Kamis, 25 Mei 2017

Makalah Tentang Revitalisasi Prinsip-Prinsip Good GovernanceDalam Rangka Penyelenggaraan Pemerintahan Yang Baik, Bersih, Dan Bebas Korupsi, Kolusi, Serta Nepotisme



BAB I
PENDAHULUAN

A.    LATAR BELAKANG
Pemerintahan dibentuk dengan maksud untuk membangun peradaban dan menjaga sistem ketertiban sosial sehingga masyarakat bisa menjalani kehidupan secara wajar dalam konteks kehidupan bernegara. Dalam perkembangannya, konsep pemerintahan mengalami transformasi paradigma dari yang serba negara ke orientasi pasar (market or public interest), dari pemerintahan yang kuat, besar dan otoritarian ke orientasi small and less government, egalitarian dan demokratis, serta transformasi sistem pemerintahan dari yang sentralistik ke desentralistik.
Penyelenggaraan pemerintahan yang baik adalah landasan bagi penyusunan dan penerapan kebijakan negara yang demokratis dalam era globalisasi. Fenomena demokrasi ditandai dengan menguatnya kontrolmasyarakat
terhadap penyelenggaraan pemerintahan, sementara fenomena globalisasi ditandai dengan saling ketergantungan antara bangsa, terutama dalam pengelolaan sumber -sumber daya ekonomi dan aktivitas dunia usaha.
Pemerintahan yang bersih umumnya berlangsung di negara yang masyarakatnya menghormati hukum. Pemerintahan yang seperti ini juga disebut sebagai pemerintahan yang baik. Pemerintahan yang baik itu hanya bisa dibangun melalui pemerintahan yang bersih dengan aparatur birokrasinya yang terbebas dari KKN. Dalam rangka mewujudkan pemerintahan yang bersih, pemerintah harus memiliki moral dan proaktif serat check andbalances, Tidak mungkin mengharapkan pemerintah sebagai suatu komponen dari proses politik memenuhi prinsip pemerintahan yang bersih apabila tidak memiliki moral, Proaktif serta check and balances.
Korupsi di Indonesia sudah menjadi fenomena yang sangat mencemaskan, karena telah semakin meluas bukan hanya pada lembaga eksekutif, melainkan sudah merambah ke lembaga legislatif dan yudikatif. Kondisi tersebut telah menjadi salah satu faktor penghambat utama pelaksanaan pembangunan di Indonesia. Ketidakberhasilan pemerintah memberantas korupsi secara tuntas juga semakin melemahkancitra pemerintah dimata masyarakat dalam pelaksanaan pemerintah yang tercermin dalam bentukketidakpercayaan masyarakat, etidak patuhan masyarakat terhadap hukum, dan bertambahnya jumlah angka kemiskinan absolute. Apabila tidak ada perbaikan yang berarti, maka kondisi tersebut pada akhirnya akan berpotensi membahayakan kesatuan dan persatuan bangsa.
Berdasarkan Laporan Tahunan Komisi Pemberantasan Korupsi (KPK) Indonesia, menyebutkan bahwa pada tahun 2007 terdapat 17 (tujuh belas) kasus tindak pidana korupsi yang baru ditangani, diantaranya 9 (sembilan) kasus tindak pidana korupsi tersebut terjadi pada lembaga eksekutif. Selain itu yang menjadi Perhatian adalah semua tindak pinana korupsi yang terjadi di daerah tersebut terkait dengankegiatan pengadaan barang dan jasa pemerintah.
Sehubungan dengan itu, sebuah konsep baru yang semula diperkenalkan lembaga-lembaga donor internasional, yaitu konsep tata kepemerintahan yang baik(good governance), sekarang menjadi salah satu kata kunci dalam wacana untuk membenahi sistem penyelenggaraan pemerintahan di Indonesia.
Konsep ini pertama diusulkan oleh Bank Dunia (World Bank), United Nations Development Program(UNDP), Asian Development Bank (ADB), dan kemudian banyak pakar di negaranegaraberkembang bekerja keras untuk mewujudkan gagasan-gagasan baik menyangkut tata pemerintahan tersebut berdasarkan kondisi lokal dengan mengutamakan unsur - unsur kearifan lokal.
Tata kepemerintahan yang baik dalam dokumen UNDP adalah penggunaan wewenang ekonomi, politik dan administrasi guna mengelola urusan - urusan Negara pada semua tingkat. Tata pemerintahan mencakup seluruh mekanisme, proses, dan lembaga-lembaga di mana warga dan kelompok-kelompok masyarakat mengutarakan kepentingannya, menggunakan hak hukum, memenuhi kewajiban dan menjembatani perbedaan-perbedaan di antara warga dan kelompok masyarakat. Konseptualisasi good governance lebih menekankan pada terwujudnya demokrasi, karena itu penyelenggaraan negara yang demokratis menjadi syarat mutlak bagi terwujudnya good govemance, yang berdasarkan pada adanya tanggungjawab, transparansi, dan partisipasi masyarakat. Idealnya, ketiga hal itu akan ada pada diri setiap aktor institusional dimaksud dengan memperhatikan nilai-nilai kemanusiaan dan nilai moral yang menjiwai setiap langkah governance.
Good governance menunjuk pada pengertian bahwa kekuasaan tidak lagi semata-mata dimiliki atau menjadi urusan pemerintah, tetapi menekankan pada
pelaksanaan fungsi pemerintahan secara bersama-sama oleh pemerintah, masyarakat madani, dan pihak swasta. Good governance juga berarti implementasi kebijakan sosial-politik untuk kemaslahatan rakyat banyak, bukan hanya untuk kemakmuran orang-perorang atau kelompok tertentu. Keinginan mewujudkan good governance dalam kehidupan pemerintahan telah lama dinyatakan oleh para pejabat Pemerintah Pusat, Propinsi, dan Kabupaten/Kota. bertekad menjadikan good governance sebagai bagian terpenting dari pemerintah ketika dilantik sebagai Presiden dengan memberikan instruksi kepada semua menteri untuk memberantas KKN dan mewujudkan pemerintah yang bersih. Para Walikota/Bupati serta sejumlah kalangan di luar pemerintahan juga banyak yang menyatakan ingin mewujudkan good governancemenjadi praktik tata-pemerintahan sehari-hari di lingkungan mereka.
Pertanyaannya adalah, bagaimana mewujudkan good governancedi dalam pemerintahan kita? Strategi apa yang sebaiknya dilakukan untuk mewujudkan good governance? Pertanyaan tersebut, tentu tidak mudah untuk menjawabnya karena sejauh ini konsep good governancesendiri memiliki arti yang luas dan sering dipahami secara berbeda-beda. Banyak orang menjelaskangood governance, secara berbeda karena tergantung pada konteksnya. Dalam konteks pemberantasan KKN, good governance sering diartikan sebagai pemerintahan yang bersih dari praktik KKN. Good governancedinilai terwujud jika pemerintah yang berkuasa mampu menjadikan dirinya sebagai pemerintah yang bersih dari praktik KKN.
Proses demokratisasi, good governancesering mengilhami para aktivis untuk mewujudkan pemerintahan yang memberi ruang partisipasi yang luas bagi aktor dan lembaga di luar pemerintah sehingga ada pembagian peran dan kekuasaan yang seimbang antara Negara, masyarakat sipil, dan mekanisme pasar. Adanya pembagian peran yang seimbang dan saling melengkapi antar ketiga unsur tersebut bukan hanya memungkinkan adanya check and balance, tetapi juga menghasilkan sinergi yang baik dalam mewujudkan kesejahteraan bersama.
Good governancesebagai sebuah gerakan juga didorong oleh kepentingan berbagai lembaga donor dan keuangan  internasional untuk memperkuat institusi yang ada di Negara dunia ketiga dalam melaksanakan berbagai kegiatan yang dibiayai oleh berbagai lembaga itu. Mereka menilai bahwa, kegagalan-kegagalan proyek yang mereka biayai merupakan akibat lemahnya institusi pelaksana di negara-negara dunia ketiga yang disebabkan oleh praktik bad governance seperti tidak transparan, rendahnya partisipasi warga, rendahnya daya tanggap terhadap kebutuhan warga, diskriminasi terhadap stakeholders yang berbeda, dan inefisiensi. Karena itu, lembaga keuangan internasional dan donor sering mengkaitkan pembiayaan proyek-proyek mereka dengan kondisi atau ciri-ciri good governance dari lembaga pelaksana.
Tantangan utama dalam mewujudkan good governance adalah bagaimana mewujudkan ketiga karakteristik tersebut dalam praktik pemerintahan sehari-hari. Tentu bukan pekerjaan yang mudah untuk mewujudkan ketiga hal itu dalam praktik pemerintahan sehari-hari di Indonesia. Tradisi pemerintahan yang ada sekarang ini masih sangatjauh dari ciri-ciri yang dijelaskan di atas. Pembagian peran antara pemerintah dan lembaga non-pemerintah sering masih sangat timpang dan kurang proporsional sehingga sinergi belum optimal. Kemampuan pemerintah melaksanakan kegiatan secara efisien, berkeadilan, dan bersikap responsif terhadap kebutuhan masyarakat masih sangat terbatas. Praktik KKN masih terus menggurita dalam  kehidupan semua lembaga pemerintahan baik yang berada di pusat ataupun di daerah.
Strategi jitu perlu diambil oleh pemerintah dalammengembangkan praktik governance yang baik. Luasnya cakupan persoalan yang dihadapi, kompleksitas dari setiap persoalan yang ada, serta keterbatasan sumberdaya dan kapasitas pemerintah dan juga non-pemerintah untuk melakukan pembaharuan praktik governancemengharuskan pemerintah mengambil pilihan yang strategis dalam memulai pengembangan praktik governanceyang baik. Pembaharuan praktik governance, yang dalam banyak hal masih mencirikan bad governance menuju pada praktik governance yang baik, dapat dilakukan secara bertahap sesuai dengan kapasitas pemerintah, masyarakat sipil, dan mekanisme pasar, sejauh perubahan tersebut secara konsisten mengarah pada perwujudan ketiga karakteristik praktik pemerintahan sebagaimana telah dijelaskan di atas. Berdasarkan uraian diatas, penelitian ini dilakukan dengan mengambil judul “Revitalisasi Prinsip-Prinsip Good GovernanceDalam Rangka Penyelenggaraan Pemerintahan Yang Baik, Bersih, Dan Bebas Korupsi, Kolusi, Serta Nepotisme”.
B.     Perumusan Masalah
1.      Apa saja prinsip-prinsip good governance dalam rangka penyelenggaraan pemerintah yang baik bersih korupsi, kolusi serta nepotisme?
2.      Bagaimana kendala-kendala pelaksanaan prinsip good governance?
3.      Bagaimana upaya agar prinsip good governance dapat diterapkan agar tercipta pemerintahan yang bersih dari korupsi, kolusi serta nepotisme?

