BAB
1
PENDAHULUAN
1.
Latar
Belakang
Tanpa kita sadari bahwa banyaknya
revolusi yang terjadi seiring dengan perkembangan teknologi dan budaya yang ada
dalam kehidupan manusia, telah menimbulkan berbagai macam permasalahan yang
muncul. Sejak Jatuhnya pemerintahan orde baru
rezim Soeharto, Indonesia sudah mengalami banyak perubahan dalam system
ketatanegaraan, dimana UUD 1945 yang selama ini kita anggap sebagai dasar
konstitusi seudah mengalami empat kali, sebagai mana kita ketahui bahwa pada
saat orde baru kekuasaan dan tanggung jawab berada dibawah komando presiden dan
presiden merupakan panglima tertinggi
yang mempunyai kekuatan, kewenangan untuk menentukan haluan Negara,
Namun ada banyak hal yang dianggap
membingungkan dalam system pemerintahan Negara Indonesia yaitu dimana tidak berfungsinya dengan baik
legislative karena peranannya sepenuhnya diambil alih oleh presiden, perubahanHukum
internasional tidak mempengaruhi keputusan hukum yang yang diberlakukan pada hukum
nasional, hukum Indonesia khususnya dan ini menjelaskan bahwa norma hukum
internasional tidak memiliki kekuatan hukum yang mengikat di pengadilan negeri.
Begitupun halnya
dengan Tingkat peradaban manusia yang semakin hari semakin berkembang membuat
kita senantiasa berurusan dengan lingkungan yang semakin hari sulit untuk
dihindari. Perkembangan lingkungan yang semakin tercemar memungkinkan
terjadinya suatu krisis terhadap lingkungan sosial. Krisis terhadap lingkungan
hidup merupakan suatu tantangan yang sangat besar. Tantangan ini didapati
berlaku terutama di negara-negara yang sedang membangun karena adanya berbagai
aktivitas pembangunan yang bertujuan meningkatkan kesejahteraan umat manusia
yang sering pula membawa dampak terhadap perubahan lingkungan.
Secara garis besar,
ada beberapa faktor yang menyebabkan kerusakan daya dukung alam, diantaranya
adalah kerusakan dalam (internal) dan kerusakan luar (external).
Kerusakan dalam adalah kerusakan yang disebabkan oleh alam itu sendiri.
Kerusakan jenis ini sangat sulit untuk dicegah karena merupakan suatu proses
alami yang sangat sulit untuk diduga, seperti letusan gunung berapi yang dapat
merusak lingkungan, gempa bumi yang berakibat runtuhnya lapisan tanah yang
dapat mengancam organisme hayati maupun non hayati dan lain sebagainya. Kerusakan
yang bersifat dari dalam ini biasanya berlangsung sangat cepat dan pengaruh
yang ditimbulkan dari adanya kerusakan ini adalah sangat lama. Kerusakan luar (external)
adalah kerusakan yang disebabkan oleh aktivitas manusia dalam pengelolaan alam
dalam usaha peningkatan kualitas hidup. Kerusakan luar ini pada umumnya
disebabkan oleh aktivitas pabrik yang mengeluarkan limbah, ataupun membuka
sumber daya alam tanpa memperhatikan lingkungan hidup serta tidak mempelajari
segi efektivitasnya dan dampaknya terhadap lingkungan disekitarnya.
upaya pembangunan
lingkungan hidup dalam upaya pengelolaan pembangunan yang berkelanjutan dan
berwawasan lingkungan diharapkan mampu memberikan suatu gambaran yang jelas
mengenai hal-hal yang diharapkan mampu untuk mendukung masyarakat dalam
memenuhi kebutuhan yang dimilikinya dengan tetap memperhatikan lingkungan hidup
dengan lebih mengedepankan suatu etika dan pengetahuan mengenai lingkungandalam
suatu cara pandang yang dimiliki oleh masyarakat.
2.
Rumusan
Masalah
A. Bagaimana
penerapan Hukum Internasional dalam konteks hukum nasional
B. Bagaimana
melaksanakan pembangunan dengan mengedepankan pembangunan lingkungan hidup
dalam upaya pengelolaan pembangunan berkelanjutan
3.
Tujuan
Adapun
tujuan dari penulis yaitu:
A. Untuk
mengetahui pelaksanaan Hukum internasional di Indonesia
B. Untuk
mengetahui bagaimana pelaksanaan pembangunan yang berkelanjutan di Indonesia
BAB
II
PEMBAHASAN
1.
SUMBER
HUKUM INTERNASIONAL
Berdasarkan perjanjian internasional
yang dibentuk oleh PBB menggambarkan bahwa ada empat sumber hukum internasional
yaitu
·
konvensi internasional
yang menjelaskan
bahwa penerapan suatu aturan yang tegas yang mengikat bagi orang yang melakukan
pelanggaran hokum
·
kustom internasional
Kostum hukum
merupakan sebagai bahan atau bukti yang dilahirkan dari praktek atau kegiatan
dari sebuah hukum yang diterima
·
Prinsip-prinsip umum
hukum
Yang dapat
diakui oleh bangsa bangsa yang beradab.
·
Tunduk pada ketentuan
Pada penentuan
keputusan yang telah diputuskan oleh pengadilan merupakan keputusan yang
berkualitas dan diakui oleh berbagai negara dan merupakan daftar otoritatif
proses yang dianggap mampu menciptakan aturan yang mengikat negara.
Untuk memahami sumber hukum
internasional maka kita harus kembali ke definisi dasar yaitu Konvensi
internasional atau Perjanjian Black Hukum Dictionar y (1999) menyatakan, Sebuah
konvensi adalah perjanjian atau persetujuan antara negara-negara. Dengan
demikian, konvensi internasional termasuk perjanjian yang sering disebut
perjanjian. Pada bagian 1(a) Pasal 1 di Wina Konvensi Hukum Perjanjian (1969)
berbunyi : Untuk tujuan Konvensi ini: (a) "perjanjian" berarti
internasional kesepakatan menyimpulkan antara Serikat dalam bentuk tertulis dan
diatur oleh Hukum internasional, apakah yang terkandung dalam instrumen tunggal
atau dalam dua atau lebih terkait instrumen dan apa pun sebutan khususnya.
karena perjanjian tersebut telah dinegosiasikan selama ribuan tahun, dan
terdapat beberapa judul termasuk perjanjian, kompak, protokol, dan sejenisnya.
