujudkan pertumbuhan dan perubahan secara terencana dan sadar
yang ditempuh oleh suatu negara bangsa menuju modernitas dalam rangka pembinaan
bangsa (nation-building).
Ada beberapa pengertian administrasi pembangunan menurut para ahli.
Hiram
S. Phillips mendefinisikan administrasi pembangunan sebagai rather than the
traditional term of public administration to indicate the need for a dynamic
process designed particularly to meet requirements of social and economic
changes.
Pernyataan ini diartikan sebagai lebih baik dari pada masa tradisional
administrasi publik untuk menunjukkan kebutuhan untuk suatu proses dinamis yang
didesain secara khusus untuk mendapatkan syarat perubahan sosial dan ekonomi.
Paul
Meadows mendefinisikan administrasi pembangunan sebagai development
administration can be regarded as the public management of economic and social
change in term of deliberate public policy. The development administrator is
concerned with guiding change.
Pernyataan ini diartikan sebagai administrasi pembangunan dapat dipandang
sebagai manajemen publik perubahan ekonomi dan sosial yang disengaja dalam masa
kebijakan publik. Administrator pembangunan dapat memfokuskan pada perubahan
terarah.
2.3.1 Ciri – Ciri Administrasi Pembangunan
Ada
beberapa ciri administrasi pembangunan menurut Irving Swerdlow dan Saul M.
Katz. Pertama, adanya suatu orientasi administrasi untuk mendukung
pembangunan. Administrasi bagi perubahan – perubahan ke arah keadaan yang
dianggap lebih baik. Keadaan yang lebih baik ini bagi negara – negara baru
berkembang dinyatakan dengan usaha ke arah modernisasi, atau pembangunan bangsa
atau pembangunan sosial ekonomi. Di dalam administrasi pembangunan, diberikan
uraian mengenai saling kait – berkaitnya administrasi dengan aspek – aspek pembangunan di bidang politik, ekonomi,
sosial-budaya, dan lain – lain. Kedua, adanya peran administrator
sebagai unsur pembangunan. Peranan serta fungsi pemerintah sangat erat kaitannya dengan perencanaan dan
pelaksanaan pembangunan. Administrator juga dapat menciptakan suatu sistem dan
praktek administrasi yang membina partisipasi dalam pembangunan. Ketiga,
perkembangan, baik dalam ilmu maupun pelaksanaan perencana pembangunan terdapat
orientasi yang semakin besar memberikan perhatian terhadap aspek pelaksanaan
rencana. Suatu perencanaan yang berorientasi pada pelaksanaannya akan lebih
banyak memperhatikan aspek administrasi dalam aspek pembangunannya. Keempat,
administrasi pembangunan masih berdasarkan pada prinsip – prinsip administrasi
negara. Namun, administrasi pembangunan memiliki ciri – ciri yang lebih maju
daripada administrasi negara.
Sondang
P. Siagian juga merumuskan ciri – ciri administrasi pembangunan. Pertama,
Administasi pembangunan lebih memberikan perhatian terhadap lingkungan
masyarakat yang berbeda – beda, terutama bagi lingkungan masyarakat negara – negara baru berkembang. Kedua,
administrasi pembangunan mempunyai peran aktif dan berkepentingan terhadap
tujuan – tujuan pembangunan, baik dalam perumusan kebijaksanaannya maupun dalam
pelaksanaannya yang efektif. Bahkan, administrasi ikut serta mempengaruhi
tujuan – tujuan pembangunan masyarakat dan menunjang pencapaian tujuan – tujuan
sosial, ekonomi, dan lain – lain yang dirumuskan kebijaksanaannya dalam proses
politik. Ketiga, administrasi pembangunan berorientasi kepada usaha –
usaha yang mendorong perubahan ke arah keadaan yang dianggap lebih baik untuk
suatu masyarakat di masa depan atau berorientasi masa depan. Keempat, administrasi
pembangunan lebih berorientasi kepada pelaksanaan tugas – tugas pembangunan
dari pemerintah. Administrasi pembangunan
lebih bersikap sebagai ”development agent”, yakni kemampuan untuk merumuskan kebijaksanaan –
kebijaksanaan pembangunan dan pelaksanaan yang efektif, serta sebagai kemampuan
dan pengendalian instrumen – instrumen bagi pencapaian tujuan – tujuan
pembangunan. Kelima, administrasi pembangunan harus mengaitkan diri
dengan substansi perumusan kebijaksanaan dan pelaksanaan tujuan – tujuan
pembangunan di berbagai bidang yaitu ekonomi, sosial, budaya, dan lain – lain. Keenam,
dalam administrasi pembangunan, administrator dalam aparatur pemerintah juga
bisa menjadi pergerak perubahan. Ketujuh, administrasi pembangunan lebih
berpendekatan lingkungan, berorientasi pada kegiatan, dan bersifat pemecahan
masalah. Ketiga unsur ini disebut mission driven.
