Sabtu, 18 Februari 2017

MAKALAH PERAN MASYARAKAT DALAM PEMBANGUNAN


BAB 1
PENDAHULUAN

1.1. Latar Belakang Masalah

Pemerintahan di era Presiden Soeharto yang cenderung otoriter menimbulkan rasa tidak puas kepada masyarakat Indonesia. Sistem sentralistik yang dianut saat itu, menjadikan  pemerintah menjadi pihak penyelenggara negara yang kebal dari pengawasan, khususnya dari masyarakat. Pemerintahan yang top down membuat kreatifitas dan inovasi masyarakat menjadi mati karena kebebasan berpendapat dan mengkritik pemerintah sangat dibatasi. Padahal di satu sisi, kebebasan berpendapat dan mengkritik merupakan sebuah hal yang sangat penting agar evaluasi dan akuntabilitas pemerintah dalam menjalankan fungsi pembangunan dapat dipertanggungjawabkan untuk memenuhi kebutuhan masyarakat.
Secara garis besar, masyarakat menginginkan adanya reformasi dalam sistem pemerintahan di Indonesia. Masyarakat menginginkan adanya keterbukaan dalam berpendapat dan penghapusan terhadap sistem sentralistik yang dianggap mematikan pembangunan dan menghambat pemerataan kesejahteraan. Akhirnya dibentuklah undang-undang tentang otonomi daerah yang menandai dimulainya sistem desentralisasi di Indonesia. Desentralisasi dianggap dapat menjawab masalah-masalah pembangunan seperti tidak transparannya penggunaan keuangan, serta memaksimalkan persebaran pembangunan berdasarkan kebutuhan masyarakat. Fungsi pengawasan masyarakat yang belum berkembang saat pemerintahan Soeharto diharapkan dapat muncul dan memberi andil dalam pembangunan negara.
Namun demikian, pemerintahan dan pembangunan yang terdesentralisasi tidak akan berjalan dengan efektif tanpa adanya partisipasi masyarakatnya. Partisipasi masyarakat sangat penting peranannya dalam proses pembangunan di wilayahnya sendiri. Partisipasi masyarakat bisa berbentuk partisipasi dalam pembangunan infrastruktur atau maintenance-nya; partisipasi dalam proses politik; melakukan pengawasan saat pemerintah merumuskan dan melaksanakan kebijakan publik. Penyertaan peran masyarakat dalam sistem pemerintahan akan menimbulkan sinergisitas yang sempurna untuk menciptakan good governance yang menginginkan adanya kerjasama dan partisipasi sempurna dari 3 aktor utama di negara, yaitu pemerintah atau government, pihak swasta atau privat, dan masyarakat atau civil society. Sinergitas ketiga elemen ini sangat penting agar terjadi proses pembuatan kebijakan publik yang berkeadilan dan pembangunan nasional yang merata.
 Pelibatan masyarakat sebagai shareholder dan stakeholder dalam proses perumusan kebijakan, pelaksanaan, dan evaluasinya adalah hal mutlak yang harus terjadi agar good governance dapat benar-benar ditegakkan. Jika dalam pelakasanaannya pemerintah tidak menerapkan nilai dasar good governance yaitu melibatkan partisipasi masyarakat dalam proses kenegaraan, maka yang akan terjadi adalah proses pembangunan yang tidak berkeadilan dan akan menumbuhkan konflik.
Salah satu dampak dari pemerintah tidak menumbuhkan partisipasi masyarakat dalam membuat, memutuskan, dan melaksanakan kebijakan publik ialah banyak terjadinya konflik-konflik sosial. Salah satu contohnya adalah penertiban pedagang kaki lima di wilayah sekitaran mesjid almarkas jalan sunu kecamatan Bontoala pada bulan oktober 2016. Dalam penertiban pedagang kaki lima tersebut tidak berjalan sesuai dengan apa yang kita harapkan yakni masyarakat patuh dan sadar akan kebijakan pemerintah tersebut, namun terjadi gesekan dan konflik antara pedagang dengan pihak pemerintah kota makassar, Disinyalir perlawanan ini terjadi karena masyarakat yang menempati lokasi tersebut sudah beranak cucu dan lama tinggal di tempat itu selain itu masyarakat juga menduga bahwa tidak adanya pemberitahuan sebelumnya yang dilayangkan pemerintah kota makassar sebelum mengadakan penertiban tersebut
Dalam usaha penertiban ini pemerintah kota makassar memberikan prioritas kepada pedagang yang membongkar lapak atau tempat dagangannya secara sukarela akan diberikan kesempatan untuk menempati kios yang telah disiapkan pemerintah di sekitaran lapangan karebosi sehingga pemerintah Kota makassar mengharap tidak hanya memberikan penataan atau penertiban kepada pedagang kaki lima akan tetapi sudah memberikan solusi kepada pedagang dan menyiapkan tempat kios baru bagi mereka yang taat terhadap peraturan dan kebijakan yang berlaku di Kota makassar. Yang menjadi potensi terjadinya kesalah pahaman dalam penertiban tersebut dapat dipicu karena kurangnya koordinasi pemerintah dalam hal ini lurah, camat dan perangkat lpm untuk mengkoordinasikan kebijakan pemerintah dan arah kebijakan adanya penertiban tersebut oleh karena itu Tidak adanya sinergisitas yang seharusnya dilakukan dalam sebuah good governance  dalam pemutusan kebijakan penertiban ini adalah pemicu terjadinya konflik yang tidak seharusnya terjadi.
Oleh karena itu, dalam makalah ini, penulis bermaksud untuk mengkaji lebih jauh bagaimana sebenarnya proses pelibatan masyarakat dalam rencana penertiban Pedagang Kaki Lima (PK5) yang ada di sekitaran mesjid al markas jalan sunu Kelurahan Timungan Lompoa Kecamatan Bontoala Kota Makassar serta mekanisme pengawasannya dalam pelaksanaan rencana tersebut. Dengan demikian, penulis juga berharap makalah ini bisa semakin menguatkan pernyataan bahwa  good governance perlu dibentuk sebaik-baiknya untuk mencegah terjadinya konflik kepentingan yang berbeda satu sama lain antara masyarakat, pemerintah, dan sektor swasta, salah satunya seperti  yang digambarkan pada kasus Penertiban Pedagang Kaki Lima.




1.2. Rumusan Masalah
            Makalah ini memiliki rumusan masalah sebagai berikut:
1.                  Apa penyebab terjadi penolakan yang dilakukan pedagang atas rencana penertiban Pedagang kaki lima di jalan sunu?
2.                  Bagaimana bentuk partisipasi dan pengawasan masyarakat dalam rencana penertiban Pedagang Kaki Lima di jalan sunu?
3.         Bagaimana bentuk ideal partisipasi dan pengawasan masyarakat dalam setiap proses pembangunan?

1.3. Tujuan Penulisan
            Berdasarkan rumusan masalah yang ada, maka tujuan penulisan makalah ini yaitu
1.      Mengetahui penyebab terjadi penolakan yang dilakukan pedagang atas rencana      penertiban dan penataan  Pedagang Kaki lima jalan sunu
2.         Mengetahui bentuk partisipasi dan pengawasan masyarakat dalam rencana penertiban dan penataan  Pedagang Kaki lima jalan sunu
3.        Mengkaji lebih jauh bagaimana bentuk ideal partisipasi dan pengawasan masyarakat dalam setiap proses pembangunan.

