Rabu, 10 Februari 2016

Musyawarah Perencanaan Pembangunan Makassar dengan Konsep Smart City

Pelaksanaaan Konsep Musrenbang
Di dalam pelaksanaan sistem pembangunan di suatu daerah di kenal dengan 2 model perencanaan pembangunan yakni dengan bottom up dan top down, Menurut Riyadi dan Bratakusumah (2004 : 7), perencanaan pembangunan dapat diartikan sebagai : Suatu proses perumusan alternatif-alternatif atau keputusan-keputusan yang didasarkan pada data-data dan fakta-fakta yang akan digunakan sebagai bahan untuk melaksanakan suatu rangkaian kegiatan/aktivitas kemasyarakatan, baik yang bersifat fisik (material) maupun nonfisik (mental dan spiritual) dalam rangka mencapai tujuan yang lebih baik”. dalam rangka mensukseskan program-program pemerintah khususnya pemerintah Kota Makassar melaksanakan suatu kegiatan MUSRENBANG dimana dengan konsep Bottom up yakni penyaluran aspirasi dan saran serta kebutuhan nasyarakat yang muncul dari bawah dengan awal melakukan rembuk atau forum di tingkat RT/RW kemudian melanjutkan ke kegiatan Musrenbang Kelurahan yang yang menjadi kegiatan rutin tahunan disetiap instansi pemerintahan di Kota Makassar, setelah merangkum semua masukan dan aspirasi masyarakat dan kemudian membuat laporan musrenbang kelurahan, perlu kita ketahui bahwa kegiatan kegiatan baik sarana dan prasarana yang diusulkan harus bersifat realistis dan betul betul urgent yang diutamakan setelah tahapan tingkat kelurahan berlanjut ke tahapan selanjutnya yakni MUSRENBANG tingkat Kecamatan dimanatahapan ini menghadirkan perwakilan dari DPRD, Dinas-Dinas terkait beserta pemerintah Kota Makassar sendiri guna mendengarkan dan merembukkan kegiatan kegiatan apa dan yang mana saja yang layak untuk diusulkan bagi pembangunan di kelurahan sehingga dapat tersentuh langsung oleh kalangan kalangan masyarakat.

Konsep Perencanaan Pembangunan ( Bottom Up dan Top Down)
Ilustrasi Perencanaan merupakan tindakan untuk menentukan masa depan. Dalam Undang-undang Nomor 25 tahun 2004 tentang Sistem Perencanaan Pembangunan Nasional, pasal 1 disebutkan perencanaan adalah suatu proses untuk menentukan tindakan masa depan yang tepat, melalui urutan pilihan, dengan memperhitungkan sumber daya yang tersedia. Perencanaan adalah meletakkan tujuan-tujuan dalam jadwal waktu atau program pekerjaan untuk mendapat hasil yang optimal. Oleh karena itu perencanaan merupakan sebuah keniscayaan, keharusan dan kebutuhan. Perencanaan itu sendiri berfungsi sebagai penuntun arah, meminimalisasi ketidakpastian, minimalisasi infesiensi sumber daya, penetapan standard dan pengawasan kualitas.
Proses perencanaan merupakan suatu prosedur dan tahapan dari perencanaan itu dilaksanakan.Secara hierarki, prosedur perencanaan itu dilakukan atas dasar prinsip Top-Down Planning, yaitu proses perencanaan yang dilakukan oleh pemimpin tertinggi suatu organisasi kemudian atas dasar keputusan tersebut dibuat suatu perencanaan di tingkat yang lebih rendah.Prinsip lainnya adalah lawan dari prinsip di atas yaitu Bottom-Up Planning yang merupakan perencanaan yang awalnya dilakukan di tingkat yang paling rendah dan selanjutnya disusun rencana organisasi di atasnya sampai dengan tingkat pusat atas dasar rencana dari bawah.

Perencanaan Pembangunan Bottom Up
Proses perencanaan atau planning adalah bagian dari daur kegiatan manajemen yang terutama berhubungan dengan pengambilan keputusan (decision making)untuk masa depan, baik jangka panjang maupun jangka pendek, sehubungan dengan pokok pertanyaan: apa, siapa, bagaimana, kapan, di mana, dan berapa, baik sehubungan dengan lembaga yang dimanajemeni maupun usaha-usahanya.