2.3.3 Fungsi dan Peran Pemerintah dalam Pembangunan
Menurut Awaloedin,
ada beberapa cara pelaksanaan peranan pemerintah, antara lain:
1.
Fungsi pengaturan, dibagi lagi menjadi
beberapa fungsi, yaitu penentuan kebijaksanaan, pemberian pengarahan dan
bimbingan, pengaturan melalui perizinan, dan pengawasan. Fungsi pengaturan ini
akan menghasilkan output berupa berbagai peraturan.
2.
Kepemilikan sendiri dari usaha – usaha
ekonomi atau sosial yang penyelenggaraannya dapat dilakukan sendiri atau oleh
swasta.
3.
Penyelenggaraan sendiri dari berbagai
kegiatan – kegiatan ekonomi atau sosial.
Fungsi
pokok pemerintah dapat dibagi menjadi dua tugas, yakni tugas pemerintahan rutin
atau umum dan tugas pemerintahan pembangunan. Tugas pemerintahan umum dapat
dilakukan dalam rangka pemerintahan umum, pemeliharaan ketertiban, keamanan,
dan pelaksanaan hukum. Tugas ini seringkali diperluas dengan tugas – tugas pelayanan umum yang dilakukan,
baik melalui penyelenggaraan sendiri maupun melalui pelaksanaan fungsi
pengaturan. Di samping itu, tugas pembangunan dilakukan dalam rangka
penyesuaian kepentingan sosial dan ekonomi tradisional dengan kebutuhan
pembangunan. Tugas pembangunan termasuk di dalamnya tugas memajukan
kesejahteraan umum yang terdiri dari
tugas mengemban mobilisasi daya dan dana untuk pembangunan dan
pengalokasian sumber – sumber daya yang rasional dan tepat.
2.4 Teori Pengawasan
Menurut Stoner dan
Wankel “Pengawasan berarti para manajer berusaha untuk meyakinkan bahwa
organisasi bergerak dalam arah atau jalur tujuan. Apabila salah satu bagian
dalam organisasi menuju arah yang salah, para manajer berusaha untuk mencari
sebabnya dan kemudian mengarahkan kembali ke jalur tujuan yang benar “.
Sementara itu menurut McFarland (dalam Handayaningrat, 1994:143). “Control is
the process by which an executive gets the performance of his subordinates to
correspondas closely as possible to chosen plans, orders, objectives, or
policies “. [11](Pengawasan
ialah suatu proses dimana pimpinan ingin mengetahui apakah hasil
pelaksanaan pekerjaan yang dilakukan oleh bawahannya sesuai dengan
rencana, perintah, tujuan, atau kebijaksanaan yang telah ditentukan ).
Selanjutnya Smith menyatakan bahwa:“Controlling“
sering diterjemahkan pula dengan pengendalian, termasuk di dalamnya pengertian
rencana-rencana dan norma-norma yang mendasarkan pada maksud dan tujuan
manajerial, dimana norma-norma ini dapat berupa kuota, target maupun pedoman
pengukuran hasil kerja nyata terhadap yang ditetapkan.
Pengawasan merupakan
kegiatankegiatan dimana suatu sistem terselenggarakan dalam kerangka
norma-norma yang ditetapkan atau dalam keadaan keseimbangan bahwa pengawasan
memberikan gambaran mengenai hal-hal yang dapat diterima, dipercaya atau
mungkin dipaksakan, dan batas pengawasan (control limit) merupakan
tingkat nilai atas atau bawah suatu sistem dapat menerima sebagai batas
toleransi dan tetap memberikan hasil yang cukup memuaskan.