1.4. Metode penulisan

            Makalah ini ditulis dengan menggunakan studi literatur dari beberapa bahan bacaan yang berasal dari buku-buku penunjang dan website-website yang memiliki korelasi terhadap tema makalah ini.


BAB 2
KERANGKA TEORI

2.1 Partisipasi  masyarakat
            Istilah partisipasi berasal dari bahasa asing yang artinya mengikutsertakan pihak lain. Beberapa definisi lain mengenai partisipasi adalah :
·   Santoso Sastropoetro mendefinisikan partisipasi sebagai keterlibatan spontan dengan kesadaran disertai tanggung-jawab tehadap kepentingan kelompok untuk mencapai tujuan bersama.
·   Alastraire White mendefinisikan partisipasi sebagai keterlibatan komuniti setempat secara aktif dalam pengambilan keputusan atau pelaksananaannya terhadap proyek-proyek pembangunan.
·   Allport mengemukakan bahwa seseorang yang berpartisipasi sebenarnya mengalami keterlibatan dirinya/egonya yang sifatnya lebih daripada keterlibatan dalam pekerjaan atau tugas saja. Dengan keterlibatan dirinya juga berarti keterlibatan pikiran dan perasaannya.
·   Keith Davis mengemukakan definisi partisipasi  sebagai
“Mental and emotional involvement of a person in a group situation which encourages him to contribute to group goals and share responsibility in them”.
Menurut Davis, partisipasi adalah keterlibatan mental dan emosional orang-orang di dalam situasi kelompok yang mendorong mereka untuk memberikan kontribusi kepada tujuan kelompok atau berbagai tanggung jawab pencapaian tujuan tersebut.
Di dalamnya terdapat tiga buah gagasan yang penting artinya bagi para manajer atau pemimpin yang hendak menerapkan seni partisipasi dan kebanyakan dari mereka sependapat dengan tiga buah gagasan tersebut.
Dari beberapa definisi yang ada dapat disimpulkan bahwa partisipasi memiliki tiga gagasan penting, yakni keterlibatan, kontribusi, dan tanggung jawab.
1.      Keterlibatan mental dan emosional/inisiatif.
Keterlibatan ini bersifat psikologis daripada fisik. Seseorang dalam berpartisipasi lebih terlibat egonya daripada terlibat tugas.[1]
2.      Motivasi kontribusi
Unsur kedua adalah kesediaan menyalurkan sumber inisiatif dan kreatifitasnya untuk mencapai tujuan kelompok.
3.      Tanggung jawab
Partisipasi mendorong orang-orang untuk menerima tanggung jawab dalam aktivitas kelompok. Ini juga merupakan proses sosial yang melaluinya orang-orang menjadi terlibat sendiri dalam organisasi dan ingin mewujudkan keberhasilannya. Pada saat orang-orang ingin menerima tanggung jawab aktivitas kelompok, orang-orang tersebut melihat adanya peluang untuk melakukan hal-hal yang diinginkan, yaitu merasa bertanggung jawab menyelesaikan pekerjaannya. Gagasan tentang upaya menimbulkan kerja tim dalam kelompok ini merupakan langkah utama mengembangkan kelompok untuk menjadi unit kerja yang berhasil. Jika orang ingin melakukan sesuatu, orang tersebut akan menemukan cara melakukannya.[2]
Menurut Keith Davis, partisipasi memiliki beberapa bentuk dan jenis, antara lain :
1.      Bentuk Partisipasi
·         Konsultasi, biasanya dalam bentuk jasa.
·         Sumbangan spontan berupa uang dan barang.
·         Mendirikan proyek yang sifatnya berdikari dan donornya berasal dari sumbangan individu atau instansi yang berada di luar lingkungan tertentu.
·         Sumbangan dalam bentuk kerja, yang biasanya dilakukan oleh tenaga ahli setempat.
·         Aksi massa.
·         Mengadakan pembangunan di kalangan keluarga desa sendiri.
·         Membangun proyek komuniti yang bersifat otonom.
2.      Jenis-jenis partisipasi
·         Pikiran (psychological participation).
·         Tenaga (physical participation).
·         Pikiran dan tenaga (psychological dan physical participation).
·         Keahlian ( participation with skill).
·         Barang (material participation).
·         Uang (money participation).
Selain Keith Davis, Hamijoyo juga mengemukakan beberapa bentuk dari partisipasi, antara lain:
1.   Partisipasi buah pikiran
Partisipasi ini diwujudkan dengan memberikan pengalaman dan pengetahuan guna mengembangkan kegiatan yang diikutinya. Sumbangan pemikiran yang diarahkan pada penataan cara pelayanan dari lembaga/badan yang ada, sehingga mampu berfungsi sosial secara aktif dalam penentuan kebutuhan anggota masyarakat.
2.   Partisipasi tenaga
Partisipasi jenis ini diberikan dalam bentuk tenaga untuk pelaksanaan usaha-usaha yang dapat menunjang keberhasilan dari suatu kegiatan.
3.   Partisipasi keterampilan
Jenis keterampilan ini adalah memberikan dorongan melalui keterampilan yang dimilikinya pada anggota masyarakat lain yang membutuhkannya. Kegiatan ini biasanya diadakan dalam bentuk latihan bagi anggota masyarakat. Partisipasi ini umumnya bersifat membina masyarakat agar dapat memiliki kemampuan memenuhi kebutuhannya.
4.      Partisipasi uang (materi)
Partisipasi ini adalah untuk memperlancar usaha-usaha bagi pencapaian kebutuhan masyarakat yang memerlukan bantuan.
5.      Partisipasi harta benda
Diberikan dalam bentuk menyumbangkan harta benda, biasanya berupa perkakas, alat-alat kerja bagi yang dijangkau oleh badan pelayanan tersebut.
            Terdapat beberapa pakar yang mendefinisikan partisipasi masyarakat. Beberapa definisi tersebut adalah sebagai berikut:
·         Canter mendefinisikan partispasi masyarakat sebagai proses komunikasi dua arah yang berlangsung terus-menerus untuk meningkatkan pengertian masyarakat secara penuh atas suatu proses kegiatan, dimana masalah-masalah dan kebutuhan lingkungan sedang dianalisis oleh badan yang berwenang.[3]
·         Goulet mendefinisikan partisipasi masyarakat sebagai suatu cara melakukan interaksi antara dua kelompok, yaitu kelompok yang selama ini tidak diikutsertakan dalam pengambilan keputusan (non-elite) dan kelompok yang selama ini melakukan pengambilan keputusan (elite).[4]
·         Wingert merinci partisipasi atau peran serta masyarakat menjadi beberapa paham sebagai berikut:
a.       Partisipasi masyarakat sebagai suatu kebijakan
Penganut paham ini berpendapat bahwa partisipasi masyarakat merupakan suatu kebijakan yang tepat dan baik untuk dilaksanakan. Paham ini dilandasi oleh suatu pemahaman bahwa masyarakat yang potensial dikorbankan dan terkorbankan oleh suatu proyek pembangunan memiliki hak untuk dikonsultasikan.
b.      Partisipasi masyarakat sebagai strategi
Penganut paham ini mengendalikan bahwa partisipasi masyarakat merupakan strategi untuk mendapatkan dukungan masyarakat. Pendapat ini didasarkan kepada suatu paham bahwa bila masyarakat merasa memilki akses terhadap pengambilan keputusan dan kepedulian masyarakat kepada tiap tingkatan pengambilan keputusan didomentasikan dengan baik, maka keputusan tersebut akan memilki kredibilitas.
c.       Partisipasi masyarakat sebagai alat komunikasi
Partisipasi masyarakat didayagunakan sebagai alat untuk mendapatkan masukan berupa informasi dalam proses pengambilan keputusan. Persepsi ini dilandasi oleh suatu pemikiran bahwa pemerintah dirancang untuk melayani masyarakat, sehingga pandangan dan preferensi dari masyarakat tersebut adalah masukan yang bernilai guna mewujudkan keputusan yang responsive.
d.      Partispasi masyarakat sebagai alat penyelesaian sengketa
Partisipasi masyarakat didayagunakan sebagai suatu cara untuk mengurangi konflik melalui usaha pencapaian konsensus dari pendapat yang ada. Asumsi yang melandasi paham ini adalah bertukar pikiran dan pandangan dapat meningkatkan pengertian dan toleransi serta mengurangi rasa ketidakpercayaan dan kerancuan.