Proses perencanaan dapat dilaksanakan menyeluruh, misalnya dalam perencanaan korporat, perencanaan strategis, atau perencanaan jangka panjang. Bisa juga dilakukan per divisi atau unit bisnis stategis menjadi rencana divisi atau anak perusahaan tertentu di dalam suatu korporasi yang lebih besar. Bisa juga dilakukan per fungsi baik di dalam korporasi, di dalam divisi maupun unit bisnis individual, misalnya rencana fungsi pemasaran, rencana fungsi keuangan, rencana fungsi produksi dan distribusi, dan rencana fungsi personalia. Bagaimana pun lingkup perencanaan yang dilakukan, pokok pertanyaan yang dipikirkan sama saja: apa, siapa, bagaimana, kapan, di mana, dan berapa. Perbedaannya menyangkut metode yang digunakan untuk menjawab pertanyaan-pertanyaan itu.
Saalah satu proses atau rencana perencanaan yang sering dilakukan dalam melakukan rencana pembangunan adalah dengan menggunakan sistem pembangunan yang bersifat Button Up. Button Up Planning adalah perencanaan yang dibuat berdasarkan kebutuhan, keinginan dan permasalahan yang dihadapi oleh bawahan bersama-sama dengan atasan menetapkan kebijakan atau pengambilan keputusan dan atasan juga berfungsi sebagai fasilitator. Sedangkan dalam pengertian dibidang pemerintahan, button up planning atau perencanaan bawah adalah perencanaan yang disusun berdasarkan kebutuhan mereka sendiri dan pemerintah hanya sebagai fasilitator.
Dari bawah ke atas (bottom-up). Pendekatan ini merupakan upaya melibatkan semua pihak sejak awal, sehingga setiap keputusan yang diambil dalam perencanaan adalah keputusan mereka bersama, dan mendorong keterlibatan dan komitmen sepenuhnya untuk melaksanakannya. Kelemahannya memerlukan banyak waktu dan tenaga untuk perencanaan. Diperlukan pengembangan budaya perusahaan yang sesuai.
Maka dapat disimpulkan, pendekatan perencanaan pembangunan Buttom-Up Planning adalah perencanaan yang dibuat berdasarkan kebutuhan, keinginan dan permasalahan yang dihadapi oleh bawahan bersama-sama dengan atasan menetapkan kebijakan atau pengambilan keputusan dan atasan juga berfungsi sebagai fasilitator. Sedangkan dalam pengertian dibidang pemerintahan, bottom-up planning atau perencanaan bawah adalah perencanaan yang disusun berdasarkan kebutuhan mereka sendiri dan pemerintah hanya sebagai fasilitator.

 Konsep Partisipatif Dalam Proses Pembangunan Botton-Up
Salah satu pola pendekatan perencanaan pembangunan yang kini sedang dikembangkan adalah perencanaan pembangunan partisipatif. Pemerintah Kota (Pemkot) Surakarta sejak tahun 2001 telah mencoba melakukan perencanaan pembangunan partisipatif didalam kerangka menggali aspirasi yang berkembang di masyarakat melalui musyawarah tingkat RT, RW, kelurahan, kecamatan dan kota. Sebuah langkah positif yang patut dikembangkan lebih lanjut, apalagi hal seperti itu masih dalam taraf pembelajaran yang tentu saja disana-sini masih terdapat kelemahan baik dalam tataran konsep maupun implementasinya di masyarakat.
Perencanaan pembangunan partisipatif merupakan pola pendekatan perencanaan pembangunan yang melibatkan peran serta masyarakat pada umumnya bukan saja sebagai obyek tetapi sekaligus sebagai subyek pembangunan, sehingga nuansa yang dikembangkan dalam perencanaan pembangunan benar-benar dari bawah (bottom-up approach). Nampaknya mudah dan indah kedengarannya, tetapi jelas tidak mudah implementasinya karena banyak factor yang perlu dipertimbangkan, termasuk bagaimana sosialisasi konsep itu di tengah-tengah masyarakat.