Dalam manajemen, pengawasan (controlling)
merupakan suatu kegiatan untuk mencocokkan apakah kegiatan operasional (actuating)
di lapangan sesuai dengan rencana (planning) yang telah ditetapkan dalam
mencapai tujuan (goal) dari organisasi. Dengandemikian yang menjadi
obyek dari kegiatan pengawasan adalah mengenai kesalahan, penyimpangan, cacat
dan hal-hal yang bersifat negatif seperti adanya kecurangan,pelanggaran dan
korupsi.
Menurut Winardi "Pengawasan
adalah semua aktivitas yang dilaksanakan oleh pihak manajer dalam upaya
memastikan bahwa hasil aktual sesuai dengan hasil yang direncanakan".
Sedangkan menurut Basu Swasta "Pengawasan merupakan fungsi yang menjamin
bahwa kegiatan-kegiatan dapat memberikan hasil seperti yang diinginkan".
Menurut Sondang P.Siagian,
Pengawasan adalah Proses pengamatan pelaksanaan seluruh kegiatan organisasi
untuk menjamin agar semua pekerjaan yang sedang dilaksanakan berjalan sesuai
dengan rencana yang telah ditentukan. Menurut Suyamto, Pengawasan adalah segala
usaha atau kegiatan untuk mengetahui dan menilai kenyataan yang sebenarnya
mengenai pelaksanaan tugas atau kegiatan, apakah sesuai dengan yang semestinya
atau tidak .
Lebih lanjut menurut Komaruddin
mengatakan, "Pengawasan adalah berhubungan dengan perbandingan antara
pelaksana aktual rencana, dan awal Unk langkah perbaikan terhadap penyimpangan
dan rencana yang berarti". [12]
Lebih lanjut menurut
Kadarman”Pengawasan adalah suatu upaya yang sistematik untuk menetapkan kinerja
standar pada perencanaan untuk merancang sistem umpan balik informasi, untuk
membandingkan kinerja aktual dengan standar yang telah ditentukan, untuk
menetapkan apakah telah terjadi suatu penyimpangan tersebut, serta untuk mengambil
tindakan perbaikan yang diperlukan untuk menjamin bahwa semua sumber daya
perusahaan telah digunakan seefektif dan seefisien mungkin guna mencapai tujuan
perusahaan.”
2.4.2 Jenis-jenis Pengawasan
Menurut Schermerhorn (2001), jenis-jenis pengawasan terbagi
menjadi:
- Pengawasan
Feedforward (umpan di depan)
Dilakukan sebelum aktivitas dimulai
Dalam rangka menjamin: kejelasan
sasaran; tersedianya arahan yang memadai;ketersediaan sumberdaya yang
dibutuhkan
Memfokuskan pada kualitas sumberdaya
2.
Pengawasan Concurrent (bersamaan)
Memfokuskan kepada apa yang terjadi
selama proses berjalan
Memonitor aktivitas yang sedang
berjalan untuk menjamin segala sesuatu dilaksanakan sesuai rencana
Dapat mengurangi hasil yang tidak
diinginkan
- Pengawasan
Feedback (umpan balik)
Terjadi setelah aktivitas selesai
dilaksanakan
Memfokuskan kepada kualitas dari
hasil
Menyediakan informasi yang berguna
untuk meningkatkan kinerja di masa depan
- Pengawasan
Internal & Eksternal
Pengawasan Internal: memberikan
kesempatan untuk memperbaiki sendiri
Pengawasan Eksternal: terjadi
melalui supervisi dan penggunaan sistem administrasi formal
Sementara itu, dalam
birokrasi dan lembaga, pengawasan terbagi atas (Nugraha, et all, 2005):
1.
Pengawasan Internal dan Eksternal
Pengawasan
internal adalah pengawasan dilakukan oleh orang atau badan yang ada di dalam
lingkungan unit organisasi yang bersangkutan seperti pengawasan atasan langsung
atau pengawasan melekat.contoh:Itjen, Bawasda, BPKP
Pengawasan
Eksternal adalah pengawasan yang dilakukan oleh orang atau badan yang ada di
luar unit organisasi yang bersangkutan.contoh:BPK, KPK, dan ORI.
2.
Pengawasan Preventif dan Represif
Pengawasan
preventif adalah pengawasan yang dilakukan terhadap suatu kegiatan sebelum
kegiatan itu dilaksanakan sehingga dapat mencegah terjadinya penyimpangan.
Pengawasan ini lebih bermanfaat dan bermakna jika dilakukan oleh atasan
langsung.