C.    Tujuan
Tujuan utama yang ingin dicapai dalam penelitian ini adalah
sebagai berikut:
1.      Untuk mengetahui dan menganalisis prinsip-prinsip good governancedalam rangka penyelenggaraan pemerintahyang baik bersih korupsi, kolusi serta nepotisme.
2.      Untuk mengetahui dan menganalisis kendala-kendala pelaksanaan prinsip good governance
3.      Untuk mengetahui dan mendapatkan pola upaya penerapan prinsip good governance.

D.    Manfaat
Manfaat dari penulisan makalah ini, dapat diharapkan berguna baik dari segi teoritis maupun segi praktis, kegunaan penelitian ini adalah sebagai berikut :
a.       Segi Teoretis
Penelitian ini diharapkan dapat memberikan sumbangan bagi ilmu pengetahuan hukum, pemerintah dan masyarakat pada umumnya serta di bidang ilmu pidana pada khususnya.
b.      Segi Praktis
Memberikan pengetahuan dan masukkan kepada masyarakat, mahasiswa dan para penegak hukum dan dapat digunakan sebagai sarana informasi awal bagi para peneliti yang hendak meneliti kajian yang sama.











BAB II
LANDASAN TEORI


A.    KEPEMIMPINAN DALAM PERSPEKTIF DEFINISI
Istilah kepemimpinan dan pemimpin berasal dari kata pimpin yang mengandung beberapa arti yang erat kaitannya dengan pengertian memelopori, dibagian depan, menuntun, membimbing, mendorong, mengambil inisiatif, bergerak lebih awal, mendahului, memberi  contoh, menggerakkan orang lain, mengarahkan orang lain, memerintah orang lain dan sebagainya. Pamudji (1985:5) menjelaskan bahwa dari kata pimpin lahirlah kata kerja memimpin yang artianya membimbing atau menuntun dan kata benda pemimpin  yaitu orang yang berfungsi memimpin, atau orang yang membimbing atau menuntun. Di dalam kehidupan sehari-hari dan juga dalam kepustakaan munculah istilah yang serupa dengan itu dan kadang-kadang dipergunakan silih berganti seakan-akan tidak ada bedanya satu dengan yang lain, yaitu pimpinan, kepemimpinan, dan kepemimpinan. Hal tersebut mungkin dapat menimbulkan kekacauan dalam pemikiran yang berakibat tentunya kekacauan dalam tindakan dan perbuatan seseorang dan masyarakat, karena istilah-istilah tersebut masing-masing  mempunyai arti sendiri-sendiri.
Banyak konsep yang diajukan oleh para ahli berkenaan dengan pemimpin dan kepemimpinan, pada umumnya mereka berpendapat  bahwa pemimpin adalah seorang yang dengan cara apapun mampu mempengaruhi orang lain untuk berbuat sesuatu sesuai dengan kehendak orang bersangkutan untuk tujuan tertentu, sedangkan kepemimpinan adalah kemampuan seseorang yang dengan cara tertentu mampu mempengaruhi pihak lain untuk melakukan suatu tindakan tertentu sesuai dengan kehendak orang bersangkutan dalam kerangka mencapai tujuan tertentu.
Kepemimpinan mengandung pengertian yang seringkali sukar ditangkap, maka tidak mengherankan apabila timbul berbagai macam definisi atau deskripsi tentang kepemimpinan. Ada yang berpendapat  bahwa kepemimpinan adalah sesuatu yang melekat pada diri si pemimpin dan oleh karenanya kepemimpinan itu lalu dikaitkan dengan pembawaan, kepribadian, kemampuan dan kesanggupan yang kesemuanya mengarah kepada cirri-ciri atau sifat-sifat tertentu. Pendapat yang lain mengatakan bahwa kepemimpinan adalah kegiatan dari si pemimpin, berhubung dengan itu kepemimpinan lalu dikaitkan dengan kedudukan dan jenis erilaku tertentu. Sedangkan yang lain menyatakan kepemimpinan sebagai proses antar hubungan atau interaksi antara pemmpin, pengikut, dan situasi.
Pamudji mengakomodir berbagai definisi dari kepemimpinan, yang antara lain dikemukakan sebagai berikut:
1.      Kepemimpinan sebagai titik pusat proses-proses kelompok, menurut pandangan ini kepemimpinan dimaknaisebagai titik pusat dari perubahan, kegiatan, dan proses dari kelompok. Kepemimpinan dipandang sebagai pangkal penyebab daripada kegiatan-kegitan, proses atau perubahan-perubahan. Kepemimpinan merupakan gejala kelompok atau gejala sosial.
2.      Kepemimpinan adalah suatu kepribadian yang mempunyai pengaruh, faham ini muncul diantara teoritikus yang berusaha menerangkan mengapa beberapa orang lebih mampu melaksanakan kepemimpinan daripada orang lain. Kepemimpinan disini dipandang sebagai akibat dari pengaruh yang bersifat sepihak. Mereka mengakui pemimpin dapat mempunyai sifat-sifat yang membedakannya dari pengikut, tetapi mereka itu pada umumnya gagal mengakui adanya corak-corak timbal balik atau interatif dari situasi kepemimpinan.
3.      Kepemimpinan adalah suatu seni untuk menciptakan kesesuaian faham atau keseiaan, kesepakatan pendapat ini cenderung melihat kepemimpinan sebagai suatu usaha yang terselubung untuk mempengaruhi dan sebagai suatu sarana untuk membentuk kelompok sesuai kemauan pemimpin. Pendapat ini kurang mengakui hak-hak, keinginan-keinginan dan kebutuhan-kebutuhan anggota-anggota kelompok atau norma dan tradisi kelompok. Hal ini sebenarnya mendapat reaksi negative yang kuat dari golongan yang menentang tiap kemungkinan otoriter.
4.      Kepemimpinan adalah pelaksanaan pengaruh, pemakaian pengertian pengaruh merupakan tanda selangkah maju kearah generalisasi dan abstraksi dalam mendefinisikan kepemimpinan. Nash menyatakan bahwa kepemimpinan mencakup kegiatan mempengaruhi perubahan dalamperbuatan orang-orang. Sedang Ordwey Tead juga mengemukakan definisinya tentang kepemimpinan sebagai the activityof influencing people to cooperate toward some goal which they to find desirable (kegiatan untuk mempengaruhi orang-orang untuk bekerjasama dalam rangka mencapai yang mereka kehendaki). Pandangan tentang pengaruh ini mengakui adannya kenyataan bahwa individu-individu berbeda-beda pengaruh dari perilaku mereka terhadap kegiatan-kegiatan kelompok. Hal ini berarti adanya hubungan timbal balik antara pemimpin dan pengikut, tetapi tidak harus diwarnai oleh dominasi, penguasaan dan penekanan oleh pihak pemimpin. Pada umumnya menyatakan bahwa kepemimpinan itu adalah melaksanakan suatu pengaruh yang menentukan terhadap perilaku anggota-anggota kelompok dan kegiatan-kegiatan kelompok.
5.      Kepemimpinan adalah tindakan atau perilaku, sekelompok ahli suka mendefinisikan kepemimpinan dalam arti tindakan-tindakan atau perilaku. Pandangan behavioral ini terutama tertarik pada penyusunan definisi yang memungkinkan penyajian suatu landasan bagi observasi, deskripsi, pengukuran dan eksperimentasi yang obyektif.
6.      Kepemimpinan adalah suatu bentuk persuasi, Schenk menyebutkan kepemimpinan adalah manajemen mengenai manusia dengan jalan persuasi (ajakan/himbauan) dan inspirasi dan bukannya dengan pengarahan atau ancaman paksaan yang terselubung. Hal ini menyangkut problem-problem nyata untuk segera menerapkan pengetahuan tentang faktor-faktor kemanusiaan.
7.      Kepemimpinan adalah suatu hubungan kekuatan/kekuasaan. Janda mendefinisikan kepemimpinan sebagai suatu hubungan kekuatan/kekuasan yang khusus diwarnai oleh persepsi (penglihatan) anggota kelompok bahwa anggota kelompok yang lain mempunyai hak untuk memperoleh perilaku bagi yang tersebut terdahulu yang menuntun kegiatannya sebagai seorang anggota suatu kelompok tertentu. Disini kekuatan/kekuasaan dipandang sebagai suatu bentuk hubungan pengaruh diantara anggota-anggota kelompok.
8.      Kepemimpinan sebagai sarana pencapaian tujuan. Beberapa teoritisi telah memasukkan gagasan pencapaian tujuan dalam definisi kepemimpinan. Beberapa diantaranya telah mendefinisikan kepemimpinan dalam arti nilai instrumentalnya dalam pencapaian tujuan-tujuan dan pemuasan-pemuasan kebutuhan kelompok.
9.      Kepemimpinan sebagai suatu hasil dari interaksi. Bogardus berpendapat bahwa sebagai suatu proses sosial kepemimpinan merupakan antar dorongan yang menyebabkan sejumlah orang mulai bersiap-siap mencapai tujuan lama dengan semangat/jiwa baru dengan penuh harapan. Kelompok ini penting dalam menarik perhatian pada kenyataan bahwa kepemmpinan tumbuh dari proses interaksi itu sendiri. Kepemimpinan dapat disimak/dikaji dan ternyata benar apabila diakui dan didukung oleh angota–anggota lain dalam kelompok.