Meskipun demikian, perencanaan pembangunan yang melibatkan semua unsur / komponen yang ada dalam masyarakat tanpa membeda-bedakan ras, golongan, agama, status sosial, pendidikan, tersebut paling tidak merupakan langkah positif yang patut untuk dicermati dan dikembangkan secara berkesinambungan baik dalam tataran wacana pemikiran maupun dalam tataran implementasinya di tengah-tengah masyarakat. Sekaligus, pendekatan baru dalam perencanaan pembangunan ini yang membedakan dengan pola-pola pendekatan perencanaan pembangunan sebelumnya yang cenderung sentralistik.
Nah, dengan era otonomi daerah yang tengah dikembangkan di tengah-tengah masyarakat dengan asas desentralisasi ini diharapkan kesejahteraan masyarakat dalam pengertian yang luas menjadi semakin baik dan meningkat. Lagipula, pola pendekatan perencanaan pembangunan ini sekaligus menjadi wahana pembelajaran demokrasi yang sangat baik bagi masyarakat. Hal ini tercermin bagaimana masyarakat secara menyeluruh mampu melakukan proses demokratisasi yang baik melalui forum-forum musyawarah yang melibatkan semua unsur warga masyarakat mulai dari level RT (Rukun Tetangga), RW (Rukun Warga), Kelurahan, Kecamatan, sampai Kota.

Perencanaan Pembangunan Top Down.
Perencanaan dari atas ke bawah ( Top Down)  adalah pendekatan perencanaan yang menerapkan cara penjabaran rencana induk ke dalam rencana rinci. Rencana rinci yang berada di "bawah" adalah penjabaran rencana induk yang berada di "atas". Pendekatan perencanaan sektoral acapkali ditunjuk sebagai pendekatan perencanaan dari atas ke bawah, karena target yang ditentukan secara nasional dijabarkan ke dalam rencana kegiatan di berbagai daerah di seluruh Indonesia yang mengacu kepada pencapaian target nasional tersebut. Pada tahap awal pembangunan, pendekatan perencanaan ini lebih dominan, terutama karena masih serba terbatasnya sumber daya pembangunan yang tersedia.
Pendekatan top-down planning, adalah pendekatan pembangunan di mana penentuan keputusan tidak menampung semua aspirasi elemen di kelompok, tetapi hanya mementingkan keputusan bagian tertentu dalam kelompok. Top-down planning merupakan model perencanaan yang dilakukan dari atasan yang ditujukan kepada bawahannya dimana yang mengambil keputusan adalah atasan sedangkan bawahan hanya sebagai pelaksana saja. Dalam pengertian lain terkait dengan pemerintahan, perencanaan top-down planning atau perencanaan atas adalah perencanaan yang dibuat oleh pemerintah ditujukan kepada masyarakat dimana masyarakat sebagai pelaksana saja.
Tidak ada satupun yang menyangkal bahwa metode top down yang diterapkan  diera orde baru menghasilkan pertumbuhan pembangunan ekonomi yang menakjubkan secara presentase. Akan tetapi sayangnya  kemajuan ini tidak diikuti oleh kemajuan bidang-bidang sosial yang lain sehingga muncullah ketimpangan pembangunan. Ketimpangan pembangunan dibeberapa daerah terjadi bukan karena kesalahan konsep, tetapi ketidakmampuan sistem pelaksanaan dalam menterjemahkan konsep tersebut ke dalam program operasional yang mantap. Ketidakmampuan ini bisa diakibatkan oleh rendahnya kemampuan teknis aparat pelaksana, bisa juga karena ketidakcocokan (rasionalisasi penerapan) antara program yang dibuat Pemerintah Pusat dengan kondisi daerah dan keinginan masyarakat, sebab masyarakat setempat tidak diberi kesempatan untuk terlibat pada penyusunan konsef atau tidak berdaya mempengaruhi atau merencanakan masa depan mereka. Hal tersebut menjadikan masyarakat menjadi apatis terhadap pembangunan, masyarakat merasa tidak berkepentingan dengan pembangunan yang pada akhirnya hal tersebut mengakibatkan permasalahan bagi pemerintah.
Perbedaan Mendasar Dari Perencanaan Bottom Up dan Top Down.