e.       Partisipasi masyarakat sebagai terapi
Menurut paham ini, peran masyarakat dilakukan untuk mengatasi masalah-masalah psikologis masyarakat seperti halnya ketidakberdayaan, tidak percaya diri, dan perasaan bahwa diri mereka bukan komponen penting di dalam masyarakat.[5]
            Perlunya partisipasi masyarakat juga diungkapkan oleh Koeshadi Hardjasoemantri, bahwa selain untuk memberikan informasi yang berharga kepada para pengambil keputusan, partisipasi masyrakat akan mereduksi kemungkinan kesediaan masyarakat untuk menerima keputusan. Selanjutnya, partisipasi masyarakat akan membantu perlindungan hukum.[6]

2.2       Teori Good Governance
Tata kelola kepemerintahan yang baik (good governance) merupakan suatu konsep yang akhir-akhir ini dipergunakan secara reguler dalam ilmu politik dan administrasi publik. Konsep ini lahir sejalan dengan konsep-konsep dan terminologi demokrasi, masyarakat sipil, partisipasi rakyat, hak asasi manusia, dan pembangunan masyarakat secara berkelanjutan. Pada akhir dasawarsa yang lalu, konsep good governance ini lebih dekat dipergunakan dalam reformasi sektor publik. Di dalam disiplin atau profesi manajemen publik konsep ini dipandang sebagai suatu aspek dalam paradigma baru ilmu administrasi publik. Paradigma baru ini menekankan pada peranan manajer publik agar memberikan pelayanan yang berkualitas kepada masyarakat, mendorong meningkatkan otonomi manajerial terutama mengurangi campur tangan kontrol yang dilakukan oleh pemerintah pusat, transparansi, akuntabilitas publik, dan menciptakan pengelolaan manajerial yang bersih bebas dari korupsi (Thoha, 2004: 78).
Sejumlah perspektif muncul dari paradigma baru ini dan mendorong ramainya diskusi dan perdebatan di arena politik dan akademisi. Di antara perspektif yang berkaitan dengan struktur pemerintahan yang timbul antara lain (Thoha, 2004: 78):
a.   Hubungan antara pemerintah dengan pasar.
b.   Hubungan antara pemerintah dengan rakyatnya.
c.   Hubungan antara pemerintah dengan organisasi vo¬luntary dan sektor privat.
d.  Hubungan antara pejabat-pejabat yang dipilih (politisi) dan pejabat-pejabat yang diangkat (pejabat birokrat).
e.  Hubungan antara lembaga pemerintahan daerah dengan penduduk perkotaan dan pedesaan.
f.    Hubungan antara legislatif dan eksekutif.
g.   Hubungan pemerintah nasional dengan lembaga-lembaga internasional.
Dalam menganalisis perspektif ini banyak para praktisi dan teoretisi dalam bidang administrasi publik merumuskan berbagai prosedur dan proses yang bisa dipergunakan untuk mencapai dan mengidentifikasikan prinsip-prinsip dan asumsi-asumsi dari tata kepemerintahan yang baik. Sementara itu negara donor dan lembaga-lembaga multilateral telah mengambil peran yang mengemuka (a leading role) dalam merumuskan good governance. Salah satunya ialah United Nations Development Programme (UNDP).
UNDP merumuskan istilah governance sebagai suatu exercise dari kewenangan politik, ekonomi, dan administrasi untuk menata, mengatur dan mengelola masalah-masalah sosialnya (UNDP, 1997) Istilah governance menunjukkan suatu proses di mana rakyat bisa mengatur ekonominya, institusi dan sumber-sumber sosial dan politiknya tidak hanya dipergunakan untuk pembangunan, tetapi juga untuk menciptakan kohesi, integrasi, dan untuk kesejahteraan rakyatnya. Dengan demikian jelas sekali, kemampuan suatu negara mencapai tujuan-tujuan pembangunan itu sangat tergantung pada kualitas tata kelola intahannya di mana pemerintah melakukan interaksi dengan organisasi-organisasi komersial dan civil society.
Karim (2003: 45) menyatakan ada 5 prinsip good governance, yaitu transparansi, kesetaraan, daya tanggap, akuntabilitas, dan pengawasan.
Kunci utama memahami good governance, menurut Masyarakat Transparansi Indonesia (MTI), adalah pemahaman atas prinsip-prinsip yang mendasarinya. Bertolak dari prinsip-prinsip ini didapat tolok ukur kinerja suatu pemerintah. Prinsip-prinsip tersebut meliputi:
a. Partisipasi masyarakat: semua warga masyarakat mempunyai suara dalam pengambilan keputusan, baik secara langsung maupun melalui lembagalembaga perwakilan yang sah yang mewakili kepentingan mereka. Partisipasi menyeluruh tersebut dibangun berdasarkan kebebasan berkumpul dan mengungkapkan pendapat, serta kepastian untuk berpartisipasi secara konstruktif.
b. Tegaknya supremasi hukum: kerangka hukum harus adil dan diberlakukan tanpa pandang bulu, termasuk didalamnya hukum-hukum yang menyangkut hak asasi manusia.
c. Transparasi: transparansi dibangun atas dasar informasi yang bebas. Seluruh proses pemerintah, lembaga-lembaga, dan informasi perlu dapat diakses oleh pihak-pihak yang berkepentingan, dan informasi yang tersedia harus memadai agar dapat dimengerti dan dipantau.
d. Peduli dan stakeholder: lembaga-lembaga dan seluruh proses pemerintah harus berusaha melayani semua pihak yang berkepentingan.
e. Berorientas pada konsensus: tata kelola pemerintahan yang baik menjembatani kepentingan-kepentingan yang berbeda demi terbangunnya suatu konsensus menyeluruh dalam hal apa yang terbaik bagi kelompok-kelompok masyarakat, dan bila mungkin, konsensus dalam hal kebijakan-kebijakan dan prosedur-prosedur.
f. Kesetaraan: semua warga masyarakat mempunyai kesempatan memperbaiki atau mempertahankan kesejahteraan mereka.
g. Efektifitas dan efisiensi: proses-proses pemerintahan dan lembaga-lembaga membuahkan hasil sesuai kebutuhan warga masyarakat dan dengan menggunakan sumber-sumber daya yang ada seoptimal mungkin.