Dari beberapa definisi diatas dapat diambil sebagai patokan definisi dari kepemimpinan adalah kemampuan untuk menggerakkan dan mengarahkan orang-orang ke tujuan yang kehendaki oleh pemimpin.  Dengan demikian esensi dari kepemimpinan hakekatnya meliputi unsur-unsur:
1.        Pemimpin atau orang yang mempunyai kemampuan mempengaruhi perilaku orang lain.
2.        Pengikut yang dapat  dipengaruhi baik oleh ajakan, bujukan, anjuran, perintah, instruksi, paksaan dan bentuk lainnya.
3.        Adanya tujuan yang hendak dicapai (Pamudji, 1985:9-22).
Mc.Gregor berpendapat ada empat unsur pokok yang menentukan kepemimpinan, antara lain:
a.         Watak pemimpin.
b.        Sikap, kebutuhan dan perwatakan anak buah/bawahan/pengikut.
c.         Sifat organisasi (tujuan, struktur, dan tugas yang harus dilaksanakan )
d.        Lingkungan politik, ekonomi, sosial, budaya dan pertahanan keamanan.
Hasil penelitian membuktikan kaitan variabel-variabel tersebut di atas sangat rumit dan tidak sederhana, sehingga tidak ada gaya dan tatalaku kepemimpinan yang cocok bagi segala keadaan. Kompleksitas kepemimpinan ini tidak memungkinkan adanya patokan yang harus diikuti secara pasti. Namun bagaimanapun peningkatan kepemimpinan seseorang, dapat dikembangkan melalui:
1.      Ilmu pengetahuan untuk memahami dampak tata laku seorang terhadap orang lain. Semakin besar jurang pengertian dan persepsi seseorang terhadap tatalaku orang lain, semakin besar pula ketidakefektifan pergaulan orang itu dalam masyarakat.
2.      Peningkatan kesadaran daya penyesuaian gaya dan tata laku kepemimpinan. Untuk menjadi pemimpin yang efektif, seorang harus pandai-pandai menyesuaikan diri terhadap tuntutan situasi dan kondisi.
3.      Kemampuan dan kecakapan diagnose untuk menganalisa situasi dan kondisi. Bilamana situasi kondisi menuntut gaya dan tata laku kepemimpinan tertentu maka diagnose harus tepat dan daya penyesuaian gaya dan tata laku harus cepat dan tepat pula.
4.      Pengenalan akan berbagai kebutuhan dan motivasi pegawai bawahannya. Kemampuan diagnose ini juga mencakup pengenalan kebutuhan dan dorongan kerja yang beraneka ragam pegawai bawahannya atau masyarakat yang dipimpin.
5.      Kemampuan dan kecakapan berkomunikasi dengan orang lain. Permalahan pada suatu organisasi kebanyakan adalah kurang efektifnya komunikasi antar personal.

