Rabu, 26 Oktober 2016

MAKALAH TEORI DAN PARADIGMA PEMBANGUNAN (Analisis Pelaksanaan Hukum Internasional, percepatan Pembangunan di Indonesia)

BAB 1
PENDAHULUAN


1.      Latar Belakang
Tanpa kita sadari bahwa banyaknya revolusi yang terjadi seiring dengan perkembangan teknologi dan budaya yang ada dalam kehidupan manusia, telah menimbulkan berbagai macam permasalahan yang muncul. Sejak Jatuhnya pemerintahan orde baru rezim Soeharto, Indonesia sudah mengalami banyak perubahan dalam system ketatanegaraan, dimana UUD 1945 yang selama ini kita anggap sebagai dasar konstitusi seudah mengalami empat kali, sebagai mana kita ketahui bahwa pada saat orde baru kekuasaan dan tanggung jawab berada dibawah komando presiden dan presiden merupakan panglima tertinggi  yang mempunyai kekuatan, kewenangan untuk menentukan haluan Negara,
Namun ada banyak hal yang dianggap membingungkan dalam system pemerintahan Negara Indonesia  yaitu dimana tidak berfungsinya dengan baik legislative karena peranannya sepenuhnya diambil alih oleh presiden, perubahanHukum internasional tidak mempengaruhi keputusan hukum yang yang diberlakukan pada hukum nasional, hukum Indonesia khususnya dan ini menjelaskan bahwa norma hukum internasional tidak memiliki kekuatan hukum yang mengikat di pengadilan negeri.
Begitupun halnya dengan Tingkat peradaban manusia yang semakin hari semakin berkembang membuat kita senantiasa berurusan dengan lingkungan yang semakin hari sulit untuk dihindari. Perkembangan lingkungan yang semakin tercemar memungkinkan terjadinya suatu krisis terhadap lingkungan sosial. Krisis terhadap lingkungan hidup merupakan suatu tantangan yang sangat besar. Tantangan ini didapati berlaku terutama di negara-negara yang sedang membangun karena adanya berbagai aktivitas pembangunan yang bertujuan meningkatkan kesejahteraan umat manusia yang sering pula membawa dampak terhadap perubahan lingkungan.
Secara garis besar, ada beberapa faktor yang menyebabkan kerusakan daya dukung alam, diantaranya adalah kerusakan dalam (internal) dan kerusakan luar (external). Kerusakan dalam adalah kerusakan yang disebabkan oleh alam itu sendiri. Kerusakan jenis ini sangat sulit untuk dicegah karena merupakan suatu proses alami yang sangat sulit untuk diduga, seperti letusan gunung berapi yang dapat merusak lingkungan, gempa bumi yang berakibat runtuhnya lapisan tanah yang dapat mengancam organisme hayati maupun non hayati dan lain sebagainya. Kerusakan yang bersifat dari dalam ini biasanya berlangsung sangat cepat dan pengaruh yang ditimbulkan dari adanya kerusakan ini adalah sangat lama. Kerusakan luar (external) adalah kerusakan yang disebabkan oleh aktivitas manusia dalam pengelolaan alam dalam usaha peningkatan kualitas hidup. Kerusakan luar ini pada umumnya disebabkan oleh aktivitas pabrik yang mengeluarkan limbah, ataupun membuka sumber daya alam tanpa memperhatikan lingkungan hidup serta tidak mempelajari segi efektivitasnya dan dampaknya terhadap lingkungan disekitarnya.
upaya pembangunan lingkungan hidup dalam upaya pengelolaan pembangunan yang berkelanjutan dan berwawasan lingkungan diharapkan mampu memberikan suatu gambaran yang jelas mengenai hal-hal yang diharapkan mampu untuk mendukung masyarakat dalam memenuhi kebutuhan yang dimilikinya dengan tetap memperhatikan lingkungan hidup dengan lebih mengedepankan suatu etika dan pengetahuan mengenai lingkungandalam suatu cara pandang yang dimiliki oleh masyarakat.




2.      Rumusan Masalah
A.    Bagaimana penerapan Hukum Internasional dalam konteks hukum nasional
B.     Bagaimana melaksanakan pembangunan dengan mengedepankan pembangunan lingkungan hidup dalam upaya pengelolaan pembangunan berkelanjutan
3.      Tujuan
Adapun tujuan dari penulis yaitu:
A.    Untuk mengetahui pelaksanaan Hukum internasional di Indonesia
B.     Untuk mengetahui bagaimana pelaksanaan pembangunan yang berkelanjutan di Indonesia


















BAB II
PEMBAHASAN


1.      SUMBER HUKUM INTERNASIONAL
Berdasarkan perjanjian internasional yang dibentuk oleh PBB menggambarkan bahwa ada empat sumber hukum internasional yaitu
·         konvensi internasional
yang menjelaskan bahwa penerapan suatu aturan yang tegas yang mengikat bagi orang yang melakukan pelanggaran hokum
·         kustom internasional
Kostum hukum merupakan sebagai bahan atau bukti yang dilahirkan dari praktek atau kegiatan dari sebuah hukum yang diterima
·         Prinsip-prinsip umum hukum
Yang dapat diakui oleh bangsa bangsa yang beradab.
·         Tunduk pada ketentuan
Pada penentuan keputusan yang telah diputuskan oleh pengadilan merupakan keputusan yang berkualitas dan diakui oleh berbagai negara dan merupakan daftar otoritatif proses yang dianggap mampu menciptakan aturan yang mengikat negara.
Untuk memahami sumber hukum internasional maka kita harus kembali ke definisi dasar yaitu Konvensi internasional atau Perjanjian Black Hukum Dictionar y (1999) menyatakan, Sebuah konvensi adalah perjanjian atau persetujuan antara negara-negara. Dengan demikian, konvensi internasional termasuk perjanjian yang sering disebut perjanjian. Pada bagian 1(a) Pasal 1 di Wina Konvensi Hukum Perjanjian (1969) berbunyi : Untuk tujuan Konvensi ini: (a) "perjanjian" berarti internasional kesepakatan menyimpulkan antara Serikat dalam bentuk tertulis dan diatur oleh Hukum internasional, apakah yang terkandung dalam instrumen tunggal atau dalam dua atau lebih terkait instrumen dan apa pun sebutan khususnya. karena perjanjian tersebut telah dinegosiasikan selama ribuan tahun, dan terdapat beberapa judul termasuk perjanjian, kompak, protokol, dan sejenisnya.