Pengawasan
represif adalah pengawasan yang dilakukan terhadap kegiatan setelah kegiatan
itu dilakukan. laporan pelaksanaan anggaran di akhir tahun.
3.
Pengawasan Aktif dan Pasif
Pengawasan Aktif
(dekat) adalah pengawasan yang
dilaksanakan di tempat kegiatan yang bersangkutan dan pengawasan ini bersifat
melekat.
Pengawasan
Pasif (jauh) adalah pengawasan dengan melakukan penerimaan dan pengujian
terhadap laporan pertanggungjawaban. Pengawasan kebenaran formil menurut Hak
(Rechtimatigheid) dan pemeriksaan kebenaran materiil mengenai maksud
tujuan pengeluaran (doelmatigheid).
4.
Pengawasan Formal dan Informal
Pengawasan
formal dilakukan oleh instansi/pejabat yang berwenang, baik yang bersifat
internal maupun eksternal. Di lain pihak, pengawasan informal dilakukan oleh masyarakat, baik langsung
maupun tidak langsung atau sebagai social control.
2.4.3 Tujuan
Pengawasan
Tujuan utama pengawasan
adalah ikut berusaha memperlancar roda pembangunan serta mengamankan hasil –
hasil pembangunan. Pengawasan diperlukan bukan karena kurang kepercayaan dan
bukan pula ditujukan mencari – cari kesalahan atau mencari siapa yang salah,
tetapi untuk memahami apa yang salah demi perbaikan di masa datang.
Selain tujuan utama di atas,
pengawasan juga memiliki peran-peran strategis, yakni diantaranya adalah :
Memastikan bahwa segala sesuatunya
berjalan sesuai dengan mandat, visi, misi, tujuan serta target-target
organisasi.
Mengetahui tingkat akuntabilitas
kinerja tiap instansi yang akan dijadikan para meter penilaian keberhasilan dan
kegagalan pelaksanaan misi organisasi dalam mencapai tujuan dan sasaran yang
telah ditetapkan dalam Renstra instansi
Dua tujuan utama yaitu akuntabilitas
dan proses belajar
Dari sisi akuntabilitas, sistem
pengawasan akan memastikan bahwa dana pembangunan digunakan sesuai dengan etika
dan aturan hukum dalam rangka memenuhi rasa keadilan
Dari sisi proses belajar, sistem
pengawasan akan memberikan informasi tentang dampak dari program atau
intervensi yang dilakukan, sehingga pengambil keputusan dapat belajar tentang
bagaimana menciptakan program yang lebih efektif
BAB
3
ANALISIS
MASALAH
3.1 Studi Kasus: Penertiban Pedagang Kaki
Lima Di Jalan Sunu Kecamatan Bontoala Kota Makassar
Penertiban
Pedagang kaki lima yang ada disekitar jalan sunu kecamatan Bontoala Kota
Makassar merupakan prioritas utama bagi pemerintah kota makassar penertiban ini
merupakan pertama kali dilakukan oleh pedagang yang telah berjualan di tempat
tersebut selama puluhan tahun, wali kota makassar yang turun langsung dan
menyaksikan pembongkaran lapak oleh para pedagang tersebut menyampaikan akan
memprioritaskan mereka direkolasi ke tempat baru yang disiapkan pemerintah kota
makassar, satu kesyukuran adanya kesadaran dari masyarakat khususnya pedagang
kaki lima yang bersangkutan mau membongkar sendiri tempat mereka dengan
sukarela tanpa adanya perlawanan atau bentrokan, dan yang ini akan dijadikan
utama dan prioritas menempati tempat yang telah disiapkan oleh pemerintah yaitu
tepatnya di Sekitaran Lapangan Karebosi.
Penertiban
pedagang kaki lima di sekitaran jalan sunu karena memang betul betul menjadi
kendala dan pelanggaran bagi setiap pengguna jalan maupun fasilitas umum
lainnya, selain mengganggu pengguna lainnya pedagang kaki lima juga kerap tidak
tertib dalam hal pengelolaan persampahan dan kepedulian terhadap lingkungan
seperti halnya bagi mereka yang menjajakan makanan cepat saji, mereka
meninggalkan sampah dan kotoran di tempat umum sehingga mencemarkan hal yang
tidak baik bagi pengguna fasilitas umum lainnya, selain itu juga menimbulkan
kemacetan kendaraan di sekitaran jalan sunu dan sekitaran mesjid al-markas,
berdasarkan data dari dinas sosial dan pemerintah kota makassar bahwa pedagang
kaki lima yang akan direkolasi dari 7600 pk5 makassar yang rencananya akan
dilakukan penataan setelah 47 PK5 ini telah mencapai kata sepakat dengan
pemerintah kota makassar.