h. Akuntabilitas: para pengambil keputusan di pemerintah, sektor swasta, dan organisasi masyarakat bertanggungjawab, baik kepada masyarakat maupun kepada lembaga-lembaga yang berkepentingan.
i. Visi strategis: para pemimpin dan masyarakat memiliki perspektif yang luas dan jauh ke depan atas tata pemerintahan yang baik dan pembangunan manusia, serta kepekaan akan apa saja yang dibutuhkan untuk mewujudkan perkembangan tersebut. Selain itu mereka juga harus memiliki pemahaman atas kompleksitas kesejarahan, budaya, dan sosial yang menjadi dasar bagi perspektif tersebut.
2.3       Teori Administrasi Pembangunan
Administrasi pembangunan mencangkup dua pengertian, yaitu administrasi dan pembangunan. Administrasi adalah keseluruhan proses pelaksanaan keputusan – keputusan yang telah diambil dan diselenggarakan oleh dua atau lebih untuk mencapai tujuan yang telah ditentukan sebelumnya, sedangkan pembangunan didefinisikan sebagai rangkaian usaha mewujudkan pertumbuhan dan perubahan secara terencana dan sadar yang ditempuh oleh suatu negara bangsa menuju modernitas dalam rangka pembinaan bangsa (nation-building).[7] Ada beberapa pengertian administrasi pembangunan menurut para ahli.
Hiram S. Phillips mendefinisikan administrasi pembangunan sebagai rather than the traditional term of public administration to indicate the need for a dynamic process designed particularly to meet requirements of social and economic changes.[8] Pernyataan ini diartikan sebagai lebih baik dari pada masa tradisional administrasi publik untuk menunjukkan kebutuhan untuk suatu proses dinamis yang didesain secara khusus untuk mendapatkan syarat perubahan sosial dan ekonomi.
Paul Meadows mendefinisikan administrasi pembangunan sebagai development administration can be regarded as the public management of economic and social change in term of deliberate public policy. The development administrator is concerned with guiding change.[9] Pernyataan ini diartikan sebagai administrasi pembangunan dapat dipandang sebagai manajemen publik perubahan ekonomi dan sosial yang disengaja dalam masa kebijakan publik. Administrator pembangunan dapat memfokuskan pada perubahan terarah.
2.3.1    Ciri – Ciri Administrasi Pembangunan
Ada beberapa ciri administrasi pembangunan menurut Irving Swerdlow dan Saul M. Katz. Pertama, adanya suatu orientasi administrasi untuk mendukung pembangunan. Administrasi bagi perubahan – perubahan ke arah keadaan yang dianggap lebih baik. Keadaan yang lebih baik ini bagi negara – negara baru berkembang dinyatakan dengan usaha ke arah modernisasi, atau pembangunan bangsa atau pembangunan sosial ekonomi. Di dalam administrasi pembangunan, diberikan uraian mengenai saling kait – berkaitnya administrasi dengan aspek – aspek  pembangunan di bidang politik, ekonomi, sosial-budaya, dan lain – lain. Kedua, adanya peran administrator sebagai unsur pembangunan. Peranan serta fungsi pemerintah  sangat erat kaitannya dengan perencanaan dan pelaksanaan pembangunan. Administrator juga dapat menciptakan suatu sistem dan praktek administrasi yang membina partisipasi dalam pembangunan. Ketiga, perkembangan, baik dalam ilmu maupun pelaksanaan perencana pembangunan terdapat orientasi yang semakin besar memberikan perhatian terhadap aspek pelaksanaan rencana. Suatu perencanaan yang berorientasi pada pelaksanaannya akan lebih banyak memperhatikan aspek administrasi dalam aspek pembangunannya. Keempat, administrasi pembangunan masih berdasarkan pada prinsip – prinsip administrasi negara. Namun, administrasi pembangunan memiliki ciri – ciri yang lebih maju daripada administrasi negara.
Sondang P. Siagian juga merumuskan ciri – ciri administrasi pembangunan. Pertama, Administasi pembangunan lebih memberikan perhatian terhadap lingkungan masyarakat yang berbeda – beda, terutama bagi lingkungan  masyarakat negara – negara baru berkembang. Kedua, administrasi pembangunan mempunyai peran aktif dan berkepentingan terhadap tujuan – tujuan pembangunan, baik dalam perumusan kebijaksanaannya maupun dalam pelaksanaannya yang efektif. Bahkan, administrasi ikut serta mempengaruhi tujuan – tujuan pembangunan masyarakat dan menunjang pencapaian tujuan – tujuan sosial, ekonomi, dan lain – lain yang dirumuskan kebijaksanaannya dalam proses politik. Ketiga, administrasi pembangunan berorientasi kepada usaha – usaha yang mendorong perubahan ke arah keadaan yang dianggap lebih baik untuk suatu masyarakat di masa depan atau berorientasi masa depan. Keempat, administrasi pembangunan lebih berorientasi kepada pelaksanaan tugas – tugas pembangunan dari pemerintah. Administrasi pembangunan  lebih bersikap sebagai ”development agent”, yakni  kemampuan untuk merumuskan kebijaksanaan – kebijaksanaan pembangunan dan pelaksanaan yang efektif, serta sebagai kemampuan dan pengendalian instrumen – instrumen bagi pencapaian tujuan – tujuan pembangunan. Kelima, administrasi pembangunan harus mengaitkan diri dengan substansi perumusan kebijaksanaan dan pelaksanaan tujuan – tujuan pembangunan di berbagai bidang yaitu ekonomi, sosial, budaya, dan lain – lain. Keenam, dalam administrasi pembangunan, administrator dalam aparatur pemerintah juga bisa menjadi pergerak perubahan. Ketujuh, administrasi pembangunan lebih berpendekatan lingkungan, berorientasi pada kegiatan, dan bersifat pemecahan masalah. Ketiga unsur ini disebut mission driven.