2. Konsep
hukum internasional
Dalam salah satu perjanjian awal,
ditulis pada tanah liat tablet, adalah antara Raja Silis orang Het dan Ramses
II di Mesir. Itu di 1269 SM, lebih dari 3.200 tahun yang lalu, International
Kustom Profesor hukum Anthony D'Amato, dalam ticle yang dikutip oleh profesor
hukum David Hunter, James Salzman, dan Durwood Zaelke (2002, pp. 310-311),
menyatakan bahwa "aturan adat mewakili keteraturan perilaku "sambil
mengingatkan tiga kualifikasi: Pertama, pendekatan ini empiris dari pada
normatif. Ia mencoba untuk menggambarkan norma-norma yang ada yang mengatur
hubungan antara negara-negara, tetapi tidak menganjurkan atau resep norma baru.
Kedua, aturan adat yang tidak
setara dengan keteraturan perilaku sederhana. norma adat tidak hanya tergantung
pada praktek negara (yaitu, pada obser keteraturan Vable perilaku), tetapi juga
pada penerimaan keteraturan ini sebagai hukum oleh negara-negara. Akhirnya
aturan yang mewakili suatu aturan, tetapi tidak harus seragam perilakunya.
Pendekatan perilaku membutuhkan kesesuaian umum antara aturan dan perilaku.
Jika aturan diklaim mengatakan satu hal dan menyatakan umumnya melakukan
sesuatu, satu hal tidak bisa lagi mengatakan bahwa aturan yang
"mengatur" suatu perilaku. Namun demikian, kesalahan dan pelanggaran
aturan yang mungkin terjadi. Prinsip-prinsip umum Hunter, Salzman, dan Zaelke
(2002, pp. 315-316), sambil menunjuk bahwa "apa yang termasuk dalam
[General] prinsip adalah masalah perdebatan, " dalam kutipan professor hukum
Ian Brownlie, yang menyatakan bahwa "Prinsip-prinsip umum" bisa
merujuk ke "aturan yang berlaku dalam hukum domestik semua Negara,
"atau alternatif, dengan prinsip-prinsip umum hukum privat yang digunakan
dalam semua atau sebagian besar negara.
Prinsip-prinsip tersebut berlaku
untuk hubungan Amerika. Prinsip-prinsip umum, kemudian, mengisi kekosongan
dalam hukum internasional yang belum diisi oleh perjanjian atau kebiasaan.
Secara signifikan, prinsip-prinsip umum meliputi prinsip-prinsip yang muncul
dari sistem hukum, dan karena itu dicoba dan diuji dalam hukum domestik sebelum
dimasukkan ke dalam hukum internasional. Keputusan peradilan dan Ajaran Paling
Berkualitas profesor hukum Antonio A. Oposa Jr(2003, p. 445), mendeskripsi bahwa
dari peran keputusan peradilan dan tulisan-tulisan ilmiah hukum internasional:
Hukum internasional juga dapat dinyatakan melalui keputusan pengadilan dari
pengadilan internasional dan pengadilan, dan pengadilan nasional. Harus dicatat
bahwa Keputusan pengadilan tidak dapat dipengaruhi keputusan yang telah
dikeluarkan atau ditetapkan oleh Hukum Internasional sendiri.
3. Konsep
Pembangunan Berkelanjutan
Pembangunan berkelanjutan sebagai Konsep
atau Prinsip Umum Seperti yang ditunjukkan oleh Kiss (2003, hal. 8), dalam
kasus yang menyangkut Proyek Gabcikovo-Nagymaros (Hungaria / Slovakia) pada
tahun 1997, yang menjelaskan tentang "konsep" pembangunan
berkelanjutan, walaupun terdapat perbedaan pendapat diantara ilmuan, kiss berpendapat
bahwa pembangunan berkelanjutan adalah "prinsip hukum internasional.
"Dalam hal ini ICJ telah diminta untuk memutuskan atas dasar 1977
Perjanjian pada Konstruksi dan Operasi bendungan Gabcikovo-Nagymaros, yang
bersangkutan sistem bendungan di Sungai Danube dirancang untuk menghasilkan dan
peningkatan energi listrik" yang dikemukakan oleh Danube, pengendalian banjir dan regulasi
es-discharge, dan perlindungan lingkungan. " ICJ juga diminta untuk
memutuskan kasus itu atas dasar "aturan dan prinsip-prinsip hukum internasional
serta perjanjian lainnya seperti pengadilan dapat menemukan yang berlaku.
"(kiss dan Shelton, 2000, hal. 423.) Penghakiman, disampaikan oleh 15
Hakim t Cour, dengan Stephen M. Schwebel ser Ving sebagai Presiden, termasuk
paragraf berikut 140 (Gabcikovo-Nagymaros Proyek [Hongaria / Slovakia)] tahun
1997, ICJ,) berurusan dengan "efek terhadap lingkungan," "risiko
yang akan muncul manusia-untuk dan generasi masa depan, "dan" konsep
pembangunan berkelanjutan ": [140] ... Sepanjang usia, manusia memiliki,
karena alasan ekonomi dan lainnya, terus-menerus mengganggu alam. Di masa lalu,
ini sering dilakukan tanpa pertimbangan efek terhadap lingkungan. Karena
wawasan ilmiah baru dan untuk tumbuh sebuah kesadaran risiko bagi umat
manusia-untuk sekarang dan masa depan generasi-pengejaran intervensi seperti
kecepatan unconsidered dan berlanjut, norma-norma baru dan Standar yang telah
dikembangkan, diatur dalam sejumlah besar instrumen selama dua dekade terakhir.
norma-norma baru tersebut harus dipertimbangkan, dan seperti standar baru
diberi bobot yang tepat, tidak hanya ketika Amerika merenungkan kegiatan baru
tetapi juga ketika melanjutkan dengan kegiatan dimulai di masa lalu. Kebutuhan
ini untuk mendamaikan pembangunan ekonomi dengan perlindungan lingkungan adalah
tepat dinyatakan dalam konsep pembangunan berkelanjutan Alan Boyle dan David
Freestone (1999, pp. 16-18) menjelaskan status hukum berkelanjutan pembangunan
sebagai berikut: Tidak ada jawaban yang mudah dapat diberikan kepada pertanyaan
apakah hukum internasional sekarang mengharuskan semua pembangunan
berkelanjutan. Sulit untuk melihat pengadilan internasional meninjau aksi
nasional dan menyimpulkan tentang "pembangunan berkelanjutan.