2.      Konsep hukum internasional
Dalam salah satu perjanjian awal, ditulis pada tanah liat tablet, adalah antara Raja Silis orang Het dan Ramses II di Mesir. Itu di 1269 SM, lebih dari 3.200 tahun yang lalu, International Kustom Profesor hukum Anthony D'Amato, dalam ticle yang dikutip oleh profesor hukum David Hunter, James Salzman, dan Durwood Zaelke (2002, pp. 310-311), menyatakan bahwa "aturan adat mewakili keteraturan perilaku "sambil mengingatkan tiga kualifikasi: Pertama, pendekatan ini empiris dari pada normatif. Ia mencoba untuk menggambarkan norma-norma yang ada yang mengatur hubungan antara negara-negara, tetapi tidak menganjurkan atau resep norma baru.
Kedua, aturan adat yang tidak setara dengan keteraturan perilaku sederhana. norma adat tidak hanya tergantung pada praktek negara (yaitu, pada obser keteraturan Vable perilaku), tetapi juga pada penerimaan keteraturan ini sebagai hukum oleh negara-negara. Akhirnya aturan yang mewakili suatu aturan, tetapi tidak harus seragam perilakunya. Pendekatan perilaku membutuhkan kesesuaian umum antara aturan dan perilaku. Jika aturan diklaim mengatakan satu hal dan menyatakan umumnya melakukan sesuatu, satu hal tidak bisa lagi mengatakan bahwa aturan yang "mengatur" suatu perilaku. Namun demikian, kesalahan dan pelanggaran aturan yang mungkin terjadi. Prinsip-prinsip umum Hunter, Salzman, dan Zaelke (2002, pp. 315-316), sambil menunjuk bahwa "apa yang termasuk dalam [General] prinsip adalah masalah perdebatan, " dalam kutipan professor hukum Ian Brownlie, yang menyatakan bahwa "Prinsip-prinsip umum" bisa merujuk ke "aturan yang berlaku dalam hukum domestik semua Negara, "atau alternatif, dengan prinsip-prinsip umum hukum privat yang digunakan dalam semua atau sebagian besar negara.
Prinsip-prinsip tersebut berlaku untuk hubungan Amerika. Prinsip-prinsip umum, kemudian, mengisi kekosongan dalam hukum internasional yang belum diisi oleh perjanjian atau kebiasaan. Secara signifikan, prinsip-prinsip umum meliputi prinsip-prinsip yang muncul dari sistem hukum, dan karena itu dicoba dan diuji dalam hukum domestik sebelum dimasukkan ke dalam hukum internasional. Keputusan peradilan dan Ajaran Paling Berkualitas profesor hukum Antonio A. Oposa Jr(2003, p. 445), mendeskripsi bahwa dari peran keputusan peradilan dan tulisan-tulisan ilmiah hukum internasional: Hukum internasional juga dapat dinyatakan melalui keputusan pengadilan dari pengadilan internasional dan pengadilan, dan pengadilan nasional. Harus dicatat bahwa Keputusan pengadilan tidak dapat dipengaruhi keputusan yang telah dikeluarkan atau ditetapkan oleh Hukum Internasional sendiri.
3.      Konsep Pembangunan Berkelanjutan
Pembangunan berkelanjutan sebagai Konsep atau Prinsip Umum Seperti yang ditunjukkan oleh Kiss (2003, hal. 8), dalam kasus yang menyangkut Proyek Gabcikovo-Nagymaros (Hungaria / Slovakia) pada tahun 1997, yang menjelaskan tentang "konsep" pembangunan berkelanjutan, walaupun terdapat perbedaan pendapat diantara ilmuan, kiss berpendapat bahwa pembangunan berkelanjutan adalah "prinsip hukum internasional. "Dalam hal ini ICJ telah diminta untuk memutuskan atas dasar 1977 Perjanjian pada Konstruksi dan Operasi bendungan Gabcikovo-Nagymaros, yang bersangkutan sistem bendungan di Sungai Danube dirancang untuk menghasilkan dan peningkatan energi listrik" yang dikemukakan  oleh Danube, pengendalian banjir dan regulasi es-discharge, dan perlindungan lingkungan. " ICJ juga diminta untuk memutuskan kasus itu atas dasar "aturan dan prinsip-prinsip hukum internasional serta perjanjian lainnya seperti pengadilan dapat menemukan yang berlaku. "(kiss dan Shelton, 2000, hal. 423.) Penghakiman, disampaikan oleh 15 Hakim t Cour, dengan Stephen M. Schwebel ser Ving sebagai Presiden, termasuk paragraf berikut 140 (Gabcikovo-Nagymaros Proyek [Hongaria / Slovakia)] tahun 1997, ICJ,) berurusan dengan "efek terhadap lingkungan," "risiko yang akan muncul manusia-untuk dan generasi masa depan, "dan" konsep pembangunan berkelanjutan ": [140] ... Sepanjang usia, manusia memiliki, karena alasan ekonomi dan lainnya, terus-menerus mengganggu alam. Di masa lalu, ini sering dilakukan tanpa pertimbangan efek terhadap lingkungan. Karena wawasan ilmiah baru dan untuk tumbuh sebuah kesadaran risiko bagi umat manusia-untuk sekarang dan masa depan generasi-pengejaran intervensi seperti kecepatan unconsidered dan berlanjut, norma-norma baru dan Standar yang telah dikembangkan, diatur dalam sejumlah besar instrumen selama dua dekade terakhir. norma-norma baru tersebut harus dipertimbangkan, dan seperti standar baru diberi bobot yang tepat, tidak hanya ketika Amerika merenungkan kegiatan baru tetapi juga ketika melanjutkan dengan kegiatan dimulai di masa lalu. Kebutuhan ini untuk mendamaikan pembangunan ekonomi dengan perlindungan lingkungan adalah tepat dinyatakan dalam konsep pembangunan berkelanjutan Alan Boyle dan David Freestone (1999, pp. 16-18) menjelaskan status hukum berkelanjutan pembangunan sebagai berikut: Tidak ada jawaban yang mudah dapat diberikan kepada pertanyaan apakah hukum internasional sekarang mengharuskan semua pembangunan berkelanjutan. Sulit untuk melihat pengadilan internasional meninjau aksi nasional dan menyimpulkan tentang "pembangunan berkelanjutan.