B.     TEORI-TEORI  KEPEMIMPINAN
Banyak teori-teori tentang kepemimpinan antara lain yang dikemukakan oleh Ralp M. Stogdill (1974:17), antara lain dikemukakan bahwa teori-teori berkenaan dengan kepemimpinan ada beberapa seperti traits theory, environmental theory, personal  situational  theory, interaction-expectation theory, humanistic theory, exchange theory. Pamudji mengakomodasikan berbagai pendapat tentang teori kepemimpinan yang dikemukakan oleh beberapa sarjana dan dapat dijelaskan  sebagai berikut :
1.      Teori sifat (traits theory), teori ini melihat dari sudut pandang bahwa kepemimpinan itu untuk berhasilnya seorang pemimpin itu harus memiliki sifat-sifat tertentu, cirri-ciri atau perangai tertentu. Seorang pemimpin akan berhasil apabila ia memiliki sifat-sifat, ciri-ciri, perangai tersebut. Berdasarkan asumsi ini maka lalu dicarikan sifat-sifat yang umum yang harus dimiliki seorang pemimpin agar berhasil efektif. Sifat tersebuta dijadikan pedoman untuk mengembangkan kepemimpinan. Diantaranya disini dikemukakan bahwa  pemimpin titu dianggap memiliki sifat-sifat yang dianggap sejak lahir dan ia menjadi pemimpin karena memiliki bakat menjadi pemimpin sejak lahir. Maka teori ini juga disebut teri genetis yang disimpulkan bahwa pemimpin itu dilahirkan tidak dibentuk (leaders are born and not made).
2.      Teori lingkungan (environmental theory), teori ini berpendapat bahwa munculnya pemimpin itu karena keadaan, tempat dan waktu atau pemimpin-pemimpin lahir karena situasi dan kondisi yang memungkinkan atau kodusif untuk itu. Teori ini memperhitungkan faktor situasi dan kondisi disebut juga teori serba situasi. Kebangkitan dan kejatuhan seorang pemimpin itu dikarenakan oleh situasi dan kondisi, apabila ia menguasai situasi dan kondisi maka ia akan dapat menjadi pemimpin. Sejalan dengan teori ini adalah teori sosial yang antara lain dikemukakan bahwa pemimpin itu dibentuk bukan dilahirkan (leaders are made not born). Seseorang akan muncul menjadi pemimpin karena ia berada pada suatu lingkungan sosial.
3.      Teori pribadi dan situasi (personal-situational theory), teori ini berusaha menjelaskan kepemimpinan sebagai akibat dari seperangkat kekuatan yang tunggal. Teori ini pada dasarnya mengakui bahwa kepemimpinan merupakan produk dari terkaitnya tiga faktor: a). perangai (sifat-sifat) pribadi dari pemimpin; b). sifat dari kelompok dan anggota-anggotanya; dan c). kejadian-kejadian atau masalah-masalah yang dihadapi oleh kelompok. Kepemimpinan harus dipandang sebagai hubungan diantara orang-orang dan bukannya ciri-ciri atau sifat-sifat dari seseorang individu yang terisolir. Jelas di sini bahwa sifat-sifat atau ciri-ciri seseorang saja belum memungkinkan ia berkembang menjadi pemimpin. Sifat-sifat atau ciri-ciri itu masih harus dikaitkan dengan situasi dan kondisi. Seorang pemimpin akan berhasil jika pada waktu lahir memiliki bakat-bakat atau sifat-sifat kepemimpinan yang kemudian dikembangkan melalui pendidikan dan pengalaman.
4.      Teori interaksi dan harapan (interaction-expectation theory), teori ini mendasarkan diri pada variabel-variabel: aksi, reaksi, interaksi dan perasaan. Seorang pemimpin menggerakkan pengikut dengan harapan-harapan bahwa ia akan berhasil, ia akan mencapai tujuan organisasi, ia akan mendapat keuntungan, penghargaan dan sebagainya.  Demikian pula pengikut-pengikut mereka mengikuti pemimpin dengan harapan-harapan seperti harpan si pemimpin tadi oleh karena itu aksi-aksi si pemimpin harus berisi sesuai dengan harapan untuk kemudian ditanggapi dengan reaksi, sehingga dengan demikian terjadilah interaksi yang disertai dengan perasaan-perasaan tertentu. Interaksi tersebut diusahakan dapat memenuhi harapan-harapan bersama. Teori ini berasumsi bahwa semakin terjadi interaksi dan partisipasi dalam kegiatan bersama semakin meninkat perasaan saling menyenangi/menyukai satu sama lain dan semakin memperjelas pengertian atas norma-norma kelompok. Demikian pula semakin tinggi seseorang dalam kelompok, semakin mendekati kesesuaian kegiatannya dengan norma-norma, semakin luas jangkauan interaksinya dan semakin besar jumalah anggota kelompok yang tergerak. Yang penting harus dijaga agar aksi-aksi pemimpin tidak mengecewakan harapan-harapan. Keefektifan pola perilaku pemimpin yang ada tergantung pada tuntutan-tuntutan yang dihadapkan oleh situasi. Semakin tinggi perasaan keakraban pemimpin dengan anak buahnya semakin lebih efektif dalam situasi dimana dituntut kepemimpinan yang moderat.
5.      Teori humanistic (humanistic theory), teori ini mendasarkan diri pada pendapat bahwa manusia karena sifatnya adalah organism yang dimotivasi, sedangkan organisasi karena sifatnya adalah tersusun dan terkendali. Fungsi kepemimpinan adalah membuat organisasi sedemikian rupa sehingga memberikan sedikit kebebasan atau kelonggaran kepada individu untuk mewujudkan motivasinya sendiri yang potensial untuk memenuhi kebutuhan-kebutuhannya dan pada saat yang bersamaan memberikan sumbangan pada pencapaian tujuan organisasi. Menurut teori ini perlu dilakukan motivasi pada pengikut, dengan memenuhi harapan-harapan mereka dan memuaskan kebutuhan-kebutuhan mereka. Beberapa kebutuhan antara lain seperti fisiologis, keamanan, sosial, prestige dan sebaginya. Oleh karena melakukan motivasi berarti juga melakukan human relation, maka sementara penulis ada yang menamakan teori ini sebagai teori hubungan antar manusia, yang maksudnya mengusahakan keseimbangan antara kebutuhan/kepentingan perseorangan dan kebutuhan/kepentingan umum organisasi.

C.    SIFAT, WATAK, PERANGAI KEPEMIMPINAN
Banyak penelitian yang telah dilakukan oleh para sarjana berkenaan dengan sifat-sifat yang sebaiknya dimiliki oleh seorang pemimpin dan telah banyak pula sederetan sifat, watak dan perangai yang dikemukakan yang berbeda antara satu sarjana dengan yang lain. Ada beberapa sifat yang dipandang sebaiknya dimiliki seorang pemimpin yang secara umum telah dikenal, antara lain:
1.      TOLERANSI (Tolerance). Seorang pemimpin yang berhasil tidak menutup diri terhadap berbagai ide dan masukan dari pihak luar. Seorang pemimpin seharusnya terbuka bagi segala pandangan, gagasan, ide yang berasal dari pihak-pihak lain, dengan catatan pandangan, gagasan atau ide tersebut memang konstruktif untuk kegiatan-kegiatan yang dilakukan oleh si pemimpin.
2.      KESTABILAN (Stability). Seorang pemimpin yang sukses digambarkan memiliki keuletan dan kestabilan emosi. Pemimpin mempunyai kepercayaan diri dan dapat mengendalikan diri dan selalu ingin mengetahui terhadap banyak hal yang berhubungan dengan pelaksanaan tugasnya.
3.      KETERBUKAAN (Openness). Seorang pemimpin bersifat terbuka dalam arti dapat diajak diskusi dan jujur atau fair play dalam segala urusan, bijaksana dalam pengambilan keputusan dan terbuka terhadap kritik dan saran.
4.      TEGUH PENDIRIAN (Firmness). Seorang pemimpin yang berhasil  menunjukkan kemahiran dalam menilai situasi dan kondisi secara keseluruhan, tajam dalam memilih dan membedakan fakta dan cermat dan realistik dalam pengambilan kesimpulan dan tidak mudah berubah dalam pendirian.
5.      KESUNGGUHAN (Serious Mindsetness). Seorang pemimpin mempunyai kesungguhan dalam arti keseriusan dalam pelaksanaan tugas untuk kemajuan organisasi yang dipimpinnya dimasa datang. Dia berpegang pada tugasnya, belajar serta menarik pengalaman dengan sebaik-baiknya terhadap kondisi saat ini untuk memperbaikinya dimasa depan serta mempersiapkan dengan sebaik-baiknya bawahan dalam pelaksanaan tugas.
6.      KETENANGAN (Tranquility). Seorang pemimpin tenang dalam menghadapi segala permasalahan, aktif dan tanggap terhadap segala sesuatu yang bersifat tidak tertib. Tidak mudah terpancing emosinya dan selalu berusaha mengatasi permasalahan dalam pelaksanaan tugas.
7.      KEYAKINAN (Acceptance). Seorang pemimpin akan berhasil memimpin jika dipercaya dan diterima oleh orang yang dipimpinnya baik dari bawahan, mitra kerja maupun masyarakat. Pemimpin akan memperoleh legitimasi jika diterima dan diakui dan itu yang akan mempengeruhi keberjhasilan dimasa depan.
8.      KEMAMPUAN MENGANALISA (Analytical Ability). Seorang pemimpin akan mampu menganalisa permasalahan yang komplek sekalipun, menguasai dengan baik permasalahan serta mampu membuat keputusan cermat dan tepat dan berani mengambil resiko (semakin tinggi kedudukan pemimpin semakin tinggi resiko yamng harus dihadapi tetapi tetap harus mengambil keputusan).
9.      INISIATIF DAN DORONGAN (Iniciative and Drive). Seorang pemimpin mempunyai daya untuk membuat sesuatu yang baru atau ide baru untuk menyelesakian pekerjaan serta mempunyai kemampuan untuk mendorong bawahan, mitra kerja, masyarakat untuk menyelesaikan sesuatu yang baru yang sudah dimulai dan ditetapkannya.
10.  TERARAH (Direction). Seorang pemimpin cakap dalam memberikan pengarahan, dalam arti mampu memberikan pengarahan secara dan gambling mengenai suatu tugas yang harus dikerjakan misalnya jelas tujuannya, jelas cara mengerjakannya, kapan waktunya, dimana tempatnya dan siapa-siapa saja yang terlibat dalam pelaksanaannya. Untuk itu seorang pemimpin harus memahami  latar belakang orang yang dipimpinnya.
Sifat-sifat kepemimpinan diatas sering dijumpai di literatur-literatur barat maupun timur dan juga dari hasil penelitian yang telah dilakukan terhadap pemimpin yang berhasil, walaupun juga harus diakui bahwa situasi dan lingkungan juga berpengaruh besar terhadap keberhasilan seorang pemimpin.