2.3.3    Fungsi dan Peran Pemerintah dalam Pembangunan
            Menurut Awaloedin[10], ada beberapa cara pelaksanaan peranan pemerintah, antara lain:
1.                  Fungsi pengaturan, dibagi lagi menjadi beberapa fungsi, yaitu penentuan kebijaksanaan, pemberian pengarahan dan bimbingan, pengaturan melalui perizinan, dan pengawasan. Fungsi pengaturan ini akan menghasilkan output berupa berbagai peraturan.
2.                  Kepemilikan sendiri dari usaha – usaha ekonomi atau sosial yang penyelenggaraannya dapat dilakukan sendiri atau oleh swasta.
3.                  Penyelenggaraan sendiri dari berbagai kegiatan – kegiatan ekonomi atau sosial.
Fungsi pokok pemerintah dapat dibagi menjadi dua tugas, yakni tugas pemerintahan rutin atau umum dan tugas pemerintahan pembangunan. Tugas pemerintahan umum dapat dilakukan dalam rangka pemerintahan umum, pemeliharaan ketertiban, keamanan, dan pelaksanaan hukum. Tugas ini seringkali diperluas dengan  tugas – tugas pelayanan umum yang dilakukan, baik melalui penyelenggaraan sendiri maupun melalui pelaksanaan fungsi pengaturan. Di samping itu, tugas pembangunan dilakukan dalam rangka penyesuaian kepentingan sosial dan ekonomi tradisional dengan kebutuhan pembangunan. Tugas pembangunan termasuk di dalamnya tugas memajukan kesejahteraan umum yang terdiri dari  tugas mengemban mobilisasi daya dan dana untuk pembangunan dan pengalokasian sumber – sumber daya yang rasional dan tepat.
2.4        Teori Pengawasan
            Menurut Stoner dan Wankel “Pengawasan berarti para manajer berusaha untuk meyakinkan bahwa organisasi bergerak dalam arah atau jalur tujuan. Apabila salah satu bagian dalam organisasi menuju arah yang salah, para manajer berusaha untuk mencari sebabnya dan kemudian mengarahkan kembali ke jalur tujuan yang benar “.
Sementara itu menurut McFarland (dalam Handayaningrat, 1994:143). “Control is the process by which an executive gets the performance of his subordinates to correspondas closely as possible to chosen plans, orders, objectives, or policies “. [11](Pengawasan ialah suatu proses dimana pimpinan ingin mengetahui apakah hasil pelaksanaan pekerjaan yang dilakukan oleh bawahannya sesuai dengan rencana, perintah, tujuan, atau kebijaksanaan yang telah ditentukan ).
Selanjutnya Smith menyatakan bahwa:“Controlling“ sering diterjemahkan pula dengan pengendalian, termasuk di dalamnya pengertian rencana-rencana dan norma-norma yang mendasarkan pada maksud dan tujuan manajerial, dimana norma-norma ini dapat berupa kuota, target maupun pedoman pengukuran hasil kerja nyata terhadap yang ditetapkan.
Pengawasan merupakan kegiatankegiatan dimana suatu sistem terselenggarakan dalam kerangka norma-norma yang ditetapkan atau dalam keadaan keseimbangan bahwa pengawasan memberikan gambaran mengenai hal-hal yang dapat diterima, dipercaya atau mungkin dipaksakan, dan batas pengawasan (control limit) merupakan tingkat nilai atas atau bawah suatu sistem dapat menerima sebagai batas toleransi dan tetap memberikan hasil yang cukup memuaskan.
Dalam manajemen, pengawasan (controlling) merupakan suatu kegiatan untuk mencocokkan apakah kegiatan operasional (actuating) di lapangan sesuai dengan rencana (planning) yang telah ditetapkan dalam mencapai tujuan (goal) dari organisasi. Dengandemikian yang menjadi obyek dari kegiatan pengawasan adalah mengenai kesalahan, penyimpangan, cacat dan hal-hal yang bersifat negatif seperti adanya kecurangan,pelanggaran dan korupsi.         
Menurut Winardi "Pengawasan adalah semua aktivitas yang dilaksanakan oleh pihak manajer dalam upaya memastikan bahwa hasil aktual sesuai dengan hasil yang direncanakan". Sedangkan menurut Basu Swasta "Pengawasan merupakan fungsi yang menjamin bahwa kegiatan-kegiatan dapat memberikan hasil seperti yang diinginkan".
Menurut Sondang P.Siagian, Pengawasan adalah Proses pengamatan pelaksanaan seluruh kegiatan organisasi untuk menjamin agar semua pekerjaan yang sedang dilaksanakan berjalan sesuai dengan rencana yang telah ditentukan. Menurut Suyamto, Pengawasan adalah segala usaha atau kegiatan untuk mengetahui dan menilai kenyataan yang sebenarnya mengenai pelaksanaan tugas atau kegiatan, apakah sesuai dengan yang semestinya atau tidak .
Lebih lanjut menurut Komaruddin mengatakan, "Pengawasan adalah berhubungan dengan perbandingan antara pelaksana aktual rencana, dan awal Unk langkah perbaikan terhadap penyimpangan dan rencana yang berarti". [12]
Lebih lanjut menurut Kadarman”Pengawasan adalah suatu upaya yang sistematik untuk menetapkan kinerja standar pada perencanaan untuk merancang sistem umpan balik informasi, untuk membandingkan kinerja aktual dengan standar yang telah ditentukan, untuk menetapkan apakah telah terjadi suatu penyimpangan tersebut, serta untuk mengambil tindakan perbaikan yang diperlukan untuk menjamin bahwa semua sumber daya perusahaan telah digunakan seefektif dan seefisien mungkin guna mencapai tujuan perusahaan.”
2.4.2 Jenis-jenis Pengawasan
Menurut Schermerhorn (2001), jenis-jenis pengawasan terbagi menjadi:
  1. Pengawasan Feedforward (umpan di depan)
  Dilakukan sebelum aktivitas dimulai
  Dalam rangka menjamin: kejelasan sasaran; tersedianya arahan yang memadai;ketersediaan sumberdaya yang dibutuhkan
  Memfokuskan pada kualitas sumberdaya
2.      Pengawasan Concurrent (bersamaan)
  Memfokuskan kepada apa yang terjadi selama proses berjalan
  Memonitor aktivitas yang sedang berjalan untuk menjamin segala sesuatu dilaksanakan sesuai rencana
  Dapat mengurangi hasil yang tidak diinginkan
  1. Pengawasan Feedback (umpan balik)
  Terjadi setelah aktivitas selesai dilaksanakan
  Memfokuskan kepada kualitas dari hasil
  Menyediakan informasi yang berguna untuk meningkatkan kinerja di masa depan
  1. Pengawasan Internal & Eksternal
  Pengawasan Internal: memberikan kesempatan untuk memperbaiki sendiri
  Pengawasan Eksternal: terjadi melalui supervisi dan penggunaan sistem administrasi formal
Sementara itu,  dalam birokrasi dan lembaga, pengawasan terbagi atas (Nugraha, et all, 2005):
1.      Pengawasan Internal dan Eksternal
Pengawasan internal adalah pengawasan dilakukan oleh orang atau badan yang ada di dalam lingkungan unit organisasi yang bersangkutan seperti pengawasan atasan langsung atau pengawasan melekat.contoh:Itjen, Bawasda, BPKP
Pengawasan Eksternal adalah pengawasan yang dilakukan oleh orang atau badan yang ada di luar unit organisasi yang bersangkutan.contoh:BPK, KPK, dan ORI.
2.      Pengawasan Preventif dan Represif
Pengawasan preventif adalah pengawasan yang dilakukan terhadap suatu kegiatan sebelum kegiatan itu dilaksanakan sehingga dapat mencegah terjadinya penyimpangan. Pengawasan ini lebih bermanfaat dan bermakna jika dilakukan oleh atasan langsung.
Pengawasan represif adalah pengawasan yang dilakukan terhadap kegiatan setelah kegiatan itu dilakukan. laporan pelaksanaan anggaran di akhir tahun.
3.      Pengawasan Aktif dan Pasif
Pengawasan Aktif (dekat) adalah  pengawasan yang dilaksanakan di tempat kegiatan yang bersangkutan dan pengawasan ini bersifat melekat.
Pengawasan Pasif (jauh) adalah pengawasan dengan melakukan penerimaan dan pengujian terhadap laporan pertanggungjawaban. Pengawasan kebenaran formil menurut Hak (Rechtimatigheid) dan pemeriksaan kebenaran materiil mengenai maksud tujuan pengeluaran (doelmatigheid).
4.      Pengawasan Formal dan Informal
Pengawasan formal dilakukan oleh instansi/pejabat yang berwenang, baik yang bersifat internal maupun eksternal. Di lain pihak, pengawasan informal  dilakukan oleh masyarakat, baik langsung maupun tidak langsung atau sebagai social control.
2.4.3 Tujuan Pengawasan
            Tujuan utama pengawasan adalah ikut berusaha memperlancar roda pembangunan serta mengamankan hasil – hasil pembangunan. Pengawasan diperlukan bukan karena kurang kepercayaan dan bukan pula ditujukan mencari – cari kesalahan atau mencari siapa yang salah, tetapi untuk memahami apa yang salah demi perbaikan di masa datang.
Selain tujuan utama di atas, pengawasan juga memiliki peran-peran strategis, yakni diantaranya adalah :
  Memastikan bahwa segala sesuatunya berjalan sesuai dengan mandat, visi, misi, tujuan serta target-target organisasi.
  Mengetahui tingkat akuntabilitas kinerja tiap instansi yang akan dijadikan para meter penilaian keberhasilan dan kegagalan pelaksanaan misi organisasi dalam mencapai tujuan dan sasaran yang telah ditetapkan dalam Renstra instansi
  Dua tujuan utama yaitu akuntabilitas dan proses belajar
  Dari sisi akuntabilitas, sistem pengawasan akan memastikan bahwa dana pembangunan digunakan sesuai dengan etika dan aturan hukum dalam rangka memenuhi rasa keadilan
  Dari sisi proses belajar, sistem pengawasan akan memberikan informasi tentang dampak dari program atau intervensi yang dilakukan, sehingga pengambil keputusan dapat belajar tentang bagaimana menciptakan program yang lebih efektif