The Legal Mandat Multilateral Bank memandang
bahwa Pembangunan sebagai Agen Perubahan terhadap Pembangunan yang
berkelanjutan "[Pembangunan Multilateral Banking: Prinsip Environemental
dan Konsep Mencerminkan Hukum Internasional Umum dan Kebijakan Publik 2001])
dan keputusan tentang apa yang merupakan sisa keberlanjutan terutama dengan
pemerintah masing-masing. Ini bukan akhir dari masalah, namun. Sebuah argumen
yang lebih masuk akal adalah bahwa meskipun internasional hukum mungkin tidak
membutuhkan pengembangan untuk menjadi berkelanjutan, hal itu membutuhkan
keputusan pembangunan menjadi hasil dari proses yang mempromosikan pembangunan
berkelanjutan. Secara khusus, jika negara-negara tidak melaksanakan AMDAL, atau
mendorong partisipasi masyarakat, atau mengintegrasikan pengembangan dan
pertimbangan lingkungan di pengambilan keputusan mereka, atau mempertimbangkan
kebutuhan ekuitas intra dan antar-generasi, mereka akan gagal untuk menerapkan
unsur-unsur utama yang digunakan oleh Deklarasi Rio lainnya yaitu instrumen
internasional dengan tujuan untuk memfasilitasi pembangunan berkelanjutan. seperti
yang kita akan lihat di bawah, praktek negara yang cukup untuk mendukung
pentingnya normatif sebagian besar elemen ini. Selain itu, interpretasi yang
membuat proses pengambilan keputusan unsur hukum utama di pembangunan
berkelanjutan, bukan sifat pembangunan, secara implisit didukung oleh kasus
mengenai Gabcikovo-Nagymaros Dam. Dalam keputusan itu, sementara tidak mempertanyakan
apakah Proyek itu berkelanjutan, Mahkamah Internasional memang memerlukan pihak
dalam kepentingan pembangunan berkelanjutan untuk "melihat lagi" pada
konsekuensi lingkungan dan untuk melaksanakan monitoring dan pengurangan
langkah-langkah untuk standar kontemporer yang ditetapkan oleh hukum
internasional. 92 ajil 642. (1997) ICJ Reports, 7, di para.
Pendekatan seperti memungkinkan
pengadilan internasional untuk lebih tujuan pembangunan berkelanjutan sesuai
dengan Deklarasi Rio sementara menghilangkan mereka dari tugas yang tidak
mungkin memutuskan apa dan apa yang tidak berkelanjutan. Argumen semacam ini
sehingga akan fokus pada komponen pembangunan berkelanjutan, bukan pada konsep
itu sendiri. Apakah pembangunan berkelanjutan adalah kewajiban hukum, dan
seperti yang kita lihat ini tampaknya tidak mungkin, tidak mewakili tujuan yang
dapat mempengaruhi hasil litigasi dan praktek negara dan organisasi
internasional, dan dapat menyebabkan signifikan perubahan dan perkembangan
dalam hukum yang ada. Dalam arti yang sangat penting, hukum internasional tidak
tampaknya membutuhkan negara dan badan-badan internasional untuk
memperhitungkan tujuan berkelanjutan pengembangan, dan untuk menetapkan proses
yang tepat untuk melakukannya. dua pandangan yang berbeda tentang sifat
pembangunan berkelanjutan," Kiss bertanya: "Apakah itu sebuah konsep
sebagai International Cour t Kehakiman memenuhi syarat itu atau itu
prinsip?" Dia mulai nya membalas (2003, pp 8-9.) oleh tr ying untuk
"mengklarifikasi dua pengertian" sebagai berikut: Sebuah konsep
adalah ciptaan abstrak dari pikiran manusia tanpa bahan konten. Prinsip yang,
pada contrar y, norma-norma fundamental untuk orientasi orang, pihak berwenang
atau orang lain, mewujudkan isi hukum, moral atau intelektual konsep, tanpa
harus menjadi langsung diterapkan. Dalam hal ini, negara adalah Konsep,
sementara Konstitusinya menyatakan prinsip-prinsip dalam rangka membangun
fundamental aturan fungsinya. Dalam penerapan prinsip-prinsip tersebut,
undang-undang tertentu diberlakukan untuk mengatur fungsi organ negara dan perilaku
orang. Kiss kemudian menyarankan bahwa "pembangunan berkelanjutan harus
dipertimbangkan sebagai Konsep sementara beberapa prinsip telah diusulkan untuk
membangun konten yang konkret. "Memperhatikan bahwa "2002
Johannesburg World Summit on Sustainable Development difokuskan t par besar
pekerjaan pada pembangunan berkelanjutan, "(ibid.) Kiss mengacu pada
deklarasi prinsip-prinsip hukum internasional di bidang pembangunan
berkelanjutan diadopsi pada April 2002 Konferensi Asosiasi Hukum Internasional
yang diselenggarakan di New Delhi. deklarasi itu, yang tidak berasal dari
pertemuan negara tetapi hanya dari grup pribadi, diusulkan tujuh prinsip dasar
yang diikuti oleh komentar jelas: 1. Tugas Amerika untuk memastikan pemanfaatan
berkelanjutan sumber daya alam Sementara, sesuai dengan hukum internasional,
semua negara memiliki hak berdaulat untuk menggunakan mereka sendiri sumber
daya alam sesuai dengan kebijakan lingkungan dan pembangunan mereka sendiri,
mereka juga berkewajiban untuk mengelola sumber daya alam, termasuk sumber daya
alam di territor mereka sendiri y atau yurisdiksi, secara rasional,
berkelanjutan dan aman sehingga dapat berkontribusi pada pengembangan mereka
bangsa dan ke elevasi conser dan perlindungan lingkungan, termasuk ekosistem.