Dalam
pelaksanaan penertiban Pedagang kaki lima ini belum berjalan maksimal karena
selain ada pedagang yang sadar dan sukarela untuk membongkar sendiri
bangunannya ada juga pedagang yang enggan
Tragedi
Priok bermula dari konflik yang terjadi antara PT Pelindo dengan ahli waris
Habib Hasan bin Muhammad Al Haddad atau yang lebih dikenal dengan Mbah Priok.
PT Pelindo mengklaim bahwa tanah di Makam Mbah Priok adalah miliknya, namun di
sisi lain, menurut ahli waris, tanah tersebut merupakan miliknya berdasarkan
Eigendom Verponding nomor 4341 dan No 1780 di lahan seluas 5, 4 Ha. Pengadilan
Negeri Jakarta Utara pernah memutuskan bahwa tanah tersebut secara sah milik PT
Pelindo pada tanggal 5 Juni 2002. Ini didasarkan pada Hak Pengelolaan Lahan
(HPL) Nomor 01/Koja dengan luas 145,2 hektar.
Pada
dasarnya, Makam Mbah Priok yang asli sudah dipindahkan ke Tempat Pemakaman Umum
(TPU) Semper 21 Agustus 1997 dengan surat keputusan No 80/-177.11 dari Dinas
Pertamanan dan Pemakaman DKI. Namun pada perkembangannya, ahli waris kembali
membangun kompleks makam Mbah Priok pada September tahun 1999 tanpa seizin PT
Pelindo karena ahli waris masih mengklaim bahwa sebagian tanah yang menjadi hak
pengelolaan PT Pelindo ada yang masih menjadi haknya. Di sisi lain, PT Pelindo
merasa kalau pembangunan kembali kompleks makam tersebut sepihak dan dianggap
menjadi bangunan liar.
PT
Pelindo sebenarnya masih melakukan toleransi terhadap pembangunan kembali makam
tersebut, namun munculnya bangunan-bangunan ilegal selain pembangunan makam
itulah yang menurut PT Pelindo harus ditertibkan.
Oleh
karena itu, PT Pelindo meminta bantuan Pemerintah Provinsi DKI Jakarta Utara
untuk menertibkan bangunan liar tersebut, namun ahli waris dan masyarakat yang
memiliki kepentingan dalam keberadaan Makam Mbah Priok tidak mengetahui tentang
keputusan penertiban makam. Akhirnya saat dilakukan eksekusi, masyarakat dan
ahli waris yang merasa belum mendapat
kesepakatan akan penertiban bangunan liar, melawan balik Satpol PP yang
sebenarnya hanya ditugaskan untuk menertibkan bangunan liar di sekitar Makam
Mbah Priok, bukan menggusur makam itu sepenuhnya.
Perintah penertiban yang dilakukan oleh Satpol
PP, pada dasarnya sudah sesuai dengan instruksi gubernur DKI nomor 132/2009
tentang penertiban bangunan. Lebih dari itu, setelah dilakukan penertiban atas
bangunan liar tersebut, pemerintah setempat memiliki rencana untuk melakukan
penataan ulang pada Makam Mbah Priok dan arealnya akan diperluas dari 20 meter
persegi menjadi 100 meter persegi. Masyarakat yang terlibat bentrok salah paham
dengan maksud penertiban yang akan dilakukan oleh Satpol PP karena ada yang
mengisukan Makam Mbah Priok akan dibongkar oleh orang yang tidak bertanggung
jawab.
Persilangan
pendapat dan saling klaim atas tanah Makam Mbah Priok yang belum mencapai
kesepakatan final, serta kurangnya sosialisasi pemerintah kepada masyarakat
yang hanya bermaksud menggusur bangunan liar berubah menjadi bentrokan yang
tidak bisa dihindari. Meluasnya area konflik juga diduga muncul akibat ada
provokasi orang-orang yang tidak bertanggung jawab. Akibatnya korban luka-luka terhitung mencapai hampir
200 orang, dan ada beberapa korban yang meninggal. Kerugian negara akibat
bentrokan tersebut juga mencapai miliaran rupiah karena aset negara seperti
kendaraan dinas dirusak oleh masyarakat yang tidak puas dengan kebijakan
pemerintah.