BAB 3
ANALISIS MASALAH

3.1       Studi Kasus: Penertiban Pedagang Kaki Lima Di Jalan Sunu Kecamatan Bontoala Kota Makassar
Penertiban Pedagang kaki lima yang ada disekitar jalan sunu kecamatan Bontoala Kota Makassar merupakan prioritas utama bagi pemerintah kota makassar penertiban ini merupakan pertama kali dilakukan oleh pedagang yang telah berjualan di tempat tersebut selama puluhan tahun, wali kota makassar yang turun langsung dan menyaksikan pembongkaran lapak oleh para pedagang tersebut menyampaikan akan memprioritaskan mereka direkolasi ke tempat baru yang disiapkan pemerintah kota makassar, satu kesyukuran adanya kesadaran dari masyarakat khususnya pedagang kaki lima yang bersangkutan mau membongkar sendiri tempat mereka dengan sukarela tanpa adanya perlawanan atau bentrokan, dan yang ini akan dijadikan utama dan prioritas menempati tempat yang telah disiapkan oleh pemerintah yaitu tepatnya di Sekitaran Lapangan Karebosi.
Penertiban pedagang kaki lima di sekitaran jalan sunu karena memang betul betul menjadi kendala dan pelanggaran bagi setiap pengguna jalan maupun fasilitas umum lainnya, selain mengganggu pengguna lainnya pedagang kaki lima juga kerap tidak tertib dalam hal pengelolaan persampahan dan kepedulian terhadap lingkungan seperti halnya bagi mereka yang menjajakan makanan cepat saji, mereka meninggalkan sampah dan kotoran di tempat umum sehingga mencemarkan hal yang tidak baik bagi pengguna fasilitas umum lainnya, selain itu juga menimbulkan kemacetan kendaraan di sekitaran jalan sunu dan sekitaran mesjid al-markas, berdasarkan data dari dinas sosial dan pemerintah kota makassar bahwa pedagang kaki lima yang akan direkolasi dari 7600 pk5 makassar yang rencananya akan dilakukan penataan setelah 47 PK5 ini telah mencapai kata sepakat dengan pemerintah kota makassar.
Dalam pelaksanaan penertiban Pedagang kaki lima ini belum berjalan maksimal karena selain ada pedagang yang sadar dan sukarela untuk membongkar sendiri bangunannya ada juga pedagang yang enggan
Tragedi Priok bermula dari konflik yang terjadi antara PT Pelindo dengan ahli waris Habib Hasan bin Muhammad Al Haddad atau yang lebih dikenal dengan Mbah Priok. PT Pelindo mengklaim bahwa tanah di Makam Mbah Priok adalah miliknya, namun di sisi lain, menurut ahli waris, tanah tersebut merupakan miliknya berdasarkan Eigendom Verponding nomor 4341 dan No 1780 di lahan seluas 5, 4 Ha. Pengadilan Negeri Jakarta Utara pernah memutuskan bahwa tanah tersebut secara sah milik PT Pelindo pada tanggal 5 Juni 2002. Ini didasarkan pada Hak Pengelolaan Lahan (HPL) Nomor 01/Koja dengan luas 145,2 hektar.
Pada dasarnya, Makam Mbah Priok yang asli sudah dipindahkan ke Tempat Pemakaman Umum (TPU) Semper 21 Agustus 1997 dengan surat keputusan No 80/-177.11 dari Dinas Pertamanan dan Pemakaman DKI. Namun pada perkembangannya, ahli waris kembali membangun kompleks makam Mbah Priok pada September tahun 1999 tanpa seizin PT Pelindo karena ahli waris masih mengklaim bahwa sebagian tanah yang menjadi hak pengelolaan PT Pelindo ada yang masih menjadi haknya. Di sisi lain, PT Pelindo merasa kalau pembangunan kembali kompleks makam tersebut sepihak dan dianggap menjadi bangunan liar.
PT Pelindo sebenarnya masih melakukan toleransi terhadap pembangunan kembali makam tersebut, namun munculnya bangunan-bangunan ilegal selain pembangunan makam itulah yang menurut PT Pelindo harus ditertibkan.
Oleh karena itu, PT Pelindo meminta bantuan Pemerintah Provinsi DKI Jakarta Utara untuk menertibkan bangunan liar tersebut, namun ahli waris dan masyarakat yang memiliki kepentingan dalam keberadaan Makam Mbah Priok tidak mengetahui tentang keputusan penertiban makam. Akhirnya saat dilakukan eksekusi, masyarakat dan ahli waris  yang merasa belum mendapat kesepakatan akan penertiban bangunan liar, melawan balik Satpol PP yang sebenarnya hanya ditugaskan untuk menertibkan bangunan liar di sekitar Makam Mbah Priok, bukan menggusur makam itu sepenuhnya.
 Perintah penertiban yang dilakukan oleh Satpol PP, pada dasarnya sudah sesuai dengan instruksi gubernur DKI nomor 132/2009 tentang penertiban bangunan. Lebih dari itu, setelah dilakukan penertiban atas bangunan liar tersebut, pemerintah setempat memiliki rencana untuk melakukan penataan ulang pada Makam Mbah Priok dan arealnya akan diperluas dari 20 meter persegi menjadi 100 meter persegi. Masyarakat yang terlibat bentrok salah paham dengan maksud penertiban yang akan dilakukan oleh Satpol PP karena ada yang mengisukan Makam Mbah Priok akan dibongkar oleh orang yang tidak bertanggung jawab.
Persilangan pendapat dan saling klaim atas tanah Makam Mbah Priok yang belum mencapai kesepakatan final, serta kurangnya sosialisasi pemerintah kepada masyarakat yang hanya bermaksud menggusur bangunan liar berubah menjadi bentrokan yang tidak bisa dihindari. Meluasnya area konflik juga diduga muncul akibat ada provokasi orang-orang yang tidak bertanggung jawab. Akibatnya  korban luka-luka terhitung mencapai hampir 200 orang, dan ada beberapa korban yang meninggal. Kerugian negara akibat bentrokan tersebut juga mencapai miliaran rupiah karena aset negara seperti kendaraan dinas dirusak oleh masyarakat yang tidak puas dengan kebijakan pemerintah.