Serikat harus memperhitungkan kebutuhan generasi mendatang. Deklarasi
menekankan bahwa semua yang relevan aktor, termasuk Amerika, kekhawatiran
industri dan komponen masyarakat sipil lainnya berada di bawah kewajiban untuk
menghindari pemborosan sumber daya alam dan mempromosikan kebijakan
minimalisasi limbah. ... Kotak 7-5,
Pembangunan Berkelanjutan dan Argumen
tidak berkelanjutan Vaughan Lowe (1999, hal. 21) berpendapat bahwa konsep
pembangunan berkelanjutan bukanlah "Mengikat norma hukum internasional"
tapi tetap "sebuah konsep dengan nilai potensi besar": Argumen bahwa
konsep pembangunan berkelanjutan sekarang menjadi norma mengikat hukum
internasional dalam arti dari "logika normatif" hukum internasional
tradisional seperti yang tercermin dalam Pasal 38 (1) dari Statuta Mahkamah
Internasional tidak berkelanjutan, tapi ... ada pengertian di mana konsep
pembangunan berkelanjutan mencontohkan spesies lain dari normativitas yang
merupakan nilai potensi besar dalam penanganan konsep hukum lingkungan internasional.
4. Teori Keberlakuan Hukum Internasional
A.
Aliran Dualisme
Aliran dualisme
bersumber pada teori bahwa daya ikat hukum internasional bersumber pada kemauan
negara, hukum internasional dan hukum nasional merupakan dua sistem atau
perangkat hukum yang terpisah.
Ada beberapa alasan yang dikemukakan
oleh aliran dualisme untuk menjelaskan hal ini:
1.
Sumber hukum, paham
ini beranggapan bahwa hukum nasional dan hukum internasional mempunyai sumber
hukum yang berbeda, hukum nasional bersumber pada kemauan negara, sedangkan
hukum internasional bersumber pada kemauan bersama dari negara-negara sebagai
masyarakat hukum internasional;
2.
Subjek hukum
internasional, subjek hukum nasional adalah orang baik dalam hukum perdata atau
hukum publik, sedangkan pada hukum internasional adalah negara;
3.
Struktur hukum,
lembaga yang diperlukan untuk melaksanakan hukum pada realitasnya ada mahkamah
dan organ eksekutif yang hanya terdapat dalam hukum nasional. Hal yang sama
tidak terdapat dalam hukum internasional.
4.
Kenyataan, pada
dasarnya keabsahan dan daya laku hukum nasional tidak dipengaruhi oleh
kenyataan seperti hukum nasional bertentangan dengan hukum internasional.
Dengan demikian hukum nasional tetap berlaku secara efektif walaupun
bertentangan dengan hukum internasional.[5]
Maka sebagai akibat
dari teori dualisme ini adalah kaidah-kaidah dari perangkat hukum yang satu
tidak mungkin bersumber atau berdasar pada perangkat hukum yang lain. Dengan
demikian dalam teori dualisme tidak ada hirarki antara hukum nasional dan hukum
internasional karena dua perangkat hukum ini tidak saja berbeda dan tidak
bergantung satu dengan yang lain tetapi juga terlepas antara satu dengan yang
lainnya.
Akibat lain adalah
tidak mungkin adanya pertentangan antara kedua perangkat hukum tersebut, yang
mungkin adalah renvoi. Karena itu dalam menerapkan hukum internasional
dalam hukum nasional memerlukan transformasi menjadi hukum nasional.
B.
Aliran Monisme
Teori monisme
didasarkan pada pemikiran bahwa satu kesatuan dari seluruh hukum yang mengatur
hidup manusia.[7] Dengan demikian hukum nasional dan
hukum internasional merupakan dua bagian dalam satu kesatuan yang lebih besar
yaitu hukum yang mengatur kehidupan manusia. Hal ini berakibat dua perangkat
hukum ini mempunyai hubungan yang hirarkis. Mengenai hirarki dalam teori
monisme ini melahirkan dua pendapat yang berbeda dalam menentukan hukum mana
yang lebih utama antara hukum nasional dan hukum internasional.
Ada pihak yang
menganggap hukum nasional lebih utama dari hukum internasional. Paham ini dalam
teori monisme disebut sebagai paham monisme dengan primat hukum nasional. Paham
lain beranggapan hukum internasional lebih tinggi dari hukum nasional. Paham
ini disebut dengan paham monisme dengan primat hukum internasional. Hal ini
dimungkinkan dalam teori monisme.
Monisme dengan primat
hukum nasional, hukum internasional merupakan kepanjangan tangan atau lanjutan
dari hukum nasional atau dapat dikatakan bahwa hukum internasional hanya
sebagai hukum nasional untuk urusan luar negeri. Paham ini melihat bahwa
kesatuan hukum nasional dan hukum internasional pada hakikatnya adalah hukum
internasional bersumber dari hukum nasional. Alasan yang kemukakan adalah
sebagai berikut:
1.
tidak adanya suatu
organisasi di atas negara-negara yang mengatur kehidupan negara-negara;
2.
dasar hukum
internasional dapat mengatur hubungan antar negara terletak pada wewenang
negara untuk mengadakan perjanjian internasional yang berasal dari kewenangan
yang diberikan oleh konstitusi masing-masing negara.
Monisme dengan primat
hukum internasional, paham ini beranggapan bahwa hukum nasional bersumber dari
hukum internasional.[10] Menurut paham ini hukum nasional
tunduk pada hukum internasional yang pada hakikatnya berkekuatan mengikat
berdasarkan pada pendelegasian wewenang dari hukum internasional.
Pada kenyataannya
kedua teori ini dipakai oleh negara-negara dalam menentukan keberlakuan dari
hukum internasional di negara-negara. Indonesia sendiri menganut teori dualisme
dalam menerapkan hukum internasional dalam hukum nasionalnya.
5.
Perjanjian
Internasional sebagai Sumber Hukum Internasional
Dalam hukum
internasional terdapat beberapa sumber hukum internasional. Menurut sumber
tertulis yang ada terdapat dua konvensi yang menjadi rujukan apa saja yang
menjadi sumber hukum internasional. Pada Konvensi Den Haag XII, Pasal 7,
tertanggal 18 Oktober 1907, yang mendirikan Mahkamah Internasional Perampasan
Kapal di Laut (International Prize Court) dan dalam Piagam Mahkamah
Internasional Permanen, Pasal 38 tertanggal 16 Desember 1920, yang pada saat
ini tercantum dalam Pasal 38 Piagam Mahkamah Internasional tertanggal 26 Juni
1945.