The Legal Mandat Multilateral Bank memandang bahwa Pembangunan sebagai Agen Perubahan terhadap Pembangunan yang berkelanjutan "[Pembangunan Multilateral Banking: Prinsip Environemental dan Konsep Mencerminkan Hukum Internasional Umum dan Kebijakan Publik 2001]) dan keputusan tentang apa yang merupakan sisa keberlanjutan terutama dengan pemerintah masing-masing. Ini bukan akhir dari masalah, namun. Sebuah argumen yang lebih masuk akal adalah bahwa meskipun internasional hukum mungkin tidak membutuhkan pengembangan untuk menjadi berkelanjutan, hal itu membutuhkan keputusan pembangunan menjadi hasil dari proses yang mempromosikan pembangunan berkelanjutan. Secara khusus, jika negara-negara tidak melaksanakan AMDAL, atau mendorong partisipasi masyarakat, atau mengintegrasikan pengembangan dan pertimbangan lingkungan di pengambilan keputusan mereka, atau mempertimbangkan kebutuhan ekuitas intra dan antar-generasi, mereka akan gagal untuk menerapkan unsur-unsur utama yang digunakan oleh Deklarasi Rio lainnya yaitu instrumen internasional dengan tujuan untuk memfasilitasi pembangunan berkelanjutan. seperti yang kita akan lihat di bawah, praktek negara yang cukup untuk mendukung pentingnya normatif sebagian besar elemen ini. Selain itu, interpretasi yang membuat proses pengambilan keputusan unsur hukum utama di pembangunan berkelanjutan, bukan sifat pembangunan, secara implisit didukung oleh kasus mengenai Gabcikovo-Nagymaros Dam. Dalam keputusan itu, sementara tidak mempertanyakan apakah Proyek itu berkelanjutan, Mahkamah Internasional memang memerlukan pihak dalam kepentingan pembangunan berkelanjutan untuk "melihat lagi" pada konsekuensi lingkungan dan untuk melaksanakan monitoring dan pengurangan langkah-langkah untuk standar kontemporer yang ditetapkan oleh hukum internasional. 92 ajil 642. (1997) ICJ Reports, 7, di para.
Pendekatan seperti memungkinkan pengadilan internasional untuk lebih tujuan pembangunan berkelanjutan sesuai dengan Deklarasi Rio sementara menghilangkan mereka dari tugas yang tidak mungkin memutuskan apa dan apa yang tidak berkelanjutan. Argumen semacam ini sehingga akan fokus pada komponen pembangunan berkelanjutan, bukan pada konsep itu sendiri. Apakah pembangunan berkelanjutan adalah kewajiban hukum, dan seperti yang kita lihat ini tampaknya tidak mungkin, tidak mewakili tujuan yang dapat mempengaruhi hasil litigasi dan praktek negara dan organisasi internasional, dan dapat menyebabkan signifikan perubahan dan perkembangan dalam hukum yang ada. Dalam arti yang sangat penting, hukum internasional tidak tampaknya membutuhkan negara dan badan-badan internasional untuk memperhitungkan tujuan berkelanjutan pengembangan, dan untuk menetapkan proses yang tepat untuk melakukannya. dua pandangan yang berbeda tentang sifat pembangunan berkelanjutan," Kiss bertanya: "Apakah itu sebuah konsep sebagai International Cour t Kehakiman memenuhi syarat itu atau itu prinsip?" Dia mulai nya membalas (2003, pp 8-9.) oleh tr ying untuk "mengklarifikasi dua pengertian" sebagai berikut: Sebuah konsep adalah ciptaan abstrak dari pikiran manusia tanpa bahan konten. Prinsip yang, pada contrar y, norma-norma fundamental untuk orientasi orang, pihak berwenang atau orang lain, mewujudkan isi hukum, moral atau intelektual konsep, tanpa harus menjadi langsung diterapkan. Dalam hal ini, negara adalah Konsep, sementara Konstitusinya menyatakan prinsip-prinsip dalam rangka membangun fundamental aturan fungsinya. Dalam penerapan prinsip-prinsip tersebut, undang-undang tertentu diberlakukan untuk mengatur fungsi organ negara dan perilaku orang. Kiss kemudian menyarankan bahwa "pembangunan berkelanjutan harus dipertimbangkan sebagai Konsep sementara beberapa prinsip telah diusulkan untuk membangun konten yang konkret. "Memperhatikan bahwa "2002 Johannesburg World Summit on Sustainable Development difokuskan t par besar pekerjaan pada pembangunan berkelanjutan, "(ibid.) Kiss mengacu pada deklarasi prinsip-prinsip hukum internasional di bidang pembangunan berkelanjutan diadopsi pada April 2002 Konferensi Asosiasi Hukum Internasional yang diselenggarakan di New Delhi. deklarasi itu, yang tidak berasal dari pertemuan negara tetapi hanya dari grup pribadi, diusulkan tujuh prinsip dasar yang diikuti oleh komentar jelas: 1. Tugas Amerika untuk memastikan pemanfaatan berkelanjutan sumber daya alam Sementara, sesuai dengan hukum internasional, semua negara memiliki hak berdaulat untuk menggunakan mereka sendiri sumber daya alam sesuai dengan kebijakan lingkungan dan pembangunan mereka sendiri, mereka juga berkewajiban untuk mengelola sumber daya alam, termasuk sumber daya alam di territor mereka sendiri y atau yurisdiksi, secara rasional, berkelanjutan dan aman sehingga dapat berkontribusi pada pengembangan mereka bangsa dan ke elevasi conser dan perlindungan lingkungan, termasuk ekosistem. Serikat harus memperhitungkan kebutuhan generasi mendatang. Deklarasi menekankan bahwa semua yang relevan aktor, termasuk Amerika, kekhawatiran industri dan komponen masyarakat sipil lainnya berada di bawah kewajiban untuk menghindari pemborosan sumber daya alam dan mempromosikan kebijakan minimalisasi limbah. ... Kotak 7-5,
Pembangunan Berkelanjutan dan Argumen tidak berkelanjutan Vaughan Lowe (1999, hal. 21) berpendapat bahwa konsep pembangunan berkelanjutan bukanlah "Mengikat norma hukum internasional" tapi tetap "sebuah konsep dengan nilai potensi besar": Argumen bahwa konsep pembangunan berkelanjutan sekarang menjadi norma mengikat hukum internasional dalam arti dari "logika normatif" hukum internasional tradisional seperti yang tercermin dalam Pasal 38 (1) dari Statuta Mahkamah Internasional tidak berkelanjutan, tapi ... ada pengertian di mana konsep pembangunan berkelanjutan mencontohkan spesies lain dari normativitas yang merupakan nilai potensi besar dalam penanganan konsep hukum lingkungan internasional.