BAB III
PEMBAHASAN

1)      MAKNA DAN KEDUDUKAN KEPEMIMPINAN PEMERINTAHAN
Secara umum dapat dimaknai bahwa kepemimpinan pemerintahan adalah kepemimpinan dalam pemerintahan atau secara operasional dapat dijelaskan bahwa kepemimpinan pemerintahan adalah penerapan prinsip-prinsip dasar kepemimpinan dibidang pemerintahan. Pamudji (1985:52) berpendapat dalam hubungannya dengan kepemimpinan pemerintahan Indonesia terdapat pada setiap tingkat pemerintahan, Nasional/Pusat, Provinsi, Kabupaten dan Kota, kecamatan dan juga tingkat pemerintahan kelurahan/desa. Lebih lanjut jika pengertian ini dikaitkan dengan pemerintahan daerah maka kepemimpinan pemerintahan daerah adalah penerapan dasar-dasar kepemimpinan pada umumnya dalam sistem pemerintahan di daerah yang berdasarkan Pancasila dan Undang-Undang Dasar 1945. (Djopari dalam Widyapraja No.23 Tahun XV. 1996:73).
Melengkapi pendapat diatas Kaloh (2009:2) menjelaskan bahwa berdasarkan sistem pemerintahan Indonesia maka pemimpin pemerintahan adalah mereka yang dikatagorikan sebagai pemimpin pada ketiga cabang pemerintahan yaitu eksekutif, legislatif maupun yudikatif. Dari sisi lain pemimpin pemerintahan dapat dibedakan menjadi pemimpin politik yang tersusun secara hirarkis mulai dari presiden yang dibantu para menteri, gubernur, bupati/walikota dan kepala desa/lurah dan pemimpin yang menduduki jabatan structural yaitu mereka yang menduduki jabatan secara berjenjang yang tersusun dari eselon I, II, III, IV. Para pejabat politik dan pejabat structural digolongkan sebagai pemimpin pemerintahan karena mereka adalah actor pemerintahan yang melaksanakan fungsi-fungsi pemerintahan guna mewujudkan kehidupan masyarakat yang tertib dan maju serta mendapatkan pelayanan yang adil dan merata. Para pemimpin pemerintahan ini harus memiliki sifat dan perilaku yang bersedia berkorban untuk kepentingan bangsa dan Negara serta masyarakat pada umumnya, siap mengormankan diri demi membela martabat, kehormatan dan kejayaan bangsa dan negaranya serta jauh dari sifat mementingkan diri sendiri, boros, serakah, tidak dapat mengendalikan diri, dan sombong.
Pemimpin pemerintahan merupakan figur yang menentukan figur yang menentukan keefektifan dalm mencapai tujuan organisasi pemerintahan. Dengan kata lin pencapaian tujuan organisasi pemerintahan ditentukan oleh kemampuan, kompetensi dan kapabilitas pemimpin pemerintahan dalam melaksanakan tugas pokok dan fungsinya. Oleh karena itu seorang pemimpin pemerintahan harus selalu siap untuk mendengarkan  dan merasakan serta menanggapi dan mewujudkan keinginan, aspirasi, tuntutan dan kepentingan masyarakat serta tuntuan organisasi pemerintahan sehingga kesejahteraan masyarakat terus meningkat. Setiap pemimpin pemerintahan harus tanggap terhadap kondisi politik baik dalam organisasi pemerintahan maupun kondisi yang terjadi dalam masyarakat. Kenyataan ini yang harus dihadapi pemimpin pemerintahan dan kondisi ini pula yang membedakannya dengan pemimpin organisasi non pemerintahan. Pemimpin pemerintahan dalam melaksanakan tugas dan fungsinya menghadapi dua situasi dan kondisi yang berbeda di satu sisi harus menghadapi para elit politik yang berbeda tuntutannya di sisi yang lain harus menghadapi masyarakat yang berbeda pula tuntutannya. Oleh karena itu seorang pemimpin pemerintahan harus tanggap terhadap kondisi kelembagaan pemerintahan dalam arti memberikan perhatian serta mengambil tindakan yang dianggap perlu dalam rangka merespon kebutuhan para elit politik dan kebutuhan organisasi pemerintahan yang dipimpinnya serta tanggap pula terhadap kebutuhan masyarakat.
Dalam kaitan ini seorang pemimpin pemimpin pemerintahan dituntut juga untuk mengikuti perkembangan paradigma  pemerintahan, sebagaimana dipahami bahwa dewasa ini telah terjadi perkembangan paradigm dalam pemerintahan yakni bergesernya sistem pemerintahan yang digerakkan oleh Visi dan Misi, memusatkan perhatian pada keluaran (output) yang efisien bukan kepada masukan (kenaikan anggaran setiap tahun) yang mengarah kepada maksimalisasi masukan disbanding maksimalisasi keluaran. Pemerintah hendaknya berperilaku seperti dunia usaha dalam hal pelayanan masyarakat. Dimana masyarakat dipandang sebagai pelanggan yang harus dilayani dengan sebaik-baiknya. Selain pemerintah lebih tepat berorientasi pada mekanisme kerja partisipatif dari pada mekanisme kerja hirarkis (Osborne dan Gaebler, 1992)
Berangkat dari pemahaman dimaksud, seorang pemimpin pemerintahan diharapkan dapat mencermati dan melaksanakan prinsip-prinsip pemerintahan diatas yaitu kegiatannya inovatif, kreatif, perintisan, orientasi pelanggan/masyarakat serta berorientasi pada pelayanan dan pemberdayaan masyarakat.