Dalam suatu proses perencanaan pembangunan dibutuhkan suatu pendekatan perencanaan yang digunakan sebagai pengambil keputusan serta menunjukkan bagaimana proses perencanaan tersebut dilakukan hingga muncul suatu pengambilan keputusan pada produk rencana. Pendekatan perencanaan yang dimaksud adalah pendekatan secara top-down atau bottom-up.
Secara konseptual, terdapat perbedaan yang cukup mendasar dari kedua tipe perencanaan pembangunan ini, seperti berikut:
Tabel.1
PERBEDAAN PERENCANAAN BOTTOM UP DAN TOP DOWN
Top Down
Botton Up
Top down planning adalah model perencanaan yang dilakukan dari atasan yang ditujukan kepada bawahannya dimana yang mengambil keputusan adalah atasan sedangkan bawahan hanya sebagai pelaksana saja. Dalam pengertian lain terkait dengan pemerintahan, perencanaan top down planning atau perencanaan atas adalah perencanaan yang dibuatoleh pemerintah ditujukan kepada masyarakat dimana masyarakat sebagai pelaksana saja.
Dari atas ke bawah (top-down). Pendekatan ini mendesak bagian bawah bekerja sesuai kemauan atasan di dalam perencanaan tanpa memedulikan situasi nyata bagian bawah. Waktu perencanaan bisa sangat pendek, tetapi ada banyak hal yang terlewatkan karena sempitnya forum informasi dan komunikasi. Biasanya menimbulkan kepatuhan yang terpaksa namun untuk sementara waktu efektif.
Button Up Planning adalah perencanaan yang dibuat berdasarkan kebutuhan, keinginan dan permasalahan yang dihadapi oleh bawahan bersama-sama dengan atasan menetapkan kebijakan atau pengambilan keputusan dan atasan juga berfungsi sebagai fasilitator. Sedangkan dalam pengertian dibidang pemerintahan, button up planning atau perencanaan bawah adalah perencanaan yang disusun berdasarkan kebutuhan mereka sendiri dan pemerintah hanya sebagai fasilitator.
Dari bawah ke atas (bottom-up). Pendekatan ini merupakan upaya melibatkan semua pihak sejak awal, sehingga setiap keputusan yang diambil dalam perencanaan adalah keputusan mereka bersama, dan mendorong keterlibatan dan komitmen sepenuhnya untuk melaksanakannya. Kelemahannya memerlukan banyak waktu dan tenaga untuk perencanaan. Diperlukan pengembangan budaya perusahaan yang sesuai.

Di dalam implementasinya tidak terdapat lagi penerapan penuh pendekatan dari atas ke bawah. Beberapa pertimbangan, misalnya ketersediaan tabungan pemerintah sebagai sumber pembiayaan pembangunan dan kepentingan sektoral nasional, masih menuntut penerapan pendekatan dari atas ke bawah. Namun, kini pendekatan tersebut tidak lagi sepenuhnya dijalankan karena proses perencanaan rinci menuntut peran serta masyarakat. Untuk itu, diupayakan untuk memadukan pendekatan perencanaan dari atas ke bawah dengan perencanaan dari bawah ke atas. Secara operasional pendekatan perencanaan tersebut ditempuh melalui mekanisme yang disebut Pedoman Penyusunan Perencanaan dan Pengendalian Pembangunan di Daerah (P5D) dengan memanfaatkan forum-forum Musyawarah Pembangunan (Musbang) Desa, Musbang Kecamatan, Rapat Koordinasi Pembangunan (Rakorbang) Dati II, Rakorbang Dati I, Konsultasi Regional Pembangunan (Konregbang), yaitu Dati I sepulau/kawasan, dan puncaknya terjadi pada Konsultasi Nasional Pembangunan (Konasbang). Di setiap tingkat diupayakan untuk mengadakan koordinasi perencanaan sektoral dan regional. Usulan atau masalah yang lintas wilayah atau lintas sektoral yang tidak dapat diselesaikan di suatu tingkat dibawa ke tingkat di atasnya. Proses berjenjang ini diharapkan dapat mempertajam analisis di berbagai tingkat forum konsultasi perencanaan pembangunan tersebut. Dengan demikian, perencanaan dari "atas ke bawah" yang memberikan gambaran tentang perkiraan-perkiraan dan kemungkinan-kemungkinan yang ada diinformasikan secara berjenjang, sehingga proses perencanaan dari "bawah ke atas" diharapkan sejalan dengan yang ditunjukkan dari "atas ke bawah".