3.2 Analisis Kasus
            Kasus bentrok yang terjadi antara masyarakat Koja dan Satuan Polisi Pamong Praja (Satpol PP) merupakan salah satu contoh dari kasus informasi asimetris yang didapat oleh kedua belah pihak dari Pemerintah Provinsi DKI Jakarta. Hal ini dikarenakan bahwa pada dasarnya isu penggusuran yang didapatkan masyarakat merupakan sebuah kabar burung yang hanya menyebabkan masyarakat tersebut menjadi sangat emosional ketika berhadapan dengan Satpol PP. Padahal saat itu, yang akan dilakukan oleh Satpol PP tersebut hanya menertibkan bangunan liar yang ada di sekitar bangunan Makam Mbah Priok.
            Secara legal, lahan Makam Mbah Priok memang sudah menjadi hak milik PT Pelindo II. Hal ini jelas terlihat dari putusan yang dikeluarkan oleh Pengadilan Negeri Jakarta Utara pada 5 Juni 2002. Namun hal penting yang patut untuk dianalisis adalah ketidaktahuan masyarakat terhadap rencana pemerintah untuk merenovasi bangunan tersebut dan menambah luas lahannya menjadi 100 meter persegi, serta menertibkan banguna liar yang ada di sekitarnya.
            Jika dilihat dari konsep partisipasi masyarakat, penulis tidak melihat adanya korelasi positif yang tercipta antara pelibatan masyarakat dan konflik yang terjadi dalam kasus ini. Artinya, jika memang masyarakat Koja dilibatkan dalam perumusan rencana Pemerintah Provinsi DKI Jakarta dengan PT Pelindo II terkait keberadaan Makam Mbah Priok, tentu masyarakat setempat tidak serta merta merasa “terkejut” dengan kehadiran Satpol PP, yang pada akhirnya menjadi bentrok satu sama lain.
            Dalam pembuatan sebuah kebijakan publik, seharusnya masyarakat memiliki peran sebagai stakeholder yang memiliki hak penuh atas proses pembuatan kebijakan tersebut. Hal ini dikarenakan kebijakan publik tersebut akan memiliki keterkaitan dalam keberlangsungan masyarakat. Pada kasus ini, dapat dilihat bahwa perumusan kebijakan untuk menertibkan bangunan liar di sekitar bangunan Makam Mbah Priuk sekaligus merenovasi makam tersebut tidak disertai dengan pelibatan partisipasi masyarakat ataupun melakukan konsultasi publik.
            Musyawarah Perencanaan Pembangunan atau yang biasa dikenal dengan Musrenbang pun tampak tidak disebut-sebut dalam tahap pembuatan kebijakan pemabangunan ini. Padahal seharusnya, musrenbang sebagai sarana penyatuan kesepakatan antara masyarakat dan pemerintah, bahkan juga pihak swasta, dalam hal ini ialah PT Pelindo bisa mewadahi samua kepentingan masing-masing pihak. Koja, meskipun bukan sebuah kabupaten, setidaknya memiliki relevansi untuk menerapkan bagan di bawah ini dalam setiap rencana pembangunan, termasuk rencana renovasi Makam Mbah Priok.
           
Berdasarkan bagan di atas, dapat dilihat bahwa dalam sebuah sistem strategis dari pembangunan, peran partisipasi masyarakat haruslah seimbang dengan peran pemerintah dan swasta. Artinya, dalam perencanaan pembangunan, masyarakat dipandang sebagai subjek, bukan objek pembangunan. Sama halnya dengan pemerintah melibatkan pihak swasta.
              Pemaparan tersebut mencerminkan sebuah konsep tata kelola pemerintahan yang baik (good governance), dimana pemerintah tidak lagi menjadi aktor tunggal dalam segala hal yang berkaitan dengan penyelenggaraan kegiatan negara, akan tetapi ada aktor-aktor lain yang memiliki peran yang sama dengan pemerintah, yaitu swasta dan masyarakat.
Manurut hemat penulis, bentrok yang terjadi antara masyarakat Koja dan Satpol PP merupakan sebuah konsekuensi logis dari tidak diikutsertakannya masyarakat dalam rencana prenovasi bangunan makam ini. Satpol PP yang juga tidak tahu menahu mengenai urusan keputusan Pemprov DKI Jakarta untuk merenovasi Makam Mbah Priuk  akhirnya melakukan perlawanan terhadap respon negatif masyarakat. Hal ini diperparah oleh adanya kelompok ketiga yang memprovokasi masing-masing pihak yang mengalami bentrok. Dengan kata lain, tata kelola pemerintahan pada kasus ini belumlah berjalan dengan baik.
            Keputusan Pemprov DKI Jakarta terkait kasus ini memang tidak melibatkan partsisipasi masyarakat, akan tetapi pihak swasta, dalam hal ini ialah PT Pelindo, menjadi pihak yang turut memutuskan hal tersebut. Namun kemudian, perlu dipertanyakan, apakah kesepakatan yang dibuat tanpa partisipasi masyarakat ini memiliki kecenderungan unsur kongkalikong antara kedua pihak. Kecenderungan inilah yang disebabkan oleh partisipasi masyarakat yang minim sehingga berakhir dengan aksi massa yang anarkis.
            Pada dasarnya, permasalahan pembangunan bisa diatasi dengan pelaksanaan fungsi pengawasan dalam kegiatan pembangunan itu sendiri, baik pengawasan internal, maupun pengawasan eksternal. Pengawasan yang bisa dilakukan oleh masyarakat merupakan pengawasan eksternal. Salah satu bentuk dari pengawasan eksternal tersebut adalah kontrol sosial yang dilakukan oleh masyarakat, bisa dalam bentuk preventif ataupun represif.
            Masyarakat tidak bisa melakukan pengawasan eksternal yang baik tanpa adanya keterbukaan pemerintah setempat. Pada kasus yang terjadi di Koja, masyarakat tidak mendapatkan informasi yang terbuka dari pemerintah mengenai rencana pembangunan ini. Bahkan secara sepihak, pemerintah setempat memutuskan untuk menurunkan pasukan Satpol PP dalam jumlah yang banyak. Konsekuensi logis dari keadaan tersebut adalah, kontrol sosial yang dilakukan oleh masyarakat bukanlah sebagai fungsi preventif atau mencegah terjadinya bentrok atu konflik lain, melainkan sebagai fungsi represif.
             Pengawasan yang dilakukan oleh masyarakat Koja termasuk pengawasan represif karena masyarakat melakukan kontrol sosial dalam bentuk yang anarkis ini setelah terjadinya keputusan yang dibuat oleh pemerintah dan PT Pelindo II yang berujung pada bentrok tersebut. Masyarakat tersebut melakukan aksi penolakan terhadap keputusan yang dibuat pemerintah karena merasa keputusan tersebut merugikan  mereka. Masyarakat Koja saat itu melakukan pengawasan represif, atas ke-tidak terbuka-an pemerintah Provinsi DKI Jakarta dan tertutupnya pembuatan kebijakan tersebut dari akses rakyat.
Namun, terlepas dari bagaimana masyarakat melakukan prosedur pengawasan yang bisa dikatakan anarkis, setidaknya mereka sudah memberi peringatan kepada pemerintah yang telah melakukan kesalahan karena sudah membuat kebijakan yang tidak melibatkan pertisipasi masyarakat. Lebih dari itu, kontrol sosial ini berhasil di blow up oleh media massa yang pada akhirnya menyebabkan fenomena minimnya partisipasi masyarakat dalam proses pembangunan pada kasus ini menjadi begitu populis.
Hal positif lain yang bisa dianalisis dari pengawasan non legal formal ini adalah meminimalisasi kemungkinan sistem patron-client atau nepotisme yang terjadi dalam pengawasan internal di dalam institusi pemerintahan itu sendiri. Lagi-lagi terlepas dari pengawasan masyarakat yang kurang sopan tersebut, kontrol sosial ini berjalan dengan obyektif. Tidak memandang siapa yang berada dalam pembuatan kebijakan  Oleh karena itu, dalam kasus ini pengawasan eksternal yang telah dilakukan oleh masyarakat Koja terhadap Pemerintah Provinsi DKI Jakarta sangat membantu terciptanya kegiatan pembangunan yang lebih baik.
Namun demikian, pada dasarnya penulis sangat menyayangkan munculnya fenomena pelampiasan kekesalan warga dan masyarakat Indonesia lain yang mengetahui kasus ini kepada pihak Satpol PP. Penulis beranggapan bahwa Satpol PP dalam kasus ini hanya berperan sebagai “korban”, tidak berbeda dengan warga Koja. Satpol PP hanya memainkan perannya sebagai front liner, tanpa mereka tahu bagaimana dan mengapa ekskusi penertiban serta renovasi makam Mbah Priok perlu untuk dilakukan. Kesalahan terbesar terdapat pada pemerintah yang tidak memaksimalkan partisipasi masyarakat Koja dalam rencana pembangunan ini. Oleh karena itulah, pelimpahan sumber masalah kepada Satpol PP merupakan sebuah kesalahan besar.