2)      FUNGSI KEPEMIMPINAN PEMERINTAHAN
Jika dipahami bahwa kepemimpinan itu sebagai inti manajemen maka fungsi-fungsi manajemen khususnya berkenaan dengan menggerakkan orang-orang untuk mencapai tujuan, maka fungsi-fungsi dimaksud berlaku pula untuk seorang pemimpin pemerintahan dalam menjalankan kepemimpinan pemerintahan di dalam organisasi pemerintahan. Fungsi dimaksud antara lain yang dianggap penting sadalah a. fungsi pengambilan keputusan; b. fungsi pengarahan; dan c. fungsi  motivasi
1.        PENGAMBILAN KEPUTUSAN
Sebagai salah satu fungsi yang dominan dari pemimpin pemerintahan pengambilan dalam penyelenggaraan pemerintahan adalah fungsi pengambilan keputusan. Dalam praktek penyelenggaraan pemerintahan pengambilan keputusan itu bertingkat bisa berwujud keputusan politik yaitu keputusan yang diambil pada tataran kebijakan dan ini merupakan produk antara pemimpin eksekutif dan legislatif, keputusan administrative yaitu keputusan yang diambil  oleh pejabat eksekutif dalam hal ini adalah Presiden, Menteri, Gubernur, Bupati, Walikota, Camat, Kepala Desa, Lurah., keputusan operatif yaitu keputusan yang diambil oleh para pelaksana dibawah pejabat eksekutif dalam rangka melaksanakan rencana yang telah ditetapkan. Keputusan-keputusan ini wujudanya merupakan rencana operasi yang saling terkait antara berbagai bidang kegiatan pemerintahan seperti misalnya program-program, prosedur-prosedur, jadwal, anggaran belanja, pengendalian dan sebagainya.
Beberapa hal yang perlu diperhatikan dalam pengambilan keputusan khususnya dalam organisasi pemerintahan, seorang pemimpimpin pemerintahan sebaiknya memperhatikan beberapa hal dibawah ini dalam pengambilan keputusan:
1)      Jangan mengambil keputusan terlalu cepat, kalau masih ada kesempatan untuk mengkaji masalah-masalah untuk memperoleh keputusan yang tepat.
2)      Jangan mengambil keputusan mengenai masalah-masalah yang pada saat itu belum memerlukan keputusan, kondisi ini dimaksudkan untuk mencari waktu yang tepat. Mungkin saja terjadi situasi dan kondisi berubah berhubung adanya perubahan keadaan karena perjalannan waktu, sehingga keputusan yang telah diambil menjadi tidak cocok lagi sehingga perlu diambil keputusan yang baru.
3)      Jangan mengambil keputusan apabila nantinya diketahui bahwa keputusan tersebut tidapat dilaksanakan, hal ini akan menimbulkan tanda tanya atau keragu-raguan atau sikap sinis dari anak buah yang pada gilirannya akan menghilangkan kepercayaan kepada pemimpin.
4)      Jangan mengambil keputusan yang seharusnya dibuat oleh orang lain yang bukan menjadi kewenangannya hal ini akan menimbulkan kekacauan dalam sistem administrasi
5)      Keputusan harus dimengerti oleh para pelaksana, untuk menghindarkan salah pengertian dan salah tafsir yang pada akhirnya menimbulkan salah dalam pelaksanaannya. Untuk itu formulasi keputusan dalam kalimat-kalimatnya harus terang dan jelas sehingga dipahami oleh pelaksana.
6)      Keputusan harus memiliki kadar kemantapan yang tinggi, tidak boleh sebentar-bentar berubah. Walaupun dalam prakteknya, apabila terjadi perubahan di lingkungan organisasi baik internal maupun eksternal ,keputusan itu harus ditinjau kembali. Akan tetapi perubahan keputusan yang terlalu sering akan menimbulkan kekacauan dalam organisasi. Terkait dengan hal itu setiap pengambilan keputusan perlu dukungan data, fakta dan informasi.
Metoda ilmiah dalam pengambilan keputusan pada dasarnya di dasarkan pada tahapan sebagai berikut:
1)      Orientasi: yaitu mengenal dan merumuskan masalahnya yang harus diputuskan
2)      Persiapan: mengumpulkan data yang bersangkuta dengan masalahnya
3)      Analisa: memerinci bahan-bahan yang penting dan menafsirkan bahan-bahan tersebut sehingga dapat dipahami substansinya dalam kaitannya dengan masalah
4)      Hipotesa: menyusun alternatif-alternatif sebagai buah pikiran kreatif, sekaligus memperhitungkan akibat-akibatnya dan untung-ruginya.
5)      Inkubasi (pengendapan): membiarkan dulu untuk sementara, agar terjadi kemungkinan iluminasi (sinar terang) mengenai alternative-alternatif tersebut
6)      Sintesa: memadukan bagian-bagian atau hal-hal yang berkaitan dengan masalah, menjadi satu kesatuan
7)      Verifikasi: mempertimbangkan buah pikiran yang merupakan paduan terakhir, dan selanjutnya memilih alternative yang paling baik (Pamudji, 1985:129).
Dalam kaitannya dengan pemecahan masalah ada beberapa langkah dalam pembuatan keputusan baik secara eksplisit maupun implisit harus tampak dalam realisasinya, secara ringkas dapat dijelaskan sebagai berikut:
1)      Menetapkan masalah yang harus diselesaikan; masalah-masalah dalam praktek penyelenggaraan itu jumlahnya sangat banyak dan kadangkala kabur serta saling bertumburan untuk itu harus dipilah-pilah mana-mana yang perlu diselesaikan dengan segera, mana yang masih dapat ditunda. Untuk perlu adanya skala prioritas, agar permasalahan itu dapat terpesahkan secara efisien dan efektif.
2)        Menyelesaikan masalah yang telah ditetapkan, masalah yang telah dipilih dan ditetapkan selanjutnya diselesaikan dengan cara memilih alternative-alternatif penyelesaian mana yang paling baik dan paling cocok untuk masalah yang telah dipilih dan ditetapkan serta yang tidak banyak merugikan masyarakat. Setiap pengambilan keputusan itu akan mengakibatkan adanya pihak-pihak yang dirugikan dan ada yang diuntungkan.
3)        Mengimplementasikan keputusan yang telah dipilih dan ditetapkan, mengimplementasikan artinya meliputi semua usaha yang dilakukan agar keputusan dapat terlaksana dan dapat mencapai hasil yang optimal sebagaimana yang diharapkan, adapun unsure-unsurnya antara lain meliputi organisasi dan atau orang/pejabat yang melaksanakan keputusan, waktu pelaksanaan pelaksanaan keputusan, lokasi pelaksanaan keputusan, jumlah biaya pelaksanaan keputusan, prasarana dan sarana pelaksanaan keputusan.
4)        Memperbaiki keputusan, perbaikan keputusan ini dilakukan jika terjadi adanya perubahan situasi dan kondisi pada saat keputusan sedang dilaksanakan, hal ini terjadi misalnya masalah yang dipecahkan dengan keputusan itu berubah, berkembang atau justru menimbulkan permasalahan baru.
5)        Membatalkan keputusan, pembatalan terjadi jika ternyata keputusan tidak dapat dilaksanakan dan masalahnya sudah tidak menjadi masalah lagi karena telah berkembang menjadi masalah yang baru.
Untuk melengkapi model pembuatan keputusan diatas dikemukakan pendapat Osborn-Parnes (dalam Salusu, 1996:81) berkenaan dengan model pembuatan keputusan untuk memecahkan masalah yang rumit:
1)      Objective finding, mencari dan menemukan sasaran, tahap ini dilakukan dengan mengumpulkan informasi tentang situasi sehingga bisa menampilkan beberapa bidang sasaran. Bidang ini yang nantinya dapat memprediksi hasil yang bisa diperoleh, rintangan-rintangan yang akan dihadapi termasuk peluang dan tantangan yang diperoleh.
2)      Fact finding, mencari dan menemukan fakta untuk lebih memahami bidang sasaran. Kumpulkan data yang relevan dengan situasi masalah kemudian dipilih data yang penting.
3)      Problem finding, mencari dan menemukan masalah yang terpenting pada suatu saat tertentu berdasarkan kegiatan ini perumusan masalah dapat dibuat.
4)      Idea finding, mencari dan menemukan ide (gagasan) untuk pemecahan masalah yang telah ditetapkan, untuk memperolehnya dapat digunakan dengan cara meminta sumbang saran baik secara tertulis maupun lisan kepada bawahan ataupun pihak-pihak yang terkait dengan pemecahan masalah dimaksud.
5)      Solution finding, mencari dan menemukan cara penyelesaian masalah dan memilihnya cara yang dipandang kondusif untuk mmecahkan masalah yang telah ditetapkan pemilihan itu bisa dikaitkan dengan pembiayaan, sumber daya manusia, prasarana dan sarana, masyarakat yang terkena dampak dan sebagainya.
6)      Acceptance finding, penerimaan pemecahan/penyelesaian masalah oleh pimpinan atau pihak-pihak yang bersangkutan dengan masalah dimaksud.

Penjelasan mengenai tahapan atau model pembuatan keputusan khususnya dalam kepemimpinan pemerintahan di atas dimaksudkan untuk memberikan pemahaman mendasar kepada pemimpin pemerintahan dalam pelaksanaan tugas, tentunya dalam praktek penyelenggaraan pemerintahan tahapan yang demikian itu mungkin saja tidak beurutan seperti langkah tersebut tertgantung pada situasi dan kondisi di lapangan. Akan tetapi jika langkah-langkah dimaksud diikuti dan dipahami serta diimplementasikan akan mmemberikan hasil yang efisien dan efektif.
Satu unsur yang lain dari pengarahan yang penting dalam kaitannya dengan proses kegitannya adalah AKTIVITAS MEMBERI TUNTUNAN ATAU PEMBINAAN kepada bawahan/anggota kelompok masyarakat/masyarakat. Tujuannya agar bawahan/anggota kelompok masyarakat/masyarakat itu tahu dan mengerti apa yang harus dikerjakan serta timbul kemauan untuk mengerjakan sesuatu sesuai dengan kehendak pemimpin. Konsep pembinaan ini mempunyai cakupan kegiatan yang cukup banyak, akan tetapi yang jelas pembinaan mengandung arti pembangunan yang berarti mengubah sesuatu sehingga menjadi baru yang mempunyai nilai yang lebih tinggi dan juga mengandung makna senagai pembaharuan, yaitu usaha untuk membuat sesuatu menjadi lebih sesuai dengan kebutuhan menjadi lebih baik dan lebih bermanfaat.
Dalam kaitannya dengan masyarakat maka pembinaan itu sasarannya adalah mentalitasnya, mentalitas yang belum sadar harus dibangunkan, yang tidak sesuai dengan pembanguanan harus dirubah, yang belum beres harus ditertibkan  dan yang masih kosong harus diisi. Untuk itu sistem pembinaan sebaiknya secara bertingkat, pemuka masyarakat lebih dulu baru kemudian masyarakat sebagai pengikut dan sinkron. Koentjaraningrat (1974:75) menambahkan bahwa dalam rangka pembinaan masyarakat khususnya dalam menciptakan mentalitas yang berjiwa pembanguanan ada beberapa jalan yang bisa ditempuh, salah satu diantaranya adalah dengan persuasi dan penerangan. Persuasi adalah ajakan lunak yang disampaikan kepada orang-orang sehingga mereka bersedia mengikuti pemimpin dengan kemauan dan atas tanggung jawab sendiri. Dasarnya adalah persetujuan dari orang-orang, karena timbulnya pengertian dan keinsyafan mengenai persoalan yang dihadapi. Sedangkan penerangan adalah usaha untuk member keterangan yang jelas dan faktual kepada orang-orang sehingga mereka mengerti dengan jelas dan mendalam mengenai sesuatu hal yang mengakibatkan timbulnya kemauan untuk mengikuti kehendak pemimpin dengan suka rela.
Ada beberapa hal yang perlu mendapat perhatian untuk berhasilnya penerangan dan persuasi sebagai satu wujud dari komunikasi: a). faktor gegrafis, antara lain jarak antara pemberi penerangan dengan masyarakat jauh tentunya akan mempengaruhi keberhasilannya;  b). faktor biologis, antara lain cacat fisik;  c). faktor teknis kecanggihan peralatan juga mempengaruhi keberhasilan pemberian penerangan dan persuasi;  d). faktor sosial budaya, latar belakang seperti pengetahuan, pendidikan, adat istiadat, alam pikiran yang berbeda antara pemberi dan penerima penerangan dan antar penerima juga akan mempengaruhi keberhasilan. Dan yang tidak kalah penting adalah saluran yang digunakan ini dsesuaikan dengan latar belakang sipenerima. Misalnya untuk membangun opini masyarakat saluran yang dianggap efektif adalah Televisi, sedangkan untuk merubah perilaku adalah komunikasi antar pribadi.
Ketiga fungsi pemimpin pemerintahan ini akan selalu mewarnai tugas dalam penyelenggaraan pemerintahan baik dilingkungan internal organisasi pemerintahan maupun eksternal masyarakat pada umumnya.