Pada bagan berikut ditunjukkan bagaimana mekanisme perencanaan dengan pendekatan dari bawah ke atas. Pemrosesan usulan kegiatan atau proyek dari instansi sektoral yaitu Kantor Departemen (Kandep) di Dati II dan Kantor Wilayah (Kanwil)/perwakilan departemen/lembaga di Dati I dikonsultasikan dalam forum konsultasi pembangunan sehingga diharapkan visi atau kepentingan daerah sudah terwakili dalam usulan tersebut. Upaya-upaya untuk mengakomodasikan kebutuhan dunia usaha telah diefektifkan dalam rapat koordinasi penanaman modal di Dati I (RKPPMD I). Dengan demikian, forum Rakorbang Dati I menjadi ajang pertemuan pembahasan antara kebutuhan masyarakat, dunia usaha, dan perencanaan sektoral.
 Kelemahan dan Kelebihan dari Beberapa Jenis Perencanaan
Adanya pertumbuhan penduduk menentukan adanya perubahan struktur masyarakat. Dengan adanya konflik juga dapat menimbulkan perubahan struktur masyarakat dimana dalam membuat perubahan yang terencana kita harus memebuat peren canaan terlebih dahulu.
Beberapa jenis dari perencanaan adalah sebagai berikut:
1.     Perencanaan dengan sistem “TOP DOWN PLANNING” artinya adalah perencanaan yang dilakukan oleh lembaga pemerintahan sebagai pemberi gagasan awal serta pemerintah berperan lebih dominan dalam mengatur jalannya program yang berwal dari perencaan hingga proses evaluasi, dimana peran masyarakat tidak begitu berpengaruh.
2.     Perencanaan dengan sistem “BOTTOM UP PLANNGING” artinya adalah perencanaan yang dilakukan diaman masyarakat lebih berperan dalam hal pemberian gagasan awal sampai dengan mengevaluasi program yang telah dilaksanakan sedangkan pemerintah pemerintah hanya sebagai fasilitator dalam suatu jalannya program.
3.     Perencaan dengan sistem gabungan dari kedua sistem diatas adalah perencaan yang disusun berdasarkan kebutuhan masyarakat dan program yang diinginkan oleh masyarakat yang merupakan kesepakatan bersama antara pemerintah dan juga masyarakat sehingga peran antar satu dan keduanya saling berkaitan.

Adapun kelemahan dari tipe “TOP DOWN PLANNING” adalah :
1.     Masyarakat tidak bisa berperan lebih aktif dikarenakan peran pemerintah yang lebih dominan bila dibanding peran dari masyarakat itu sendiri.
2.     Masyarakat tidak bisa melihat sebarapa jauh suatu program telah dilaksanakan.
3.     Peran masyarakat hanya sebagai penerima keputusan atau hasil dari suatu program tanpa mengetahui jalannya proses pembentukan program tersebut dari awal hingga akhir.
4.     Tujuan utama dari program tersebut yang hendaknya akan dikirimkan kepada masyarakat tidak terwujud dikarenakan pemerintah pusat tidak begitu memahami hal-hal yang diperlukan oleh masyarakat.
5.     Masyarakat akan merasa terabaikan karena suara mereka tidak begitu diperhitungkan dalam proses berjalannya suatu proses.
6.     Masyarakat menjadi kurang kreatif dengan ide-ide mereka.
Kelebihan dari sistem ini adalah
1.     Masyarakat tidak perlu bekerja serta memberi masukan program tersebut sudah dapat berjalan sendiri karena adanya peran pemerintah yang optimal.
2.     Hasil yang dikeluarkan bisa optimal dikarenakan biaya yang dikeluarkan ditanggung oleh pemerintah.
3.     Mengoptimalkan kinerja para pekerja dipemerintahan dalam menyelenggarakan suatu program.
Kelebihan dari sistem “BOTTOM UP PLANNING” adalah
1.     Peran masyarakat dapat optimal dalam memberikan masukan atau ide-ide kepada pemerintah dalam menjalakan suatu program.