4.      Teori Keberlakuan Hukum Internasional
A.    Aliran Dualisme
Aliran dualisme bersumber pada teori bahwa daya ikat hukum internasional bersumber pada kemauan negara, hukum internasional dan hukum nasional merupakan dua sistem atau perangkat hukum yang terpisah.
Ada beberapa alasan yang dikemukakan oleh aliran dualisme untuk menjelaskan hal ini:
1.      Sumber hukum, paham ini beranggapan bahwa hukum nasional dan hukum internasional mempunyai sumber hukum yang berbeda, hukum nasional bersumber pada kemauan negara, sedangkan hukum internasional bersumber pada kemauan bersama dari negara-negara sebagai masyarakat hukum internasional;
2.      Subjek hukum internasional, subjek hukum nasional adalah orang baik dalam hukum perdata atau hukum publik, sedangkan pada hukum internasional adalah negara;
3.      Struktur hukum, lembaga yang diperlukan untuk melaksanakan hukum pada realitasnya ada mahkamah dan organ eksekutif yang hanya terdapat dalam hukum nasional. Hal yang sama tidak terdapat dalam hukum internasional.
4.      Kenyataan, pada dasarnya keabsahan dan daya laku hukum nasional tidak dipengaruhi oleh kenyataan seperti hukum nasional bertentangan dengan hukum internasional. Dengan demikian hukum nasional tetap berlaku secara efektif walaupun bertentangan dengan hukum internasional.[5]
Maka sebagai akibat dari teori dualisme ini adalah kaidah-kaidah dari perangkat hukum yang satu tidak mungkin bersumber atau berdasar pada perangkat hukum yang lain. Dengan demikian dalam teori dualisme tidak ada hirarki antara hukum nasional dan hukum internasional karena dua perangkat hukum ini tidak saja berbeda dan tidak bergantung satu dengan yang lain tetapi juga terlepas antara satu dengan yang lainnya.
Akibat lain adalah tidak mungkin adanya pertentangan antara kedua perangkat hukum tersebut, yang mungkin adalah renvoi. Karena itu dalam menerapkan hukum internasional dalam hukum nasional memerlukan transformasi menjadi hukum nasional.
B.     Aliran Monisme
Teori monisme didasarkan pada pemikiran bahwa satu kesatuan dari seluruh hukum yang mengatur hidup manusia.[7] Dengan demikian hukum nasional dan hukum internasional merupakan dua bagian dalam satu kesatuan yang lebih besar yaitu hukum yang mengatur kehidupan manusia. Hal ini berakibat dua perangkat hukum ini mempunyai hubungan yang hirarkis. Mengenai hirarki dalam teori monisme ini melahirkan dua pendapat yang berbeda dalam menentukan hukum mana yang lebih utama antara hukum nasional dan hukum internasional.
Ada pihak yang menganggap hukum nasional lebih utama dari hukum internasional. Paham ini dalam teori monisme disebut sebagai paham monisme dengan primat hukum nasional. Paham lain beranggapan hukum internasional lebih tinggi dari hukum nasional. Paham ini disebut dengan paham monisme dengan primat hukum internasional. Hal ini dimungkinkan dalam teori monisme.
Monisme dengan primat hukum nasional, hukum internasional merupakan kepanjangan tangan atau lanjutan dari hukum nasional atau dapat dikatakan bahwa hukum internasional hanya sebagai hukum nasional untuk urusan luar negeri. Paham ini melihat bahwa kesatuan hukum nasional dan hukum internasional pada hakikatnya adalah hukum internasional bersumber dari hukum nasional. Alasan yang kemukakan adalah sebagai berikut:
1.      tidak adanya suatu organisasi di atas negara-negara yang mengatur kehidupan negara-negara;
2.      dasar hukum internasional dapat mengatur hubungan antar negara terletak pada wewenang negara untuk mengadakan perjanjian internasional yang berasal dari kewenangan yang diberikan oleh konstitusi masing-masing negara.
Monisme dengan primat hukum internasional, paham ini beranggapan bahwa hukum nasional bersumber dari hukum internasional.[10] Menurut paham ini hukum nasional tunduk pada hukum internasional yang pada hakikatnya berkekuatan mengikat berdasarkan pada pendelegasian wewenang dari hukum internasional.
Pada kenyataannya kedua teori ini dipakai oleh negara-negara dalam menentukan keberlakuan dari hukum internasional di negara-negara. Indonesia sendiri menganut teori dualisme dalam menerapkan hukum internasional dalam hukum nasionalnya.