3.2
Analisis Kasus
Kasus bentrok yang terjadi antara masyarakat Koja dan
Satuan Polisi Pamong Praja (Satpol PP) merupakan salah satu contoh dari kasus informasi
asimetris yang didapat oleh kedua belah pihak dari Pemerintah Provinsi DKI
Jakarta. Hal ini dikarenakan bahwa pada dasarnya isu penggusuran yang
didapatkan masyarakat merupakan sebuah kabar burung yang hanya menyebabkan
masyarakat tersebut menjadi sangat emosional ketika berhadapan dengan Satpol
PP. Padahal saat itu, yang akan dilakukan oleh Satpol PP tersebut hanya
menertibkan bangunan liar yang ada di sekitar bangunan Makam Mbah Priok.
Secara legal, lahan Makam Mbah Priok memang sudah menjadi
hak milik PT Pelindo II. Hal ini jelas terlihat dari putusan yang dikeluarkan
oleh Pengadilan Negeri Jakarta Utara pada 5 Juni 2002. Namun hal penting yang
patut untuk dianalisis adalah ketidaktahuan masyarakat terhadap rencana
pemerintah untuk merenovasi bangunan tersebut dan menambah luas lahannya
menjadi 100 meter persegi, serta menertibkan banguna liar yang ada di
sekitarnya.
Jika dilihat dari konsep partisipasi masyarakat, penulis
tidak melihat adanya korelasi positif yang tercipta antara pelibatan masyarakat
dan konflik yang terjadi dalam kasus ini. Artinya, jika memang masyarakat Koja
dilibatkan dalam perumusan rencana Pemerintah Provinsi DKI Jakarta dengan PT
Pelindo II terkait keberadaan Makam Mbah Priok, tentu masyarakat setempat tidak
serta merta merasa “terkejut” dengan kehadiran Satpol PP, yang pada akhirnya
menjadi bentrok satu sama lain.
Dalam pembuatan sebuah kebijakan publik, seharusnya
masyarakat memiliki peran sebagai stakeholder
yang memiliki hak penuh atas proses pembuatan kebijakan tersebut. Hal ini
dikarenakan kebijakan publik tersebut akan memiliki keterkaitan dalam keberlangsungan
masyarakat. Pada kasus ini, dapat dilihat bahwa perumusan kebijakan untuk menertibkan
bangunan liar di sekitar bangunan Makam Mbah Priuk sekaligus merenovasi makam
tersebut tidak disertai dengan pelibatan partisipasi masyarakat ataupun
melakukan konsultasi publik.
Musyawarah Perencanaan Pembangunan atau yang biasa
dikenal dengan Musrenbang pun tampak tidak disebut-sebut dalam tahap pembuatan
kebijakan pemabangunan ini. Padahal seharusnya, musrenbang sebagai sarana
penyatuan kesepakatan antara masyarakat dan pemerintah, bahkan juga pihak
swasta, dalam hal ini ialah PT Pelindo bisa mewadahi samua kepentingan masing-masing
pihak. Koja, meskipun bukan sebuah kabupaten, setidaknya memiliki relevansi
untuk menerapkan bagan di bawah ini dalam setiap rencana pembangunan, termasuk
rencana renovasi Makam Mbah Priok.
Berdasarkan
bagan di atas, dapat dilihat bahwa dalam sebuah sistem strategis dari
pembangunan, peran partisipasi masyarakat haruslah seimbang dengan peran
pemerintah dan swasta. Artinya, dalam perencanaan pembangunan, masyarakat
dipandang sebagai subjek, bukan objek pembangunan. Sama halnya dengan
pemerintah melibatkan pihak swasta.
Pemaparan
tersebut mencerminkan sebuah konsep tata kelola pemerintahan yang baik (good governance), dimana pemerintah
tidak lagi menjadi aktor tunggal dalam segala hal yang berkaitan dengan
penyelenggaraan kegiatan negara, akan tetapi ada aktor-aktor lain yang memiliki
peran yang sama dengan pemerintah, yaitu swasta dan masyarakat.