Sesuai dengan dua dokumen tertulis tersebut
yang berisi penunjukan pada sumber hukum formal, hanya dua dokumen yang penting
untuk dibahas, yaitu Piagam Mahkamah Internasional Permanen dan Piagam Mahkamah
Internasional. Ini disebabkan karena Mahkamah Internasional mengenai Perampasan
Kapal tidak pernah terbentuk, karena tidak tercapainya minimum ratifikasi.
Dengan demikian Pasal 38 Mahkamah Internasional Permanen dan Pasal 38 ayat 1
Mahkamah Internasional, dengan demikian hukum positif yang berlaku bagi
Mahkamah Internasional dalam mengadili perkara yang diajukan dihadapannya
adalah:
1.
Perjanjian
Internasional;
2.
Kebiasaan
Internasional;
3.
Prinsip Hukum Umum;
4.
Keputusan Pengadilan
dan ajaran para sarjana yang terkemuka dari berbagai negara sebagai sumber
tambahan untuk menetapkan hukum.
Perjanjian internasional yang dimaksud
adalah perjanjian yang dibuat atau dibentuk oleh dan diantara anggota
masyarakat internasional sebagai subjek hukum internasional dan bertujuan untuk
mengakibatkan hukum tertentu.
Dewasa ini dalam hukum internasional
kecendrungan untuk mengatur hukum internasional dalam bentuk perjanjian
intenasional baik antar negara ataupun antar negara dan organisasi
internasioanal serta negara dan subjek internasional lainnya telah berkembang
dengan sangat pesat, ini disebabkan oleh perkembangan yang pesat dari
masyarakat internasional, termasuk organisasi internasional dan negara-negara.
Perjanjian internasional yang dibuat
antara negara diatur dalam Vienna Convention on the Law of Treaties (Konvensi
Wina) 1969. Konvensi ini berlaku (entry into force) pada 27 Januari
1980. Dalam Konvensi ini diatur mengenai bagaimana prosedur perjanjian
internasional sejak tahap negosiasi hingga diratifikasi menjadi hukum nasional.
Banyak istilah yang digunakan untuk
perjanjian internasional diantaranya adalah traktat (treaty), pakta (pact),
konvensi (convention), piagam (statute), charter, deklarasi,
protokol, arrangement, accord, modus vivendi, covenant, dan lain-lain. Semua
ini apapun namanya mempunyai arti yang tidak berbeda dengan perjanjian
internasional.
Dalam praktik beberapa negara perjanjian
internasional dapat dibedakan menjadi dua golongan. Golongan pertama adalah
perjanjian yang dibentuk melalui tiga tahap pembentukan yakni perundingan,
penandatanganan dan ratifikasi. Golongan yang kedua adalah perjanjian yang
dibentuk melalui dua tahap, yaitu perundingan dan penandatanganan. Untuk golongan
pertama biasanya dilakukan untuk perjanjian yang dianggap sangat penting
sehingga memerlukan persetujuan dari dari badan yang memiliki hak untuk
mengadakan perjanjian (treaty making power). Hal ini biasanya
berdasarkan alasan adanya pembentukan hukum baru atau menyangkut masalah
keuangan negara. Sedangkan golongan kedua lebih sederhana, perjanjian ini tidak
dianggap begitu penting dan memerlukan penyelesaian yang cepat.
Selanjutnya apa yang menjadi ukuran
suatu perjanjian mana yang termasuk golongan yang penting, sehingga memerlukan
ratifikasi dari Dewan Perwakilan Rakyat dan perjanjian mana yang tidak di
Indonesia. Proses pembentukan Perjanjian Internasional, menempuh berbagai tahapan
dalam pembentukan perjanjian internasional, sebagai berikut:
1.
Penjajakan: merupakan
tahap awal yang dilakukan oleh kedua pihak yang berunding mengenai kemungkinan
dibuatnya suatu perjanjian internasional.
2.
Perundingan: merupakan
tahap kedua untuk membahas substansi dan masalah-masalah teknis yang akan
disepakati dalam perjanjian internasional.
3.
Perumusan Naskah:
merupakan tahap merumuskan rancangan suatu perjanjian internasional.
4.
Penerimaan: merupakan
tahap menerima naskah perjanjian yang telah dirumuskan dan disepakati oleh para
pihak. Dalam perundingan bilateral, kesepakatan atas naskah awal hasil
perundingan dapat disebut "Penerimaan" yang biasanya dilakukan dengan
membubuhkan inisial atau paraf pada naskah perjanjian internasional oleh ketua
delegasi masing-masing. Dalam perundingan multilateral, proses penerimaan (acceptance/approval)
biasanya merupakan tindakan pengesahan suatu negara pihak atas perubahan
perjanjian internasional.
5.
Penandatanganan :
merupakan tahap akhir dalam perundingan bilateral untuk melegalisasi suatu
naskah perjanjian internasional yang telah disepakati oleh kedua pihak. Untuk
perjanjian multilateral, penandatanganan perjanjian internasional bukan
merupakan pengikatan diri sebagai negara pihak. Keterikatan terhadap perjanjian
internasional dapat dilakukan melalui
6.
Hukum
Internasional berdasarkan konteks indonesia
A. Pembuatan
Perjanjian Internasional
Dalam
hal ini pada saat sebelum Indonesia mengadakan perubahan dalam UUD 1945 yang
menyatakan bahwa “presiden dengan persetujjuan Dewan Perwakilan Rakyat membuat
perjanjian dengan negara lain, diawal kemerdekaan Indonesia pembuatan
Prerjanjian internasional didasarkan pada Konstitusi RIS yang menyebutkan bahwa
Presiden mengadakan dan mengesahkan segala perjanjian dan persetujuan lain
dengan negara-negara lain kecuali ditentukan lain dengan undang-undang federal,
masuk dalam dan memutuskan perjanjian dan persetujuan lain dilakukan oleh Presiden dengan kuasa
Undang-Undang.