5.      Perjanjian Internasional sebagai Sumber Hukum Internasional
Dalam hukum internasional terdapat beberapa sumber hukum internasional. Menurut sumber tertulis yang ada terdapat dua konvensi yang menjadi rujukan apa saja yang menjadi sumber hukum internasional. Pada Konvensi Den Haag XII, Pasal 7, tertanggal 18 Oktober 1907, yang mendirikan Mahkamah Internasional Perampasan Kapal di Laut (International Prize Court) dan dalam Piagam Mahkamah Internasional Permanen, Pasal 38 tertanggal 16 Desember 1920, yang pada saat ini tercantum dalam Pasal 38 Piagam Mahkamah Internasional tertanggal 26 Juni 1945.
 Sesuai dengan dua dokumen tertulis tersebut yang berisi penunjukan pada sumber hukum formal, hanya dua dokumen yang penting untuk dibahas, yaitu Piagam Mahkamah Internasional Permanen dan Piagam Mahkamah Internasional. Ini disebabkan karena Mahkamah Internasional mengenai Perampasan Kapal tidak pernah terbentuk, karena tidak tercapainya minimum ratifikasi. Dengan demikian Pasal 38 Mahkamah Internasional Permanen dan Pasal 38 ayat 1 Mahkamah Internasional, dengan demikian hukum positif yang berlaku bagi Mahkamah Internasional dalam mengadili perkara yang diajukan dihadapannya adalah:
1.      Perjanjian Internasional;
2.      Kebiasaan Internasional;
3.      Prinsip Hukum Umum;
4.      Keputusan Pengadilan dan ajaran para sarjana yang terkemuka dari berbagai negara sebagai sumber tambahan untuk menetapkan hukum.
Perjanjian internasional yang dimaksud adalah perjanjian yang dibuat atau dibentuk oleh dan diantara anggota masyarakat internasional sebagai subjek hukum internasional dan bertujuan untuk mengakibatkan hukum tertentu.
Dewasa ini dalam hukum internasional kecendrungan untuk mengatur hukum internasional dalam bentuk perjanjian intenasional baik antar negara ataupun antar negara dan organisasi internasioanal serta negara dan subjek internasional lainnya telah berkembang dengan sangat pesat, ini disebabkan oleh perkembangan yang pesat dari masyarakat internasional, termasuk organisasi internasional dan negara-negara.
Perjanjian internasional yang dibuat antara negara diatur dalam Vienna Convention on the Law of Treaties (Konvensi Wina) 1969. Konvensi ini berlaku (entry into force) pada 27 Januari 1980. Dalam Konvensi ini diatur mengenai bagaimana prosedur perjanjian internasional sejak tahap negosiasi hingga diratifikasi menjadi hukum nasional.
Banyak istilah yang digunakan untuk perjanjian internasional diantaranya adalah traktat (treaty), pakta (pact), konvensi (convention), piagam (statute), charter, deklarasi, protokol, arrangement, accord, modus vivendi, covenant, dan lain-lain. Semua ini apapun namanya mempunyai arti yang tidak berbeda dengan perjanjian internasional.
Dalam praktik beberapa negara perjanjian internasional dapat dibedakan menjadi dua golongan. Golongan pertama adalah perjanjian yang dibentuk melalui tiga tahap pembentukan yakni perundingan, penandatanganan dan ratifikasi. Golongan yang kedua adalah perjanjian yang dibentuk melalui dua tahap, yaitu perundingan dan penandatanganan. Untuk golongan pertama biasanya dilakukan untuk perjanjian yang dianggap sangat penting sehingga memerlukan persetujuan dari dari badan yang memiliki hak untuk mengadakan perjanjian (treaty making power). Hal ini biasanya berdasarkan alasan adanya pembentukan hukum baru atau menyangkut masalah keuangan negara. Sedangkan golongan kedua lebih sederhana, perjanjian ini tidak dianggap begitu penting dan memerlukan penyelesaian yang cepat.
Selanjutnya apa yang menjadi ukuran suatu perjanjian mana yang termasuk golongan yang penting, sehingga memerlukan ratifikasi dari Dewan Perwakilan Rakyat dan perjanjian mana yang tidak di Indonesia. Proses pembentukan Perjanjian Internasional, menempuh berbagai tahapan dalam pembentukan perjanjian internasional, sebagai berikut:
1.      Penjajakan: merupakan tahap awal yang dilakukan oleh kedua pihak yang berunding mengenai kemungkinan dibuatnya suatu perjanjian internasional.
2.      Perundingan: merupakan tahap kedua untuk membahas substansi dan masalah-masalah teknis yang akan disepakati dalam perjanjian internasional.
3.      Perumusan Naskah: merupakan tahap merumuskan rancangan suatu perjanjian internasional.
4.      Penerimaan: merupakan tahap menerima naskah perjanjian yang telah dirumuskan dan disepakati oleh para pihak. Dalam perundingan bilateral, kesepakatan atas naskah awal hasil perundingan dapat disebut "Penerimaan" yang biasanya dilakukan dengan membubuhkan inisial atau paraf pada naskah perjanjian internasional oleh ketua delegasi masing-masing. Dalam perundingan multilateral, proses penerimaan (acceptance/approval) biasanya merupakan tindakan pengesahan suatu negara pihak atas perubahan perjanjian internasional.
5.      Penandatanganan : merupakan tahap akhir dalam perundingan bilateral untuk melegalisasi suatu naskah perjanjian internasional yang telah disepakati oleh kedua pihak. Untuk perjanjian multilateral, penandatanganan perjanjian internasional bukan merupakan pengikatan diri sebagai negara pihak. Keterikatan terhadap perjanjian internasional dapat dilakukan melalui

6.      Hukum Internasional berdasarkan konteks indonesia
A.    Pembuatan Perjanjian Internasional
Dalam hal ini pada saat sebelum Indonesia mengadakan perubahan dalam UUD 1945 yang menyatakan bahwa “presiden dengan persetujjuan Dewan Perwakilan Rakyat membuat perjanjian dengan negara lain, diawal kemerdekaan Indonesia pembuatan Prerjanjian internasional didasarkan pada Konstitusi RIS yang menyebutkan bahwa Presiden mengadakan dan mengesahkan segala perjanjian dan persetujuan lain dengan negara-negara lain kecuali ditentukan lain dengan undang-undang federal, masuk dalam dan memutuskan perjanjian dan persetujuan  lain dilakukan oleh Presiden dengan kuasa Undang-Undang.