2.     Tujuan yang diinginkan oleh masyarakat akan dapat berjalan sesuai dengan keinginan masyrakat karena ide-idenya berasal dari masyarakat itu sendiri sehingga masayarakat bisa melihat apa yang diperlukan dan apa yang diinginkan.
3.     Pemerintah tidak perlu bekerja secara optimal dikarenakan ada peran masyarakat lebih banyak.
4.     Masyarakat akan lebih kreatif dalam mengeluarkan ide-ide yang yang akan digunakan dalam suatu jalannya proses suatu program.
Kelemahan dari sistem “BOTTOM UP PLANNING” adalah
1.     Pemerintah akan tidak begitu berharga karena perannya tidak begitu besar.
2.     Hasil dari suatu program tersebut belum tentu biak karena adanya perbadaan tingkat pendidikan dan bisa dikatakn cukup rendah bila dibanding para pegawai pemerintahan.
3.     Hubungan masyarakat dengan pemerintah tidak akan berlan lebih baik karena adanya silih faham atau munculnya ide-ide yang berbeda dan akan menyebabkan kerancuan bahkan salah faham antara masyarakat dengan pemerintah dikarenakan kurang jelasnya masing-masing tugas dari pemerintah dan juga  masyarakat.
Bila dilihat dari kekurangan serta kelebihan yang dimiliki oleh masing-masing sistem tersebut maka sitem yang dianggap paling baik adalah suatu sistem gabungan dari kedua janis sistem tersebut karena banyak sekali kelebihan yang terdapat didalamya antara lain adalah selain masyarakat mampu berkreasi dalam mengembangkan ide-ide mereka sehingga mampu berjalan beriringan bersama dengan pemerintah sesuai dengan tujuan utama yang diinginkan dalam mencapai kesuksesan dalam menjalankan suatu program tersebut.
E.     Peran Perencana pada Pembangunan yang Memiliki Pendekatan TOP-DOWN dan BOTTOM-UP PLANNING
Dalam suatu perencanaan terdapat beberapa pihak yang terlibat suatu produk rencana tersebut, baik terlibat secara langsung ataupun tak langsung tergantung pendekatan perencanaan yang dianut. Pihak-pihak terkait tersebut adalah pemerintah, swasta, masyarakat, dan perencana.  Pada pendekatan top-down planning di mana pemerintah yang memiliki andil terbesar dan mutlak sehingga dalam hal ini peran dari perencana pun tidak memiliki pengaruh yang besar karena di sini perencana hanya mengikuti apa yang menjadi permintaan dari pemerintah. Dalam pendekatan top-down ini semua keputusan berada di tangan pemerintah sedangkan masyarakat hanya sebagai objek dari suatu perencanaan tanpa ikut campur tangan dalam perencanaan.
Pada hakikatnya penataan ruang merupakan sebuah upaya membuat rencana untuk kepentingan masyarakat. Untuk itu langkah ke depan selanjutnya adalah bagaimana membuat masyarakat menjadi bagian dari proses perencanaan. Melibatkan masyarakat dalam proses perencanaan termasuk salah satu metode pendekatan bottom-up planning.  Dalam hal ini perencana memiliki peran sebagai mediator antara pemerintah dan masyarakat. Kali ini perencana memiliki tugas memberdayakan dalam bidang tata ruang. Melakukan perencanaan atas kepentingan masyarakat sejatinya seiring dan sejalan dengan melakukan perencanaan bersama masyarakat. Menjadikan masyarakat sebagai bagian dari proses perencanaan dan perencanaan bagian dari proses bermasyarakat.
Dalam upaya pengembangan wilayah dan pembangunan kota secara bottom-up, peran pemerintah akan lebih ditekankan pada penyiapan pedoman, norma, standar dan peraturan, pengembangan informasi dan teknologi, perumusan kebijakan dan strategi nasional. Sementara disisi lain, masyarakat semakin dituntut untuk mengenali permasalahan wilayah dan kota dan pemecahan yang inovatif yang tidak lagi tergantung pada pemerintah, meskipun pemerintah masih mempunyai kewajiban membantu dalam pembangunan wilayah. Seorang perencana pada akhirnya harus dapat menjadi seorang komunikator dalam proses politik yang terjadi, untuk mengkomunikasi kepentingan berbagai pihak.