Menurut
Harjono dalam disertasinya yang berjudul Aspek-Aspek Yuridis Pembuatan Perjanjian Internasional
dalam Sistem UUD 1945 bahwa surat
presiden tersebut yang kemudian digunakan sebagai dasar hukum dalam pengesahan
perjanjian internasional pada saat itu memiliki kelemahan materil dan formil.
Lebih lanjut dikatakan bahwa surat tersebut tidak memiliki unsur sebagai
sumberdaya hukum dalam system ketatanegaraan di Indonesia karena surat tersebut
tidak mengandung unsur normative yang sebenarnya hanya bersifat penafsiran
presiden terhadap pasal 11 UUD 1945.
B. Hukum
Internasional Publik di Pengadilan Nasional Indonesia
Perlu
kita ketahui bahwa sebelum adanya UU Nomor 24 Tahun 2000 tentang perjanjian
internasional ada banyak kasus yang terjadi menggunakan hukum internasional
sebagai dasar hukum untuk mengajukan klaim atau gugatan dalam pelaksanaannya ada dua pendapat yang
bertentangan dengan masalah ini yaitu pendapat yang menyetujui bahwa Indonesia
masih terkait dengan konvensi karena
pemerintah indonesia belum secara tegas menarik diri dari Konvensi sehingga masih
dianggap sah sebagai bagian dari hukum di Indonesia, adapun dasar hukum yang
digunakan adalah sejarah terkait dengan Konvensi Meja Bundar (KMB) mengenai
pemindahan kekuasaan.
Pendapat
kedua menyatakan bahwa ketidak setujuannya jika konvensi tersebut masih tetap
berlaku karena Indonesia tidak secara langsung terkait oleh perjanjian
tersebut, sebagaimana yang telah diungkapkan Kepres Nomor 34 Tahun 1981 yang
memiliki dua prinsip yang mana salah satunya menyebutkan bahwa konvensi New
York dianggap sebagai perjanjian yang bersifat self-executing sehingga
penerapannya tidak memerlukan implementing legislation.
C. Hukum
Internasional Bersifat Non-self-executing di Indonesia
Dalam
hubungan Hukum internasional di Indonesia menggunakan pendekatan dualism,
dimana hukum internasional dan hukum nasional adalah dua system hukum yang berbeda dan terpisah, dalam penerapan hukum
internasional kedalam system hukum nasional Indonesia, Indonesia menggunakan
teori transformasi, Diana agar hukum internasional dapat diterapkan dalam
system hukum di Indonesia.
Di
pengadilan Indonesia, individu tidak dapat menggunakan pasal-pasal dalam hukum
internasional yang telah diratifikasi oleh pemerintah Indonesia secara langsung
dalam hal mengajukan tuntutan atau klaim, atau dengan kata lain bahwa hukum
internasional ytidakl memilikikekuatan yang mengikat di peradilan Indonesia.
UUD
1945 sebagai hukum tertinggi dalam hirarki peraturan perundang undangan di Indonesia juga silent
terkait dengan eksistensi dan perjanjian internasional yang telah diratifikasi
atau diakses oleh Pemerintah Indonesia, dapat disimpulkan bahwa Indonesia tidak
pernah mengenal istilah self-executing treaties karena perjanjian perjanjian
internasional yang diratifikasi maupun yang diaksesi oleh pemerintah Indonesia
tidak dapat diterapkan secara langsung di pengadilan Indonesia, sehingga tidak
memiliki kekuatan hukum yang mengikat serta sifat semua hukum internasional di
Indonesia adalah non self-executing karena untuk diterapkan dalam hukum
nasional di Indonesia perjanjian perjanjian tersebut harus ditransformasikan
suatu implementing legislation yang telah diatur dalam aturan hukum di
Indonesia
7.
Percepatan
Pembangunan dalam Konteks Indonesia
A.
Pengertian Hukum
Lingkungan
Berdasarkan pada Pasal 1 butir 1 Undang-Undang Nomor 23 Tahun 1997 tentang
Pengelolaan Lingkungan Hidup bahwa Lingkungan Hidup adalah kesatuan ruang
dengan semua benda, daya, keadaan dan makhluk hidup termasuk didalamnya manusia
dan perilakunya yang mempengaruhi kelangsungan peri kehidupan dan kesejahteraan
manusia serta makhluk hidup lainnya. Jadi, manusia hanyalah salah satu unsur
dalam lingkungan hidup tetapi perilakunya akan mempengaruhi kelangsungan peri
kehidupan dan kesejahteraan manusia serta makhluk hidup lain. Makhluk hidup
yang lain termasuk binatang tidak merusak, mencemari atau menguras lingkungan.
hal ini juga dijelaskan didalam penjelasan Undang-Undang Lingkungan Hidup
antara lain sebagai berikut: “ Lingkungan hidup Indonesia sebagai karunia dan
rahmat Tuhan Yang Maha Esa kepada rakyat dan bangsa Indonesia merupakan ruang
bagi kehidupan dalam segala aspek dan mantranya sesuai dengan wawasan
nusantara.”Paradigma baru mengenai lingkungan hidup inilah menjadi inspirasi
munculnya suatu paradigma baru mengenai hukum lingkungan. Penggunaan hukum
lingkungan ini dimaksudkan untuk menunjukkan bagian hukum yang bersangkutan
dengan lingkungan fisik dan dapat diterapkan untuk mengatasi pencemaran,
pengurasan dan perusakan (verontreiniging, uitputting en aantasting)
lingkungan (fisik).
Jadi pengertian hukum lingkungan disini hanya meliputi lingkungan fisik
saja dan tidak menyangkut lingkungan sosial. Misalnya tidak meliputi pencemaran
kebudayaan akan tetapi masalah lingkungan berkaitan pula dengan gejala sosial,
seperti pertumbuhan penduduk, migrasi dan tingkah laku sosial dalam
memproduksi, mengkonsumsi, dan rekreasi.