D.    TEHNIK-TEHNIK KEPEMIMPINAN PEMERINTAHAN
Berbicara mengenai tehnik kepemimpinan pemerintahan itu sebenarnya sangat bervariasi dan banyak pendapat sarjana mengenai hal ini, dibawah ini dikemukakan beberapa tehnik yang dipandang dapat dijadikan pertimbangan untuk pelaksanaannya, agar proses menggerakkan orang-orang itu berhasil sbagaimana yang diharapkan pemimpin pemerintahan, antara lain teknik dimaksud adalah:
a.       Tehnik penyiapan pengikut, teknik ini berupa tehnik penerangan maupun propaganda. Pemberian penerangan dimaksudkan untuk member keterangan yang lebig jelas dan factual kepada orang-orang agar mereka dapat memiliki pemahaman yang lebih mendalam mengenai sesuatu hal yang menyebabkan timbulnya kemauan untuk mengikuti pemimpin sesuai dengan rasa hati dan akalnya. Sedangkan propaganda pemberian penjelasan  dengan usaha memaksakan kehendak atau keinginan pemimpin, bahkan kadang-kadang bagi pengikut tidak ada pilihan lin, dengan mengenakan ancaman-ancaman sanksi-sanksi atau hukuman. Dalam hal ini pemimpin perlu mengetahui pengetahuan, pendidikan, adat istiadat, alam pikiran para pengikut. Untuk tehnik propaganda tidak dianjurkan karena bertentangan dengan prinsip-prinsip demokrasi (membatasi kebesan memilih, unsure paksaan dan pemberian sanksi).
b.      Tehnik pemberian motivasi, tehnik berkaitan dengan pemberian motif atau dorongan agar orang-orang mau bergerak sesuai dengan kehendak pemimpin. Yang dapat dijadikan motif adalah pemenuhan kebutuhan phisik: makan, minum, pakaian, perumahan dan sebaginya; kebutuhan psikologis: kebutuhan akan kelayakan; kebutuhan akan penghargaan dari orang-orang lain; kebutuhan akan keamanan; kebutuhan untuk diikut sertakan. Dorongan-dorongan untuk memenuhi kebutuhan tersebut menyebabkan orang-orang bersedia mengikuti pemimpin yang diharapkan dapat memenuhi kebutuhan-kebutuhan tersebut.
c.       Tehnik memberi teladan, tehnik ini wujudnya pemberian contoh-contoh, orang-orang yang melihat pemimpin member contoh, akan mengikuti apa yang dilihat. Dalam praktek penyelenggaraan pemerintahan tehnik pemeberian contoh ini mencakup dua aspek, yaitu aspek negative dalam bentuk larangan-larangan atau pantangan-pantangan dan aspek positif dalam bentuk anjuran-anjuran atau keharusan-keharusan berbuat. Banyak sekali larangan-larangan yang sulit dirinci satu persatu, secara umum diketahui bahwa seorang pemipin pemerintahan tidak minum minuman keras untuk tujuan mabuk-mabukan, tidak melakukan pencurian, tidak main judi, tidak mengisap ganja,narkoba dan sejenis dengan itu, tidak berzinah. Adapun mengenai anjuran atau pujian pada dasarnya berkenaan dengan perbuatan yang bertujuan untuk kebajikan.
d.      Tehnik memberikan perintah dan persuasi, sebagaimana telah disinggung dalam uraian terdahulu bahwa teknik pemberian perintah ini berkenaan dengan  menyuruh orang yang diberikan perintah untuk melakukan suatu kegiatan tertentu. Perintah dapat diberikan jika yang memberikan perintah memiliki kekuasaan, kewenangan atau memiliki kemampuan untuk memaksakan perintah, hal ini bisa terjadi jika pemimpin memiliki kelebihan-kelebihan di samping pemimpin tersebut diterima sebagai bagian dari yang dipimpin dan mendapat kepercayaan. Untuk persuasi orang-orang diajak dengan lunak sehingga orang-orang yang diajaknya itu bersedia mengikuti pemimpin dengan kemauan sendiri dan juga  atas  tanggung jawab sendiri. Proses persuasi berjalan secara lambat, sedikit demi sedikit, dasarnya adalah persetujuan dari orang-orang yang tercapai karena pengertian dan keinsyafan mengenai persoalan yang dihadapi.
e.       Tehnik penggunaan sistem komunikasi yang cocok, komunikasi berarti menyampaikan suatu  maksud kepada pihak lain, baik dalam rangka penerangan, persuasi, perintah dan sebagainya. Yang penting bahwa maksud tersebut diterima oleh si penerima sama dengan maksud si pengirim. Dalam prakteknya di organisasi pemerintahan komunikasi bersifat dua arah, yaitu dari atas ke bawah, berisi perintah-perintah dan informasi-informasi, dari bawah ke atas, berisi laporan-laporan dan saran-saran. Sistem komunikasi yang cocok tergantung pada faktor-faktor keadaan si penerima berita dan alat-alat komunikasi yang tersedia. Keadaan penerima berita dapat dilihat dari sudut: penguasaan bahasa, pendidikan, golongan, kedudukan dalam organisasi atau masyarakat dan sebagainya.
f.        Tehnik penyediaan fasilitas, tehnik ini berkenaan dengan penyediaan fasilitas, perlengkapan, atau kemudahan-kemudahan. Misalnya uang perlengkapan dan tempat kerja, waktu, perangsang.
Tehnik-tehnik ini penggunaannya sesuai dengan situasi dan kondisi tertentu, beda lingkungan, situasi dan kondisi, beda tehnik kepemimpinan yang digunakan.

E.     ETIKA PEMERINTAHAN
Etika pemerintahan dalam penyelenggaraan pemerintahan merupan satu hal yang harus dipahami dan dipedomani oleh pemimpin pemerintahan. Sudah menjadi bagian dari kodrat bahwa tidak ada satu kelompok manusia sepanjang sejarah yang lepas dari etika. Dalam kehidupan masyarakat yang paling sederhana sekalipun selalu ada serangkaian nilai-nilai etika yang ditempatkan sebagai acuan untuk menemukan baik buruknya tingkah laku seseorang atau sekelompok orang. Juga merpakan kenyataan bahwa bentuk dan manifestasi etika yang dianut dan dijalankan berbagai kelompok berbeda satu sama lain. Oleh karena itu etika yang berintikan ajaran moral dan pembentukan karakter selalu mengalami perubahan dan evaluasi dari masyarakat yang mendukungnya, sesuai dengan dinamika kehidupan masyarakat itu saendiri.
Pendekatan yang dipakai dalam menelaah etika, kendati etika selalu bergerak secara dinamik, tetaplah, ketidakadilan dan deskriminasibingkai pembenaran dan penolakan atas baik buruknya suatu sikap atau tindakan, disisi lain, metha ethic tampil untuk memberikan arti atas segala penilaian yang dilakukan oleh falsafah moral. Dalam format ini, etika tampil sebagai kerangka berfikir, berpendirian dan bertindak. Etika akan berfungsi sebagai sumber nilai dan panduan untuk bereaksi. Muatan etika dengan demikian adalah muatan nilai (value). Prinsip etika adalah bagaimana seharusnya manifestasinya akan melahirkan kewajian bagi mereka yang menerima prinsip itu untuk diwujudkan ke dalam berbagai bentuk kegiatan keseharian. Bila muatan nilai yang terkandung dalam prinsip itu gagal dipelihara oleh masyarakat pendukung nilai dimaksud, maka dengan sendirinya akan mendapat sanksi. Mengingat etika adalah kumpulan nilai yang bersendikan prinsip-prinsip moral, maka sanksi yang disiapkan untuk para pelanggar pun adalah sanksi moral.
Mengamati fenomena yang berkembang di Indonesia beberapa tahun terakhir ini, ada indikasi bahwa nilai-nilai etika telah termajinalisasi, sehingga tidak efektif sebagai pemandu tingkah laku sosial. Pada saat yang sama, hukum pun untuk sebagian tertentu tidak lagi dapat menjaga harmoni kehidupan bersama, mencegah terjadinya tindak kekerasan, ketidak adilan dan deskriminasi. Idealism Negara hukum terletak sangat jauh jaraknya dari kenyataan hidup sehari-hari (Rasyid, 2000:77).
Singkatnya pemahaman terhadap etika khususnya bagi pemimpin pemerintahan merupakan suatu hal penting dan mendasar, agar penyelenggaraan pemerintahan itu dapat berjalan tertib, bersih dan dapat dipertanggung jawabkan serta diterima oleh masyarakat.