Menurut Harjono dalam disertasinya yang berjudul Aspek-Aspek  Yuridis Pembuatan Perjanjian Internasional dalam Sistem UUD 1945  bahwa surat presiden tersebut yang kemudian digunakan sebagai dasar hukum dalam pengesahan perjanjian internasional pada saat itu memiliki kelemahan materil dan formil. Lebih lanjut dikatakan bahwa surat tersebut tidak memiliki unsur sebagai sumberdaya hukum dalam system ketatanegaraan di Indonesia karena surat tersebut tidak mengandung unsur normative yang sebenarnya hanya bersifat penafsiran presiden terhadap pasal 11 UUD 1945.
B.     Hukum Internasional Publik di Pengadilan Nasional Indonesia
Perlu kita ketahui bahwa sebelum adanya UU Nomor 24 Tahun 2000 tentang perjanjian internasional ada banyak kasus yang terjadi menggunakan hukum internasional sebagai dasar hukum untuk mengajukan klaim atau gugatan  dalam pelaksanaannya ada dua pendapat yang bertentangan dengan masalah ini yaitu pendapat yang menyetujui bahwa Indonesia masih terkait dengan konvensi  karena pemerintah indonesia belum secara tegas menarik diri dari Konvensi sehingga masih dianggap sah sebagai bagian dari hukum di Indonesia, adapun dasar hukum yang digunakan adalah sejarah terkait dengan Konvensi Meja Bundar (KMB) mengenai pemindahan kekuasaan.
Pendapat kedua menyatakan bahwa ketidak setujuannya jika konvensi tersebut masih tetap berlaku karena Indonesia tidak secara langsung terkait oleh perjanjian tersebut, sebagaimana yang telah diungkapkan Kepres Nomor 34 Tahun 1981 yang memiliki dua prinsip yang mana salah satunya menyebutkan bahwa konvensi New York dianggap sebagai perjanjian yang bersifat self-executing sehingga penerapannya tidak memerlukan implementing legislation.
C.     Hukum Internasional Bersifat Non-self-executing di Indonesia
Dalam hubungan Hukum internasional di Indonesia menggunakan pendekatan dualism, dimana hukum internasional dan hukum nasional adalah dua system hukum yang  berbeda dan terpisah, dalam penerapan hukum internasional kedalam system hukum nasional Indonesia, Indonesia menggunakan teori transformasi, Diana agar hukum internasional dapat diterapkan dalam system hukum di Indonesia.
Di pengadilan Indonesia, individu tidak dapat menggunakan pasal-pasal dalam hukum internasional yang telah diratifikasi oleh pemerintah Indonesia secara langsung dalam hal mengajukan tuntutan atau klaim, atau dengan kata lain bahwa hukum internasional ytidakl memilikikekuatan yang mengikat di peradilan Indonesia.
UUD 1945 sebagai hukum tertinggi dalam hirarki peraturan  perundang undangan di Indonesia juga silent terkait dengan eksistensi dan perjanjian internasional yang telah diratifikasi atau diakses oleh Pemerintah Indonesia, dapat disimpulkan bahwa Indonesia tidak pernah mengenal istilah self-executing treaties karena perjanjian perjanjian internasional yang diratifikasi maupun yang diaksesi oleh pemerintah Indonesia tidak dapat diterapkan secara langsung di pengadilan Indonesia, sehingga tidak memiliki kekuatan hukum yang mengikat serta sifat semua hukum internasional di Indonesia adalah non self-executing karena untuk diterapkan dalam hukum nasional di Indonesia perjanjian perjanjian tersebut harus ditransformasikan suatu implementing legislation yang telah diatur dalam aturan hukum di Indonesia
7.      Percepatan Pembangunan dalam Konteks Indonesia
A.    Pengertian Hukum Lingkungan
Berdasarkan pada Pasal 1 butir 1 Undang-Undang Nomor 23 Tahun 1997 tentang Pengelolaan Lingkungan Hidup bahwa Lingkungan Hidup adalah kesatuan ruang dengan semua benda, daya, keadaan dan makhluk hidup termasuk didalamnya manusia dan perilakunya yang mempengaruhi kelangsungan peri kehidupan dan kesejahteraan manusia serta makhluk hidup lainnya. Jadi, manusia hanyalah salah satu unsur dalam lingkungan hidup tetapi perilakunya akan mempengaruhi kelangsungan peri kehidupan dan kesejahteraan manusia serta makhluk hidup lain. Makhluk hidup yang lain termasuk binatang tidak merusak, mencemari atau menguras lingkungan. hal ini juga dijelaskan didalam penjelasan Undang-Undang Lingkungan Hidup antara lain sebagai berikut: “ Lingkungan hidup Indonesia sebagai karunia dan rahmat Tuhan Yang Maha Esa kepada rakyat dan bangsa Indonesia merupakan ruang bagi kehidupan dalam segala aspek dan mantranya sesuai dengan wawasan nusantara.”Paradigma baru mengenai lingkungan hidup inilah menjadi inspirasi munculnya suatu paradigma baru mengenai hukum lingkungan. Penggunaan hukum lingkungan ini dimaksudkan untuk menunjukkan bagian hukum yang bersangkutan dengan lingkungan fisik dan dapat diterapkan untuk mengatasi pencemaran, pengurasan dan perusakan (verontreiniging, uitputting en aantasting) lingkungan (fisik).
Jadi pengertian hukum lingkungan disini hanya meliputi lingkungan fisik saja dan tidak menyangkut lingkungan sosial. Misalnya tidak meliputi pencemaran kebudayaan akan tetapi masalah lingkungan berkaitan pula dengan gejala sosial, seperti pertumbuhan penduduk, migrasi dan tingkah laku sosial dalam memproduksi, mengkonsumsi, dan rekreasi.