F.     Proses Perencanaan Top-Down dan Bottom-Up
Proses top-down versus bottom-up lebih mencerminkan proses perencanaan di dalam pemerintahan yaitu dari lembaga/departemen dan daerah ke pemerintah Pusat. Lembaga/departemen/daerah menyusun rencana pembangunan sesuai dengan wewenang dan fungsinya. Proses top-down dan bottom-up ini dilaksanakan dengan tujuan antara lain menyelaraskan program-program untuk menjamin adanya sinergi/konvergensi dari semua kegiatan pemerintah dan masyarakat. Penyelarasan rencana-rencana lembaga pemerintah dilaksanakan melalui musywarah perencanaan yang dilaksanakan baik di tingkat pusat, propinsi, maupun kabupaten/kota.
Dalam sistem perencanaan nasional, pertemuan antara perencanaan yang bersifat top-down dan bottom-up diwadahi dalam musyawarah perencanaan. Dimana perencanaan makro yang dirancang pemerintah pusat disempurnakan dengan memperhatikan masukan dari semua stakeholders dan selanjutnya digunakan sebagai pedoman bagi daerah-daerah dan lembaga-lembaga pemerintah menyusun rencana kerja.
Pemerintah Kota (Pemkot) Makassar mengusulkan target Anggaran Pendapatan Belanja Daerah (APBD) Tahun 2016 sebesar Rp3,462 triliun. Usulan tersebut mulai dibahas oleh Badan Anggaran DPRD Makassar dalam draf Kebijakan Umum Anggaran (KUA).
Ketua Tim Anggaran Pemerintah Daerah (TAPD) Makassar Ibrahim Saleh mengatakan, Pemkot Makassar merencanakan pendapatan daerah pada tahun 2016 mendatang mencapai Rp380 miliar atau naik 12,35 persen dari tahun 2015 sebesar Rp3,01 triliun menjadi Rp3,462 triliun. dengan peningkatan APBD  Kota Makassar 2 tahun terakhir ini di sebabkan adanya program Permerintah khususnya Walikota Makassar yaitu SMART CITY dengan sistem tersebut dapat mengurangi tingkat kebocoran APBD Kota Makassar dengan Presentase 0.2% , sistem tersebut memberlakukan dan mengharuskan setiap transaksi lebih transparan dan akuntabel dalam pelaksanaannya misalnya saja dalam pembayaran pajak Hotel yang sebelum diberlakukan sistem tersebut pihak hotel membayarkan langsung pajaknya kepada Dispenda dengan perhitungan dan rincian yang diberikan oleh pihak pengelolaan hotel, namun pada saat pelaksanaan sistem SMART CITY tersebut secara signifikan menjadi pengaruh atas peningkatan APBD Kota Makasssar,  dimana dengan menggunakan aplikasi SMART CITY yang mengharuskan setiap transaksi lebih transparansi yakni apabila melakukan transaksi langsung secara otomatis potongan pajaknya langsung masuk kedalam pemasukan daerah Kota Makassar

Perkembangan teknologi yang semakin pintar membuat konsep smart tak hanya diterapkan pada berbagai perangkat, tetapi pada berbagai sistem atau tatanan. Salah satunya yang mencuat akhir-akhir ini adalah konsep smart city. Konsep yang disebut sebagai kota pintar ini adalah konsep yang mengetengahkan sebuah tatanan kota cerdas yang bisa berperan dalam memudahkan masyarakat untuk mendapatkan informasi secara cepat dan tepat.
Selain itu, konsep kota pintar ini juga memang dihadirkan sebagai jawaban untuk pengelolaan sumber daya secara efisien. Bisa dibilang, konsep kota cerdas ini adalah integrasi informasi secara langsung dengan masyarakat perkotaan.
INDIKATOR SMART CITY
Konsep smart city sendiri pertama kali dikemukakan oleh IBM, perusahaan komputer ternama di Amerika. Perusahaan tersebut memperkenalkan konsep smart city untuk meningkatkan kualitas hidup masyarakat perkotaan. Untuk menyukseskan konsep kota pintar ini, IBM menelurkan enam indikator yang harus dicapai. Keenam indikator tersebut adalah masyarakat penghuni kota, lingkungan, prasarana, ekonomi, mobilitas, serta konsep smart living.