Manurut
hemat penulis, bentrok yang terjadi antara masyarakat Koja dan Satpol PP
merupakan sebuah konsekuensi logis dari tidak diikutsertakannya masyarakat
dalam rencana prenovasi bangunan makam ini. Satpol PP yang juga tidak tahu
menahu mengenai urusan keputusan Pemprov DKI Jakarta untuk merenovasi Makam
Mbah Priuk akhirnya melakukan perlawanan
terhadap respon negatif masyarakat. Hal ini diperparah oleh adanya kelompok
ketiga yang memprovokasi masing-masing pihak yang mengalami bentrok. Dengan
kata lain, tata kelola pemerintahan pada kasus ini belumlah berjalan dengan
baik.
Keputusan Pemprov DKI Jakarta terkait kasus ini memang
tidak melibatkan partsisipasi masyarakat, akan tetapi pihak swasta, dalam hal
ini ialah PT Pelindo, menjadi pihak yang turut memutuskan hal tersebut. Namun
kemudian, perlu dipertanyakan, apakah kesepakatan yang dibuat tanpa partisipasi
masyarakat ini memiliki kecenderungan unsur kongkalikong
antara kedua pihak. Kecenderungan inilah yang disebabkan oleh partisipasi
masyarakat yang minim sehingga berakhir dengan aksi massa yang anarkis.
Pada dasarnya, permasalahan pembangunan bisa diatasi
dengan pelaksanaan fungsi pengawasan dalam kegiatan pembangunan itu sendiri, baik
pengawasan internal, maupun pengawasan eksternal. Pengawasan yang bisa
dilakukan oleh masyarakat merupakan pengawasan eksternal. Salah satu bentuk
dari pengawasan eksternal tersebut adalah kontrol sosial yang dilakukan oleh
masyarakat, bisa dalam bentuk preventif ataupun represif.
Masyarakat tidak bisa melakukan pengawasan eksternal yang
baik tanpa adanya keterbukaan pemerintah setempat. Pada kasus yang terjadi di
Koja, masyarakat tidak mendapatkan informasi yang terbuka dari pemerintah
mengenai rencana pembangunan ini. Bahkan secara sepihak, pemerintah setempat
memutuskan untuk menurunkan pasukan Satpol PP dalam jumlah yang banyak.
Konsekuensi logis dari keadaan tersebut adalah, kontrol sosial yang dilakukan
oleh masyarakat bukanlah sebagai fungsi preventif atau mencegah terjadinya
bentrok atu konflik lain, melainkan sebagai fungsi represif.
Pengawasan yang
dilakukan oleh masyarakat Koja termasuk pengawasan represif karena masyarakat
melakukan kontrol sosial dalam bentuk yang anarkis ini setelah terjadinya
keputusan yang dibuat oleh pemerintah dan PT Pelindo II yang berujung pada
bentrok tersebut. Masyarakat tersebut melakukan aksi penolakan terhadap
keputusan yang dibuat pemerintah karena merasa keputusan tersebut
merugikan mereka. Masyarakat Koja saat
itu melakukan pengawasan represif, atas ke-tidak terbuka-an pemerintah Provinsi
DKI Jakarta dan tertutupnya pembuatan kebijakan tersebut dari akses rakyat.
Namun,
terlepas dari bagaimana masyarakat melakukan prosedur pengawasan yang bisa
dikatakan anarkis, setidaknya mereka sudah memberi peringatan kepada pemerintah
yang telah melakukan kesalahan karena sudah membuat kebijakan yang tidak
melibatkan pertisipasi masyarakat. Lebih dari itu, kontrol sosial ini berhasil
di blow up oleh media massa yang pada
akhirnya menyebabkan fenomena minimnya partisipasi masyarakat dalam proses
pembangunan pada kasus ini menjadi begitu populis.
Hal
positif lain yang bisa dianalisis dari pengawasan non legal formal ini adalah
meminimalisasi kemungkinan sistem patron-client
atau nepotisme yang terjadi dalam pengawasan internal di dalam institusi
pemerintahan itu sendiri. Lagi-lagi terlepas dari pengawasan masyarakat yang
kurang sopan tersebut, kontrol sosial ini berjalan dengan obyektif. Tidak
memandang siapa yang berada dalam pembuatan kebijakan Oleh karena itu, dalam kasus ini pengawasan
eksternal yang telah dilakukan oleh masyarakat Koja terhadap Pemerintah Provinsi
DKI Jakarta sangat membantu terciptanya kegiatan pembangunan yang lebih baik.