BAB 4
                                                                   PENUTUP
4.1. Kesimpulan
            Kerusuhan yang terjadi antara  masyarakat Koja dan Satpol PP terhadap rencana “penertiban” Makam Mbah Priok sebenarnya disebabkan oleh sinergisitas yang buruk antara masyarakat Koja, Wakil Gubernur Jakarta selaku pemerintah, dan PT. Pelindo II selaku pihak swasta. Kesalahan penyerapan informasi oleh masing-masing pihak juga menjadi penyebab terjadinya kerusuhan di Koja. Hal tersebut menimbulkan ketimpangan pemahaman oleh masing-masing pihak, terutama masyarakat. Namun, lebih dari itu semua, penyebab utama dari bentrok ini adalah partisipasi masyarakat yang sangat minim terhadap pembuatan kebijakan ini. Pada kasus penataan ulang makam Mbah Priok ini, pihak pemerintah dan swasta tidak mengikutsertakan suara masyarakat atas rencana tersebut. Konsekuensi logis dari hal tersebut adalah aksi massa yang anarkis berbentuk kerusuhan yang dilakukan oleh masyarakat Koja dan direspon dengan negatif oleh Satpol PP yang juga tidak tahu menahu atas keputusan ini.
            Dalam kasus ini, masyarakat Koja akhirnya melakukan fungsi pengawasan eksternal berupa tindakan represif. Tindakan represif tersebut dapat dikatakan sebagai bentuk kontrol sosial dari masyarakat berupa bentuk penolakan terhadap rencana pemerintah yang diisukan akan menggusur Makam Mbah Priok. Bentuk pengawasan eksternal yang dilakukan masyarakat memang tidak dapat dikatakan sebagai pengawasan yang baik, karena yang terjadi adalah tindakan represif anarkis. Namun terlepas dari hal tersebut, Pemerintah Provinsi DKI Jakarta telah mendapatkan “teguran keras” dari masyarakat setempat dalam proses pembangunan daerahnya
4.2. Rekomendasi
            Menurut penulis, untuk menciptakan good governance dalam setiap proses pengambilan kebijakan pembangunan, seperti dalam rencana penataan ulang makam Mbah Priok harus melibatkan partisipasi masyarakat, karena masyarakat bukanlah objek dalam pembangunan. Selain itu, antara pemerintah, swasta, dan masyarakat harus ada komunikasi yang sinergis sehingga tidak terjadi kesalahpahaman antara masing-masing pihak.
Daftar Pustaka
Davis, Keith., dan John W. Newstrom. 1995. Perilaku Dalam Organisasi. Edisi Ketujuh. Terjemahan. Jakarta : Erlangga.
Dr. Awaloedin Djamin, “Masalah Organisasi dalam Administrasi Pembangunan”, Prisma No. 4, Agustus 1974, hal. 14.
Jurusan Ekonomi Manajemen, Fakultas Ekonomi – Universitas Kristen Petra. ”Jurnal Manajemen & Kewirausahaan” http://puslit.petra.ac.id/journals/management/. Vol. 2, No. 1, Maret 2000.
Phillips, H.S.  “Development Administration and The Alliance of Progress”, International Review of the Administrative Science, Vol. XXIX, 1968.
Sastropoetro, Santoso. 1986. Partisipasi, Komunikasi, Persuasi dan Disiplin dalam            Pembangunan Nasional. Bandung: Penerbit Alumni.
Siagian, Sondang. “Konsepsi dan Masalah – Masalah Administrasi Pembangunan.”, Administrasi Negara, Tahun X, No. 1, Mei 1970.
---------------------- 2007. Administrasi Pembangunan Konsep, Dimensi, dan Strateginya. Jakarta: Penerbit PT Bumi Aksara.
Sirajudin, dkk. 2006. Hak Rakyat Mengontrol Negara. Jakarta: Yappika.
Suprayogi, Aribowo. ”Bentrokan di Makam Mbah Priok” http://berita.liputan6.com/hukrim/201004/272337/Bentrokan.di.Makam.Mbah.Priok diunduh pada 21 April 2010 pukul 11.17 WIB.
Swerdlow, Irving. 1963. Development Administration, Concepts and Problems. New York: Syracuse University Press.
Warung informasi. ”Mbah Priok-Sejarah Makam Mbah Priok.” http://kutak-ketik.blogspot.com/2010/04/mbah-priok-sejarah-makam-mbah-priok.html. diunduh pada 21 April 2010 pukul 11.15 WIB.
Winarno, Hery. “Asal Mula Sengketa Makam Mbah Priok Versi Pemprov DKI.” http://www.detiknews.com/read/2010/04/14/194712/1338476/10/asal-mula-sengketa-makam-mbah-priok-versi-pemprov-dki. diunduh pada 21 April 2010 pukul 11.11 WIB.














[10] Dr. Awaloedin Djamin, “Masalah Organisasi dalam Administrasi Pembangunan”, Prisma No. 4, Agustus 1974, hal. 14.
[11] Jurnal Manajemen & Kewirausahaan Vol. 2, No. 1, Maret 2000: 43 – 56 Jurusan Ekonomi Manajemen, Fakultas Ekonomi – Universitas Kristen Petra
http://puslit.petra.ac.id/journals/management/
46


1 komentar:

  1. izin copas yaa gan sebagai bahan pembahasan dikampuss. Suksesss teruss :)))

    BalasHapus