F.     FUNGSI ETIKA PEMERINTAHAN
Secara umum fungsi etika pemerintahan dalam praktek penyelenggaraan pemerintahan ada dua: 1) sebagai suatu pedoman, referensi, acuan, penuntun, dalam pelaksanaan tugas-tugas pemerintahan; 2) sebagai acuan untuk menilai apakah keputusan dan/atau tindakan pejabat pemerintahan itu baik atau buruk, terpuji atau tercela.  Widodo (2001:245) menjelaskan bahwa oleh karena etika mempersoalkan baik dan buruk dan bukan benar dan salah tentang sikap, tindakan, dan perilaku manusia dalam berhubungan dengan sesamanya baik dalam masyarakat maupun organisasi public atau bisnis, maka etika mempunyai peran penting dalam praktek administrasi Negara. Etika diperlukan dalam administrasi Negara. Etika dapat dijadikan pedoman, referensi, petunjuk tentang apa yang harus dilakukan oleh administrasi negara dalam menjalankan kebijakan politik, dan sekaligus dapat digunakan sebagai standar penilaian apakah perilaku administrasi Negara dalam menjalankan kebijakan politik dapat dikatakan baik atau buruk. Karena administrasi Negara bukan saja berkait dengan masalah pelaksanaan kebijakan politik saja, tetapi juga berkait dengan masalah manusia dan kemanusiaan.
Di dalam implementasinya etika pemerintahan itu meliputi etika yang menyangkut individu sebagai anggota arganisasi pemerintahan, juga meliputi etika organisasi pemerintahan serta etika profesi organisasi pemerintahan, yang ketiganya dalam implementasinya bermuara pada nilai-nilai etis yang terkandung baik pada peraturan perundangan, nilai-nilai agama, nilai-nilai social budaya, nilai-nilai dalam asas penyelenggaraan pemerintahan dan nilai lainnya yang ada kaitannya dalam penyelenggaraan pemerintahan Negara.

G.    SUMBER ETIKA PEMERINTAHAN
Dari berbagai penjelasan tentang etika pemerintahan maka dapat dikemukakan bahwa pada hakekatnya sumber etika pemerintahan itu dapat berasal dari peraturan perundangan, nilai-nilai keagamaan dan nilai-nilai sosial budaya yang berasal dari kehidupan kemasyarakatan serta berasal dari adat kebiasaan dan yang sejenis dengan itu. Ada yang berpendapat bahwa untuk Pemerintahan Indonesia nilai-nilai keutamaan pemerintahan itu dipahami keberadaannya telah tumbuh sejak sebelum Indonesia merdeka yaitu dimulai sejak jaman perjuangan melawan penjajah Belanda dahulu, jika dirinci nilai-nilai dimaksud antara lain bersumber dari:
1)      Budi Utomo, Sumpah Pemuda, Proklamasi 1945
2)      Pancasila dan Undang-Undang Dasar 1945
3)      Undang-Undang dan Peraturan Pemerintah yang mengatur tentang Kewenangan, tugas pokok dan fungsi lembaga pemerintah dan organisasi pemerintahan, hak dan kewajiban serta larangan bagi anggota organisasi pemerintah
4)      Nilai-nilai keagamaan
5)      Nilai-nilai sosial budaya: adat kebiasaan setempat seperti perilaku tentang kepantasan dan ketidak pantasan serta kesopanan
Nilai-nilai agama dan sosial budaya merupakan salah satu nilai yang mengikat kehidupan sehari-hari yang terbentuk sebagai akibat adanya hubungan vertikal dan horizontal. Hubungan vertikal yaitu hubungan antara manusia dengan Tuhannya yang membentuk suatu nilai-nilai agama tertentu. Nilai ini biasanya bersifat mutlak dan tidak bisa ditawar-tawar (harus dilaksanakan). Sedangkan hubungan horizontal atau hubungan antar sesama manusia membentuk apa yang dinamakan nilai-nilai sosial budaya.


BAB  IV
P E N U T U P

Berangkat dari penjelasan berkenaan dengan kepemimpinan dan etika pemerintahan diatas, nampaknya kepemimpinan pemerintahan dan etika pemerintahan dipandang sebagai sesuatu yang diperlukan untuk terselenggaranya pemerintahan yang bersih dan bebas dari korupsi, kolusi dan nepotisme. Dilihat dari sisi asas pemerintahan yang bersih dan efektif kebutuhan akan etika pemerintahan, merupakan sesuatu yang mutlak. Sulit membayangkan suatu pemerintahan tegak dalam kevakuman etika. Sejauh ini dapat dianggap bahwa setiap pemerintahan memiliki acuan etika sendiri, yaitusuatu pedoman tak tertulis tentang tingkah laku kekuasan yang member batas moral yang jelas tentang apa yang aik dan buruk bagi kelangsungan dan keabsahan sebuah kekuasaan.
Tidak semua sistem hukum nasional terutama Negara-negara sedang berkembang, mampu secara cepat menyediakan sejumlah instrumen hokum yang dibutuhkan bagi bekerjanya sebuah pemerinthan yang bersih. Akibatnya di berbagai sistem pemerintahan, masalah etika pemerintahan dan etika kepemimpinan pemerintahan masih lebih banyak diletakkan sebagai konsensus-konsensus nilai yang relatif dan interpretatif. Masyarakatlah yang diharapkan aktif untuk menilai apakah suatu tindakan pemimpin pemerintahan terhadap masyarakat itu sesuai atau melanggar prinsip-prinsip etika pemerintahan yang berlaku.
Dengan demikian pemahaman terhadap prinsip-prinsip kepemimpinan pemerinthan, etika pemerintahan dan etika kepemimpinan pemerintahan oleh pemimpin  pemerintahan merupakan sesuatu yang memang sudah seharusnya. Dalam praktek penyelenggaraan pemerintahan baik di tingkat pemerintahan pusat maupun di tingkat pemerintahan daerah pada dewasa ini, masih banyak banya kita dengar dan kita lihat tentang adanya perilaku korupsi, kolusi dan nepotisme dan perilak yang tidak etis lainnya yang dilakukan oleh pemimpin pemerintahan yang tentunya hal ini sangat menghambat upaya pencapaian pemerintahan yang bersih korupsi, kolusi dan nepotime.
Berdasar pada kenyataan diatas maka pemberian pengetahuan dan informasi berkenaan dengan prinsip-prinsip kepemimpinan pemerintahan, etika pemerintahan, etika kepemimpina pemerintahan merupakan sesuatu yang diperlukan dan penting, karena pemahaman akan pengetahuan dimaksud akan menambah kesadaran para pemimpin pemerintahan akan pentingnya pemahaman terhadap prinsip-prinsip kepemimpinan pemerintahan, etika pemerintahan dan etika kepemimpinan pemerintahan, semakin sadar
DAFTAR PUSTAKA

Aries Djaenuri, Enceng, Siti Aisyah.(2009), Hubungan Pusat Dan Daerah, Penerbit Universitas Terbuka,  Jakarta.          
Badan Kepegawaian Negara.(2001), Etika, Moral, Dan Disiplin Pegawai, Jakarta.
Covey Stephen, R.(1997), Principle Centered Leadership, alih bahasa Julius Sanjaya, Binarupa Aksara, Jakarta.
Johanis Kaloh.(2009), Membangun Kepemimpinan Yang Efektif Bagi Pemerintahan Di Indonesia,  IPDN Departemen Dalam Negeri, Jakarta.
Joko Widodo.(2001), Good Governance Telaah Dari Dimensi Akuntabilitas Dan Kontrol Birokrasi    Pada         Era Desentralisasi dan Otonomi Daerah, Insan Cendikia, Jakarta.
Pamudji. S.(1985), Kepemimpinan Pemerintahan Di Indonesia, P.T. Bina Aksara, Jakarta.
Moefti Wiriadihardja dan Soebagio Sastrodiningrat.(1986), Kapita Selekta  Manajemen  Dengan   Fokus
        Kepemimpinan, Badan Pendidikan dan Latihan Keuangan, Departemen Keuangan, Jakarta.
Ryaas  Rasyid. (1999),   Makna   Pemerintahan   Tinjauan   dari   Segi   Etika   dan   Kepemimpinan,   Yarsif
        Watampone, Jakarta.

Tidak ada komentar:

Posting Komentar