Hukum lingkungan pada umumnya bertujuan untuk menyelesaikan masalah
lingkungan khususnya yang disebabkan oleh umat manusia. Kerusakan lingkungan
atau menurunnya mutu lingkungan disebabkan juga oleh bencana alam yang
kadang-kadang sangat dahsyat dan tentunya dapat mengganggu stabilitas
masyarakat dalam suatu lingkungan. Masalah lingkungan bagi manusia dapat
dilihat dari menurunnya kualitas lingkungan. Kualitas lingkungan menyangkut
nilai lingkungan untuk kesehatan, kesejahteraan dan ketenteraman manusia. Nilai
lingkungan untuk berbagai bentuk pemanfaatan. Hilang dan berkurangnya nilai
lingkungan karena pemanfaatan tertentu oleh umat manusia.
B. Pengelolaan
Lingkungan Hidup
Pengelolaan
lingkungan hidup adalah merupakan usaha pemanfaatan sumberdaya alam baik berupa pemanfaatan sumberdaya alam maupun
penggunaan sumberdaya guna kepentingan bersama, biasa juga didefinisikan bahwa
merupakan upaya terpadu dalam pelestarian fungsi lingkungan hiidup yang
meliputi kebijakan penataan, pemanfaatan, pengembangan, pemeliharaan,
pembangunan, pemulihan dan pengendalian lingkungan hidup dimana dalam
pelaksanaan pengelolaan lingkungan hidup dapat dilakukan dengan menggunakan
empat indicator POAC yaitu Planing, Organizing, Actuating dan Controling.
C. Perkembangan Hukum Lingkungan Di Indonesia
Pengelolaan sumber daya alam dan lingkungan hidup perlu diikuti tindakan
berupa pelestarian sumber daya alam dalam rangka memajukan kesejahteraan umum
seperti tercantum dalam UUD 1945. Undang-Undang Nomor 4 Tahun 1982 tentang
Ketentuan-Ketentuan Pokok Pengelolaan Lingkungan Hidup sebagaimana telah diubah
dan diperbarui oleh Undang- Undang Nomor 23 Tahun 1997 tentang Pengelolaan
Lingkungan Hidup adalah payung dibidang pengelolaan lingkungan hidup serta
sebagai dasar penyesuaian terhadap perubahan atas peraturan yang telah ada
sebelumnya, serta menjadikannya sebagai satu kesatuan yang bulat dan utuh
didalam suatu system.
Sebagai sub sistem atau bagian komponen dari sistem hukum nasional
Indonesia, hukum lingkungan Indonesia di dalam dirinya membentuk suatu sistem
dan sebagai suatu sistem, hukum lingkungan Indonesua mempunyai sub sistem yang
terdiri atas:
1) Hukum penataan lingkungan;
2) Hukum acara lingkungan;
3) Hukum perdata lingkungan;
4) Hukum pidana lingkungan;
5) Hukum lingkungan internasional.
Kelima subsistem hukum
lingkungan Indonesia ini dapat dimasukkan dalam Undang-Undang Nomor 23 Tahun
1997 tentang Pengelolaan Lingkungan Hidup. Dengan kata lain uraian ini dari
masing-masing sub sistem Hukum Lingkungan Indonesia tersebut selalu dikaitkan
dengan wujud dan isi Undang-Undang Lingkungan Hidup Pembagian dengan cara ini
menggunakan pendekatan sistem hukum. Dari penyebutan Undang-Undang Nomor 23
Tahun 1997 tentang Pengelolaan Lingkungan Hidup telah nampak secara jelas bahwa
undang-undang tersebut merupakan hukum penataan lingkungan (hidup).
Hukum acara lingkungan
adalah hukum yang menetapkan dan mengatur tata cara atau prosedur pelaksanaan
hak dan kewajiban yang timbul karena adanya perkara lingkungan (sebagai akibat
terjadinya perusakan dan atau pencemaran lingkungan). Dalam Undang-Undang
Lingkungan Hidup, hukum acara lingkungan ini disebutkan dalam bab VII Pasal 30
ayat (1), (2) dan (3), Pasal 31, Pasal 32 dan Pasal 33 ayat (1), (2) serta
Pasal 34 ayat (1), (2) yang pengaturannya secara konkrit akan ditetapkan lebih
lanjut dengan peraturan perundang undangan.
Hukum perdata
lingkungan merupakan hukum antar perorangan yang merupakan hak dan kewajiban
orang yang satu terhadap yang lain, maupun kepada negara khususnya dalam peran
sertanya bagi pelestarian kemampuan lingkungan. Hukum pidana lingkungan
menentukan perbuatan-perbuatan apa yang dilarang dalam kaitannya dengan
lingkungan hidup. Hukum lingkungan internasional dibagi menjadi dua yaitu hukum
lingkungan perdata internasional dan hukum lingkungan internasional (publik).
1)
Hukum Lingkungan
Perdata Internasional mengatur hubungan hukum antara warga negara suatu negara
dengan warga negara dari negara lain atau antara warga negara suatu negara
dengan suatu organisasi internasional, mengenai sengketa lingkungan.
2)
Hukum lingkungan
internasional (publik), mengatur hubungan hukum antara suatu negara dengan
organisasi internasioanl serta antar organisasi internasional mengenai kasus
lingkungan.
Namun demikian,
sebagaimana telah diuraikan dimuka tentang pembagian hukum lingkungan yang
dapat dibedakan menjadi 4 (empat) bidang besar maka, uraian mengenai hukum
lingkungan Indonesiapun dapat menggunakan acuan empat bidang tersebut yaitu:
1.
Hukum penataan ruang
(termasuk pengendalian penggunaan tanah dan sumber-sumber daya lingkungan);
2.
Hukum konservasi
(hayati, non hayati, buatan, termasuk cagar budaya);
3.
Hukum kependudukan (termasuk
kebutuhan sumber daya manusia);
4.
Hukum pencemaran
lingkungan (dalam kaitannya dengan pencegahan dan penanggulangan pencemaran).
Masing-masing komponen
dari hukum lingkungan Indonesia tersebut, yaitu hukum penataan ruang, hukum
konservasi, hukum kependudukan dan hukumpencemaran lingkungan, harus dapat
dikaitkan dan mengacu pada keseluruhan peraturan yang berlaku di Indonesia.
Pembagian demikian ini menggunakan pendekatan “sumber daya”.