Dengan mengoptimalkan keenam indikator tersebut, konsep smart city bukan lagi sebuah wacana belaka. Namun, perlu diingat, keenam indikator ini bisa lebih difokuskan atau dimaksimalkan salah satunya. Misalnya, kota Copenhagen. Kota yang ada di Denmark ini memfokuskan diri untuk pengoptimalan bidang lingkungan. Karena hal ini, Copenhagen dianggap sebagai salah satu kota pintar di dunia. Predikat smart city juga dimiliki oleh Seoul. Ibu Kota Korea Selatan tersebut fokus pada pelayanan publik pada bidang teknologi informasi. Tidak aneh jika kota ini memiliki jaringan internet tercepat di dunia.
PENERAPAN SMART CITY DI INDONESIA
Konsep smart city ini kini menjadi impian banyak kota besar di Indonesia. Konsep ini dianggap sebagai solusi dalam mengatasi kemacetan yang merayap, sampah yang berserakan, ataupun pemantau kondisi lingkungan di suatu tempat. Perjalanan menuju konsep smart city ini juga sudah mulai berjalan pelan-pelan. Dukungan aplikasi yang terus berkembang serta terciptanya ekosistem kreatif di bidang teknologi, merupakan langkah awal yang baik menuju kota pintar. Setidaknya, hal tersebut dapat dilihat di kota semacam Jakarta, Bandung, Yogyakarta, Surabaya, dan Makassar. Bahkan, dalam waktu dekat, kota Bandung akan menjadi percontohan sebagai kota pintar pertama lewat konsep Bandung Technopolis.
Untuk teknis bagaimana sebuah kota pintar bekerja, Suhono Harso Supangkat, ahli smart city dari ITB punya pendapat. Dikutip dari Liputan6.com (1/9/2014), beliau mengungkapkan bahwa smart city akan membuat kemacetan bisa perlahan teruraikan. Misalnya ketika kendaraan dalam keadaan merayap, ada sensor di lampu lintas yang nantinya akan memindai keadaan hingga membuat lampu hijau menyala lebih lama untuk jalur yang merayap.  Kondisi lain semisal ada daerah kotor, maka sensor membacanya kemudian hadirlah alat pembersih yang membersihkan daerah kotor tersebut. Dalam hal ini, sensor akan mendapatkan peran vital untuk menunjang sebuah konsep smart city.
Jika ada enam indikator untuk membuat kesuksesan sebuah smart city, maka hal tersebut belum lengkap jika tidak ada elemen pendukung. Masih menurut Suhono, smart city aka terbangun dengan dukungan lima teknologi pintar seperti sensor pintar, komunikasi dari satu mesin ke mesin lain, komputasi awan, media sosial dan teknologi Geographical Information System atau GIS.
Kelima teknologi ini cukup penting meski Suhono mengakui komunikasi mesin dengan mesin lain (machine to machine) merupakan hal yang masih belum bisa diterapkan di masa sekarang. Namun, keempat unsur lain masih memungkinkan. Setidaknya agar masyarakat bisa mendapatkan informasi dan akses lebih cepat.
Bila melihat uraian tersebut, konsep smart city memang merupakan satu hal yang menarik. Sebuah kota dengan dukungan teknologi pintar dalam menunjang aktivitas sehari-hari tentu akan semakin memudahkan manusia. Hanya saja, konsep smart city ini tampaknya masih harus didukung dengan pola pikir manusia modern di Indonesia.
Kesadaran akan lingkungan, pemanfaatan teknologi yang maksimal, serta kesadaran pentingnya pola hidup “cerdas” adalah hal-hal yang perlu diperhatikan juga. Tidak lucu bukan, jika sebuah kota mendapat predikat smart city, namun masih membuang sampah sembarangan, merusak atau mengambil fasilitas, serta hal-hal lainnya yang sifatnya negatif. Terlepas dari itu, smart city tampaknya bukanlah angan-angan belaka. Apalagi jika smart city ini didukung dengan cara berpikir dan bersikap yang cerdas.
 




Sumber: http://pumariksa.blogspot.co.id/2014/06/perencanaan-pembangunan-     menggunakan.html, http://www.plimbi.com/news/158601/smart-city-konsep-kota-cerdas 
 


Tidak ada komentar:

Posting Komentar