Namun
demikian, pada dasarnya penulis sangat menyayangkan munculnya fenomena
pelampiasan kekesalan warga dan masyarakat Indonesia lain yang mengetahui kasus
ini kepada pihak Satpol PP. Penulis beranggapan bahwa Satpol PP dalam kasus ini
hanya berperan sebagai “korban”, tidak berbeda dengan warga Koja. Satpol PP
hanya memainkan perannya sebagai front
liner, tanpa mereka tahu bagaimana dan mengapa ekskusi penertiban serta
renovasi makam Mbah Priok perlu untuk dilakukan. Kesalahan terbesar terdapat
pada pemerintah yang tidak memaksimalkan partisipasi masyarakat Koja dalam
rencana pembangunan ini. Oleh karena itulah, pelimpahan sumber masalah kepada
Satpol PP merupakan sebuah kesalahan besar.
BAB
4
PENUTUP
4.1.
Kesimpulan
Kerusuhan yang terjadi antara masyarakat Koja dan Satpol PP terhadap rencana
“penertiban” Makam Mbah Priok sebenarnya disebabkan oleh sinergisitas yang
buruk antara masyarakat Koja, Wakil Gubernur Jakarta selaku pemerintah, dan PT.
Pelindo II selaku pihak swasta. Kesalahan penyerapan informasi oleh
masing-masing pihak juga menjadi penyebab terjadinya kerusuhan di Koja. Hal
tersebut menimbulkan ketimpangan pemahaman oleh masing-masing pihak, terutama
masyarakat. Namun, lebih dari itu semua, penyebab utama dari bentrok ini adalah
partisipasi masyarakat yang sangat minim terhadap pembuatan kebijakan ini. Pada
kasus penataan ulang makam Mbah Priok ini, pihak pemerintah dan swasta tidak
mengikutsertakan suara masyarakat atas rencana tersebut. Konsekuensi logis dari
hal tersebut adalah aksi massa yang anarkis berbentuk kerusuhan yang dilakukan
oleh masyarakat Koja dan direspon dengan negatif oleh Satpol PP yang juga tidak
tahu menahu atas keputusan ini.
Dalam kasus ini, masyarakat Koja akhirnya melakukan
fungsi pengawasan eksternal berupa tindakan represif. Tindakan represif
tersebut dapat dikatakan sebagai bentuk kontrol sosial dari masyarakat berupa
bentuk penolakan terhadap rencana pemerintah yang diisukan akan menggusur Makam
Mbah Priok. Bentuk pengawasan eksternal yang dilakukan masyarakat memang tidak
dapat dikatakan sebagai pengawasan yang baik, karena yang terjadi adalah
tindakan represif anarkis. Namun terlepas dari hal tersebut, Pemerintah
Provinsi DKI Jakarta telah mendapatkan “teguran keras” dari masyarakat setempat
dalam proses pembangunan daerahnya
4.2.
Rekomendasi
Menurut penulis, untuk menciptakan good governance dalam setiap proses pengambilan kebijakan pembangunan,
seperti dalam rencana penataan ulang makam Mbah Priok harus melibatkan
partisipasi masyarakat, karena masyarakat bukanlah objek dalam pembangunan.
Selain itu, antara pemerintah, swasta, dan masyarakat harus ada komunikasi yang
sinergis sehingga tidak terjadi kesalahpahaman antara masing-masing pihak.
Daftar Pustaka
Sastropoetro, Santoso. 1986. Partisipasi, Komunikasi, Persuasi dan
Disiplin dalam Pembangunan
Nasional. Bandung: Penerbit Alumni.
Suprayogi, Aribowo. ”Bentrokan di Makam Mbah Priok”
http://berita.liputan6.com/hukrim/201004/272337/Bentrokan.di.Makam.Mbah.Priok
diunduh pada 21 April 2010 pukul 11.17 WIB.
Warung
informasi. ”Mbah Priok-Sejarah Makam Mbah Priok.” http://kutak-ketik.blogspot.com/2010/04/mbah-priok-sejarah-makam-mbah-priok.html.
diunduh pada 21 April 2010 pukul 11.15 WIB.
Winarno, Hery.
“Asal Mula Sengketa Makam Mbah Priok Versi Pemprov DKI.”
http://www.detiknews.com/read/2010/04/14/194712/1338476/10/asal-mula-sengketa-makam-mbah-priok-versi-pemprov-dki.
diunduh pada 21 April 2010 pukul 11.11 WIB.