Adapun lingkungan
hidup sebagai suatu kesautan ruang dengan segala komponennya merupakan karunia
Tuhan Yang Maha Esa kepada rakyat dan bangsa Indonesia. Selain dari hal itu
lingkungan hidup juga merupakan ruang dimana aktivitas berlangsung yang
sekaligus merupakan sumber daya alam yang dikelola dengan baik.
D.
Konsep Pengawasan Dan
Pengelolaan Lingkungan Hidup
Sejak pertemuan di Rio
de Janiero (Brasil), masalah kelestarian lingkungan hidup semakin penting dan
bersifat global. Masalah pengawasan dan pengelolaan lingkungan hidup menjadi
salah satu faktor yang sangat menentukan dalam keberhasilan kelestarian
lingkungan hidup. Memahami ekosistem sangat penting dalam upaya pengelolaan
lingkungan hidup karena pertimbangan sosial sangat erat kaitannya denan proses
politik dan pengambilan keputusan dalam pengembangan pengetahuan lingkungan
hidup. Perubahan lingkungan hidup juga dapat mempengaruhi kehidupan sosial
budaya masyarakat desa, baik perubahan terhadap pola hidup, kepercayaan,
emosi maupun pengetahuan masyarakat. Lebih lanjut lagi berdasarkan fakta yang
didapat dari kehidupan masyarakat ternyata dominasi materialisme yaitu
pandangan terhadap kehidupan yang lebih baik ternyata mampu mengubah peradaban
manusia yang pada akhirnyamengarah kepada terciptanya krisis lingkungan hidup.
Komposisi berbagai
etnik dan keunikan sejarah politik, ekonomi dan sosial budaya di Indonesia
telah menyebabkan pola pengawasan dan pengelolaan lingkungan hidup mempunyai
arti khusus. Latar belakang sejarah ini kemungkinan menyulitkan usaha memajukan
pembangunan nasional sektor industri. Perluasan penggunaan Undang-Undang
Lingkungan Hidup yang kaku akan menjadikan usaha membangun teknologi baru
semakin sulit dan memakan belanja yang mahal. Dengan demikian, penggunaan
strategi pengawasan dan pengelolaan lingkungan hidup diharapkan akan dapat
meneruskan kemajuan ekonomi yang seimbang dengan perkembangan lingkungan hidup.
Pada hakikatnya, liberalisasi ekonomi merupakan satu proses yang tidak dapat
dielakkan. Disamping itu, perlu diingat bahwa proses pembangunan ekonomi
melalui industrialisasi akan bersaing dengan perubahan lingkungan hidup.
Oleh karena itu, kemerosotan lingkungan hidup disebabkan dominasi
aktivitas yang tidak seimbang dengan kehendak politik, ekonomi dan sosial
budaya. Walau bagaimanapun, kebebasan membuka kawasan baru bukan saja akan membawa
dampak negatif terhadap lingkungan hidup tetapi juga akan mengetepikan
nilai-nilai akhlak yang ujud dalam masyarakat.
BAB
III
PENUTUP
1.
Kesimpulan
Dalam hal hubungan antara Hukum
Internasional dan Hukum Nasional Indonesia menggunakan pendekatan dualism,
dimana hukum internasional dan hukum nasional merupakan dua system hukum yang
berbeda dan terpisah, dimana hukum nasional memiliki supremasi yang lebih
tinggi daripada hukum internasional.
Terkait dengan implementasi aturan hukum
internasional dalam system hukum nasional, Indonesia menggunakan metode
informasi yaitu dimana aturan hukum internasional yang telah diratifikasi tidak
dapat secara langsung menjadi bagian dari hukum domestic Indonesia sebelum
ditranspormasikan dalam bentuk undang-undang atau keputusan presiden.
Status perjanjian internasional di
Indonesia adalah non-self-executing karena perjanjian internasional yang telah
diratifikasi tidak dapat diimplementasikan secara langsung di pengadilan
nasional sebelum adanya implementing legislation atau dengan kata lain bukan
aturan hukum internasional yang memiliki kekuatan mengikat di pengadilan,
melainkan adalah implementing legislation tersebut.
Pengelolaan Lingkungan di Indonesia
dapat dilihat menurut POAC, yaitu: (1) Planing atau perencanaan, mencakup
kegiatan perencanaan dalam rangka pengelolaan lingkungan secara terpadu
terhadap wilayah yang akan dilakukan percepatan pembangunan, (2) Organizing
(pengorganisaasian), (3) Actuating (pelaksanaan) yaitu terdapat dorongan
pelaksanaan konservasi sumberdaya alam, dan meningkatkanya peran orang yang
berkepentingan dan kelembagaan yang terlibat namun belum muncul pelaksanaan
optimalisasi pemanfaatan sumberdaya alam secara efisien
2.
Saran
Dalam
pelaksanaan hukum internasional di Indonesia memang perlu dikaji ulang
dikarenakan Indonesia mempunyai kultur dan budaya yang sangat berbeda dengan
Negara Negara luar yang notabene merupakan asal rujukan dari hukum
internasional, penulis menganggap tepat kiranya apabila dalam konteks Negara
kesatuan republic Indonesia lebih mengutamakan atau memberlakukan hukum
nasional yang sesuai dengan amanat UUD 1945 daripada harus merujuk kepada hukum
internasional.
Dalam
hal percepatan pembangunan di Indonesia penulis lebih memfokuskan tentang
bagaimana pembangunan bias berjalan dengan mempertimbangkan segala kemungkinan
yang akan terjadi dan memprediksi setiap hal yang mungkin bias terjadi sehingga
pembangunan di Indonesia dapat berjalan tepat sasaran dan efektif serta
efisien, tentu dalam pelaksanaan pembangunan harus melihat dampak AMDAL dan
dampak pembangunan terhadap masyarakat selanjutnya dalam pembangunan hendaknya
menggunakan indicator POAC dimaksudkan agar setiap pembangunan yang berlangsung
terencana dan terfokus sehingga semua lini berperan dalam proses pembangunan.
DAFTAR PUSTAKA
https://uwityangyoyo.wordpress.com/2012/03/22/kebijakan-pengelolaan-lingkungan-hidup-dengan-pengelolaan-pembangunan-berkelanjutan-dan-berwawasan-lingkungan/
Tidak ada komentar:
Posting Komentar