Hukum lingkungan pada umumnya bertujuan untuk menyelesaikan masalah lingkungan khususnya yang disebabkan oleh umat manusia. Kerusakan lingkungan atau menurunnya mutu lingkungan disebabkan juga oleh bencana alam yang kadang-kadang sangat dahsyat dan tentunya dapat mengganggu stabilitas masyarakat dalam suatu lingkungan. Masalah lingkungan bagi manusia dapat dilihat dari menurunnya kualitas lingkungan. Kualitas lingkungan menyangkut nilai lingkungan untuk kesehatan, kesejahteraan dan ketenteraman manusia. Nilai lingkungan untuk berbagai bentuk pemanfaatan. Hilang dan berkurangnya nilai lingkungan karena pemanfaatan tertentu oleh umat manusia.
B.     Pengelolaan Lingkungan Hidup
Pengelolaan lingkungan hidup adalah merupakan usaha pemanfaatan sumberdaya alam  baik berupa pemanfaatan sumberdaya alam maupun penggunaan sumberdaya guna kepentingan bersama, biasa juga didefinisikan bahwa merupakan upaya terpadu dalam pelestarian fungsi lingkungan hiidup yang meliputi kebijakan penataan, pemanfaatan, pengembangan, pemeliharaan, pembangunan, pemulihan dan pengendalian lingkungan hidup dimana dalam pelaksanaan pengelolaan lingkungan hidup dapat dilakukan dengan menggunakan empat indicator POAC yaitu Planing, Organizing, Actuating dan Controling.

C.     Perkembangan Hukum Lingkungan Di Indonesia
Pengelolaan sumber daya alam dan lingkungan hidup perlu diikuti tindakan berupa pelestarian sumber daya alam dalam rangka memajukan kesejahteraan umum seperti tercantum dalam UUD 1945. Undang-Undang Nomor 4 Tahun 1982 tentang Ketentuan-Ketentuan Pokok Pengelolaan Lingkungan Hidup sebagaimana telah diubah dan diperbarui oleh Undang- Undang Nomor 23 Tahun 1997 tentang Pengelolaan Lingkungan Hidup adalah payung dibidang pengelolaan lingkungan hidup serta sebagai dasar penyesuaian terhadap perubahan atas peraturan yang telah ada sebelumnya, serta menjadikannya sebagai satu kesatuan yang bulat dan utuh didalam suatu system.
Sebagai sub sistem atau bagian komponen dari sistem hukum nasional Indonesia, hukum lingkungan Indonesia di dalam dirinya membentuk suatu sistem dan sebagai suatu sistem, hukum lingkungan Indonesua mempunyai sub sistem yang terdiri atas:
1) Hukum penataan lingkungan;
2) Hukum acara lingkungan;
3) Hukum perdata lingkungan;
4) Hukum pidana lingkungan;
5) Hukum lingkungan internasional.
Kelima subsistem hukum lingkungan Indonesia ini dapat dimasukkan dalam Undang-Undang Nomor 23 Tahun 1997 tentang Pengelolaan Lingkungan Hidup. Dengan kata lain uraian ini dari masing-masing sub sistem Hukum Lingkungan Indonesia tersebut selalu dikaitkan dengan wujud dan isi Undang-Undang Lingkungan Hidup Pembagian dengan cara ini menggunakan pendekatan sistem hukum. Dari penyebutan Undang-Undang Nomor 23 Tahun 1997 tentang Pengelolaan Lingkungan Hidup telah nampak secara jelas bahwa undang-undang tersebut merupakan hukum penataan lingkungan (hidup).
Hukum acara lingkungan adalah hukum yang menetapkan dan mengatur tata cara atau prosedur pelaksanaan hak dan kewajiban yang timbul karena adanya perkara lingkungan (sebagai akibat terjadinya perusakan dan atau pencemaran lingkungan). Dalam Undang-Undang Lingkungan Hidup, hukum acara lingkungan ini disebutkan dalam bab VII Pasal 30 ayat (1), (2) dan (3), Pasal 31, Pasal 32 dan Pasal 33 ayat (1), (2) serta Pasal 34 ayat (1), (2) yang pengaturannya secara konkrit akan ditetapkan lebih lanjut dengan peraturan perundang undangan.
Hukum perdata lingkungan merupakan hukum antar perorangan yang merupakan hak dan kewajiban orang yang satu terhadap yang lain, maupun kepada negara khususnya dalam peran sertanya bagi pelestarian kemampuan lingkungan. Hukum pidana lingkungan menentukan perbuatan-perbuatan apa yang dilarang dalam kaitannya dengan lingkungan hidup. Hukum lingkungan internasional dibagi menjadi dua yaitu hukum lingkungan perdata internasional dan hukum lingkungan internasional (publik).
1)      Hukum Lingkungan Perdata Internasional mengatur hubungan hukum antara warga negara suatu negara dengan warga negara dari negara lain atau antara warga negara suatu negara dengan suatu organisasi internasional, mengenai sengketa lingkungan.
2)      Hukum lingkungan internasional (publik), mengatur hubungan hukum antara suatu negara dengan organisasi internasioanl serta antar organisasi internasional mengenai kasus lingkungan.
Namun demikian, sebagaimana telah diuraikan dimuka tentang pembagian hukum lingkungan yang dapat dibedakan menjadi 4 (empat) bidang besar maka, uraian mengenai hukum lingkungan Indonesiapun dapat menggunakan acuan empat bidang tersebut yaitu:
1.      Hukum penataan ruang (termasuk pengendalian penggunaan tanah dan sumber-sumber daya lingkungan);
2.      Hukum konservasi (hayati, non hayati, buatan, termasuk cagar budaya);
3.      Hukum kependudukan (termasuk kebutuhan sumber daya manusia);
4.      Hukum pencemaran lingkungan (dalam kaitannya dengan pencegahan dan penanggulangan pencemaran).
Masing-masing komponen dari hukum lingkungan Indonesia tersebut, yaitu hukum penataan ruang, hukum konservasi, hukum kependudukan dan hukumpencemaran lingkungan, harus dapat dikaitkan dan mengacu pada keseluruhan peraturan yang berlaku di Indonesia. Pembagian demikian ini menggunakan pendekatan “sumber daya”.
Adapun lingkungan hidup sebagai suatu kesautan ruang dengan segala komponennya merupakan karunia Tuhan Yang Maha Esa kepada rakyat dan bangsa Indonesia. Selain dari hal itu lingkungan hidup juga merupakan ruang dimana aktivitas berlangsung yang sekaligus merupakan sumber daya alam yang dikelola dengan baik.
D.    Konsep Pengawasan Dan Pengelolaan Lingkungan Hidup
Sejak pertemuan di Rio de Janiero (Brasil), masalah kelestarian lingkungan hidup semakin penting dan bersifat global. Masalah pengawasan dan pengelolaan lingkungan hidup menjadi salah satu faktor yang sangat menentukan dalam keberhasilan kelestarian lingkungan hidup. Memahami ekosistem sangat penting dalam upaya pengelolaan lingkungan hidup karena pertimbangan sosial sangat erat kaitannya denan proses politik dan pengambilan keputusan dalam pengembangan pengetahuan lingkungan hidup. Perubahan lingkungan hidup juga dapat mempengaruhi kehidupan sosial budaya masyarakat desa, baik perubahan terhadap pola hidup, kepercayaan, emosi maupun pengetahuan masyarakat. Lebih lanjut lagi berdasarkan fakta yang didapat dari kehidupan masyarakat ternyata dominasi materialisme yaitu pandangan terhadap kehidupan yang lebih baik ternyata mampu mengubah peradaban manusia yang pada akhirnyamengarah kepada terciptanya krisis lingkungan hidup.
Komposisi berbagai etnik dan keunikan sejarah politik, ekonomi dan sosial budaya di Indonesia telah menyebabkan pola pengawasan dan pengelolaan lingkungan hidup mempunyai arti khusus. Latar belakang sejarah ini kemungkinan menyulitkan usaha memajukan pembangunan nasional sektor industri. Perluasan penggunaan Undang-Undang Lingkungan Hidup yang kaku akan menjadikan usaha membangun teknologi baru semakin sulit dan memakan belanja yang mahal. Dengan demikian, penggunaan strategi pengawasan dan pengelolaan lingkungan hidup diharapkan akan dapat meneruskan kemajuan ekonomi yang seimbang dengan perkembangan lingkungan hidup. Pada hakikatnya, liberalisasi ekonomi merupakan satu proses yang tidak dapat dielakkan. Disamping itu, perlu diingat bahwa proses pembangunan ekonomi melalui industrialisasi akan bersaing dengan perubahan lingkungan hidup.  Oleh karena itu, kemerosotan lingkungan hidup disebabkan dominasi aktivitas yang tidak seimbang dengan kehendak politik, ekonomi dan sosial budaya. Walau bagaimanapun, kebebasan membuka kawasan baru bukan saja akan membawa dampak negatif terhadap lingkungan hidup tetapi juga akan mengetepikan nilai-nilai akhlak yang ujud dalam masyarakat.





BAB III
PENUTUP


1.      Kesimpulan
Dalam hal hubungan antara Hukum Internasional dan Hukum Nasional Indonesia menggunakan pendekatan dualism, dimana hukum internasional dan hukum nasional merupakan dua system hukum yang berbeda dan terpisah, dimana hukum nasional memiliki supremasi yang lebih tinggi daripada hukum internasional.
Terkait dengan implementasi aturan hukum internasional dalam system hukum nasional, Indonesia menggunakan metode informasi yaitu dimana aturan hukum internasional yang telah diratifikasi tidak dapat secara langsung menjadi bagian dari hukum domestic Indonesia sebelum ditranspormasikan dalam bentuk undang-undang atau keputusan presiden.
Status perjanjian internasional di Indonesia adalah non-self-executing karena perjanjian internasional yang telah diratifikasi tidak dapat diimplementasikan secara langsung di pengadilan nasional sebelum adanya implementing legislation atau dengan kata lain bukan aturan hukum internasional yang memiliki kekuatan mengikat di pengadilan, melainkan adalah implementing legislation tersebut.
Pengelolaan Lingkungan di Indonesia dapat dilihat menurut POAC, yaitu: (1) Planing atau perencanaan, mencakup kegiatan perencanaan dalam rangka pengelolaan lingkungan secara terpadu terhadap wilayah yang akan dilakukan percepatan pembangunan, (2) Organizing (pengorganisaasian), (3) Actuating (pelaksanaan) yaitu terdapat dorongan pelaksanaan konservasi sumberdaya alam, dan meningkatkanya peran orang yang berkepentingan dan kelembagaan yang terlibat namun belum muncul pelaksanaan optimalisasi pemanfaatan sumberdaya alam secara efisien
2.      Saran
Dalam pelaksanaan hukum internasional di Indonesia memang perlu dikaji ulang dikarenakan Indonesia mempunyai kultur dan budaya yang sangat berbeda dengan Negara Negara luar yang notabene merupakan asal rujukan dari hukum internasional, penulis menganggap tepat kiranya apabila dalam konteks Negara kesatuan republic Indonesia lebih mengutamakan atau memberlakukan hukum nasional yang sesuai dengan amanat UUD 1945 daripada harus merujuk kepada hukum internasional.
Dalam hal percepatan pembangunan di Indonesia penulis lebih memfokuskan tentang bagaimana pembangunan bias berjalan dengan mempertimbangkan segala kemungkinan yang akan terjadi dan memprediksi setiap hal yang mungkin bias terjadi sehingga pembangunan di Indonesia dapat berjalan tepat sasaran dan efektif serta efisien, tentu dalam pelaksanaan pembangunan harus melihat dampak AMDAL dan dampak pembangunan terhadap masyarakat selanjutnya dalam pembangunan hendaknya menggunakan indicator POAC dimaksudkan agar setiap pembangunan yang berlangsung terencana dan terfokus sehingga semua lini berperan dalam proses pembangunan.











DAFTAR PUSTAKA

https://uwityangyoyo.wordpress.com/2012/03/22/kebijakan-pengelolaan-lingkungan-hidup-dengan-pengelolaan-pembangunan-berkelanjutan-dan-berwawasan-lingkungan/






Tidak ada komentar:

Posting Komentar